Kumpulan Sajak Sitor Situmorang | Dalam Sajak

DALAM SAJAK adalah kumpulan sajak Sitor Situmorang yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1982. Sebelum diterbitkan Pustaka Jaya, buku ini sudah dicetak di Vandung, 1955. Beruntung saya bisa membaca buku ini lewat aplikasi Ipusnas.

Buku ini memiliki 4 bagian. Bagian pertama yakni Angin Danau yang terdiri dari 10 sajak. Bagian kedua yakni Dari Benua Lain dan Persahabatan yang terdiri dari 4 sajak. Bagian ketiga yakni Bunga Sepi yang terdiri dari 29 sajak. Dan bagian keempat yakni Kemarau Hijau yang terdiri dari 4 sajak.

Baca Dulu: Sapardi Djoko Damono dalam Esai

Berikut saya tuliskan beberapa sajak di dalam buku ini

Si Anak Hilang

Pada terik tengah hari
Titik perahu timbul di danau
Ibu cemas ke pantai berlari
Menyambut anak lama ditunggu

Perahu titik menjadi nyata
Pandang berlinang air mata
Anak tiba dari rantau
Sebaik turun dipeluk ibu

Bapak duduk di pusat rumah
Seakan tak acuh menanti
Anak di sisi ibu gundah
– Laki-laki layak menahan hati –

Anak duduk disuruh bercerita
Ayam disembelih nasi dimasak
Seluruh desa bertanya-tanya?
Sudah beristri sudah beranak?

Si anak hilang kini kembali
Tak seorang dikenalnya lagi
Berapa kali panen sudah
Apa saja telah terjadi?

Seluruh desa bertanya-tanya?
Sudah beranak sudah berapa?
Si anak hilang berdiam saja
Ia lebih hendak bertanya

Selesai makan ketika senja
Ibu menghampiri ingin disapa
Anak memandang ibu bertanya
Ingin tahu dingin Eropa

Anak diam mengenang lupa
Dingin Eropa musim kotanya
Ibu diam berhenti berkata
Tiada sesal hanya gembira

Malam tiba ibu tertidur
Bapa sudah lama mendengkur
Di pantai pasir berdesir gelombang
Tahu si anak tiada pulang

Si Anak Hilang ada di bagian pertama buku sajak ini. Pada bagian ini ada banyak yang dibicarakan sang penyair mengenai kampung halamannya. Tampak betul kerinduannya. Sajak-sajaknya pun merdu, penuh rima seperti pantun, tetapi bukan pantun.

Pada bagian kedua, saya sangat terkesan pada sajak Sitor yang berjudul Salju dan Ranting.

Salju dan Ranting

Salju dan ranting di kaca
Sunyi putih, tak lahir kuasa
Sunyi putihmu musim tak lalu

Salju dan ranting di kaca
Membenam suara, ingin terhenti
Sunyi mengusap wajah-mati

Salju dan ranting di kaca
Angin di dalam ia tiada lalu
Air di tempat berkaca beku

Salju dan ranting di kaca
Setiap musim ia dulu
Salju dan ingin sama tertunggu

Janganlah musim ini berakhir

Bayangkan, kumpulan sajak ini lahir tahun 1955. Puisi di atas tercipta pada tahun sebelum atau paling tidak sama. Hebatnya, Sitor Situmorang bisa menunjukkan puisi yang masih relevan indahnya hingga saat ini. Dahsyat!

Pada bagian ketiga, aku dibuat lebih terkesima. Sitor Situmorang memang maestro sekali dalam membuat sajak-sajak pendek, seperti berikut ini:

Jakarta
Buat Sumantri

Diriku rawa
Panas membatu di putih dinding
Semua punya arti, manusia dan malaria

Pantai
Pada F.P. Thomassen

Ibu, telah kulihat pantai
Telah kulihat laut pandai berkata-kata

Telah kulihat kapal enggan berlayar
Serta matahari bersinar

Ibu, telah kulihat tubuh gadis mandi
Jangan kau lagi berkata
Kau mau beranak

Telah kulihat pantai pasir
Membujur dalam diri

Putih sekali

Mimpinya

I
Pada segala surat menanti nama
Pada segala surat dinanti nama

II
Pada segala air terpasang layar
Pada segala air terkulai layar

III
Pada segala mata menanti cahaya
Pada segala mata dinanti cahaya

Baca Juga: Puisi Sitor Situmorang

Kekagumanku ternyata masih berlanjut di bagian empat. Sitor Situmorang menulis sajak-sajak yang amat berbeda (dalam arti yang positif):

Condition

Kami telah berharap dengan kehangatan tunas di musim hujan, dan bila kami kecewa seperti anak, tidak pun karena kebohongan lagi, hanya karena ketiadakamanan kata, perumus ingin berhubungan dalam balutan pengertian. Juga perpisahan tiada lagi menyedihkan sejak mati sendiri tak mematikan rindu, ya, rindulah nafas yang menguap dari segala yang kami belai atau hancurkan, sejak kami melepaskan hak merasa asing di pembuangan,sejak pembuangan itu saja Yang merasakan raut senja dan fajar benda yang dilupakan dan memberati diri….

Paris-La-Nuit

Malaikatku, malaikatku
Turun menyelimuti senja
kebosanan
Menggeliat dalam beribu lampu
lusuh
Duka yang melapuk pada dinding hati
menjadi ragi
anggur nafsu
hingga darah bening
dan berlagu

Malaikatku, malaikatku
Dari asap pembiusan iseng
Menguap ia di malam tipis
Melepas dari kelabu rumah-rumah kota mati
musim rontok
Warna musim mengalun dalam angin jatuh
berbisik: Anak dulu sudah jadi gadis.
Angin, menyapu daun serta meluluh
bayang ingin jalan,
Lincah menggigil dalam tangis.

Kabut iseng kotaku
Terbalut dalam duka perawan keputihan salju,
kala bangun: hanya malaikat tak kenal dosa

Malaikatku
terbalut tilam sutera malam dosa
pada hati binatang kota belantara.
Harimau piaraan di buah dada,
isengku mendendam pada genitmu,
Menatap dalam hutan malam candu
Khayal serigala ingin yang kulepas
berbiak dan meraung dalam mulut godamu
Memuntahkan benih keisengan baru
pada mulut yang mengutuk puas.

Tawa jahanam di buas bibirnya menyelinap
Malaikatku
Lalu jejak di ambang malam berderap
Tanda hari baru bangkit: telanjang subur
Dari jurang pelaminan kubur
Cahaya dari awan kelesuan mati:

di wajah paginya rambut terurai kubelai
Lalu bangun di tengah hari perutnya
Memuntahkan dan menjilat lagi benih keisenganku

Barangkali ya, di masa itu, ini adalah sajak-sajak eksperimental Sitor Situmorang. Ah, apapun itu, pokoknya kudu lah kamu membaca DALAM SAJAK, Kumpulan Sajak Sitor Situmorang yang berjumlah 73 halaman ini. Apalagi kita bisa membacanya gratis di Perpustakaan Nasional (Ipusnas)!

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *