Puisi Sitor Situmorang

Sitor Situmorang adalah salah satu penyair Indonesia yang dihormati. Ada satu puisi Sitor Situmorang yang sangat terkenal. Judulnya Malam Lebaran yang liriknya “hanya” bulan di atas kuburan. Namun, sebenarnya puisi-puisi beliau begitu banyak yang bagus.

Puisi-puisi Sitor Situmorang berikut ini adalah puisi pilihan Sitor Situmorang yang diambil dari buku kumpulan puisi Sitor Situmorang, Kumpulan Sajak 1980-2005.

Tatahan Pesan Bunda

Bila nanti ajalku tiba
kubur abuku di tanah Toba
di tanah danau perkasa
terbujur di samping Bunda

Bila ajalku nanti tiba
bongkah batu alam letakkan
pengganti nisan di pusara
tanpa ukiran tanpa hiasan

kecuali pesan mahasuci
restu Ibunda ditatah di batu:
Si Anak Hilang telah kembali!
Kujemput di pangkuanku!

Paris, April 1998

Balada Laut Tidore

Girl, girl alone!
Why do you wander!
(Ho Chih-Mo, Chairil Anwar)

Laut seperti peta lama sekaligus baru:
Lihat bangkai kapal Jepang di karang situ
dan pohon di atasnya – Betapa rimbun.
Beringin – kata orang setempat.

Waktu perang lalu, 194~, ke sini
tentara Jepang mengangkut 300 gadis-gadis
                                                            dari Minahasa
keperluan serdadu-serdadunya yang kesepian.

Muncul sebuah pesawat Amerika, lalu menukik,
saat kapal hampir berlabuh di Teluk.
Bomnya tepat jatuh di atas palka –
jadi kuburan bersama untuk awak kapal
dan 300 gadis remaja.

Untuk serdadu-serdadu Amerika yang tewas
di Arlington ada tugu megah bangsanya.
Di Tokyo terdapat kuil Jasukuni Jinja
persemayaman roh Prajurit Tak Dikenal.

300 gadis-gadis Minahasa di sini
bakal dikenang sebagai apa?

Hei, dara manis yang kini sendiri
di pantai Halmahera dan sedih. Adakah kau roh
            tak berkawan?
Pulanglah, Sayang! Jangan terlalu nanap
            memandang pelangi.

Cahaya rindu mereka, adalah cahaya rinduku
            pula,

kisah baratayudha yang berkepanjangan.


Ziarah di Makam Allama Mohammad Iqbal

Lahore, Oktober 1991

Bangkitlah, bangunlah dari lelapnya kaumku yang papah
 ………………………………………………………………………………
Jiwaku harubiru seperti angin di ladang musim bunga

                                                                                                Iqbal

Hai, Sufi yang manunggal
di ketinggianmu kekal! Dengarlah
masa kini menuntut lagi kesaksian!

Di langit Pakistan biru cerah
kudengar gema bening puisi
dalam kaligrafi imanmu
tertatah di pualam putih tirus.

Sejak  tirakatmu di Masjid Biru Samarkand,
di cemerlangnya Alhambra, Granada-Spanyol,
kuikuti kembara jiwamu
sampai kini di bayang kubah Masjid Babshahi,
sisa kejayaan Mogal –
di sini di depan nisanmu,
di negeri merdeka
buah hatimu.

Penziarah muda dari desa
di sampingku berdoa. Khusuknya
mengajak aku
sujud di hadapan wajahmu.

Tergugah keyakinan semula:
Tuhanmu, Iqbal, Tuhanku pula,
paling akrab dengan mereka yang menderita,

Yang satu itu juga,
di dalam dan di atas sejarah,
Penggerak cinta insani, Amalmu,
bertahta dalam kerinduanmu,
sesah bertiup di gubuk-gubuk petani
sepanjang tebing Sungai Ravi Lahore hari ini,
bergumul siang dan mlam, mandi lumpur, menghirup
debu,
ingin memberi arti pada harapanmu semula,
di bayang puing makam-istana Jahangir –
dan istana-istana orang-orang kuasa baru,
terus memikul beban kemiskinan, penghisapan,
manipulasi haknya tak putus-putus
tak ada akhir
mengalir terus airmata derita
seperti arus sungai Ravi
menyanyikan tuntutan kesaksianmu
di langit Pakistan merdeka.

1991

Affandi penghuni rumah pohon

                                                                                    Untuk puteriku Ratna

Andaikata
bisa berjabat tangan
menyalami para empu
perancang Candi Prambanan pencipta Lara Jonggrang
yang namanya tak tercatat

bisa bercakap-cakap seniman desa

pemahat patung kayu di Pulau Kei

andaikata –

bisa kenal seniman yang meniupkan nafas Ken Dedes

ke dalam batu gunung.

Affandi! Ini sekadar

Berandai-andai, menyatakan hormat

Kepada semua karya batin kekal

yang terus hadir seperti kenangan padamu

yang selalu dapat kujumpai

di suasana sehari-hari Yogya

tergurat pada wajahmu

di balik kepulan asap cangklongmu –

jawaban (atas tanya tak terucap):

Tebing-tebing sungai Gajah Wong

sebaik pilihan tempat kerja

dan bersamadi

sampai di akhir hayat,

berdiam di rumah pohon

perwujudan khayal masa kanak

berlindung di bawah atap “daun pisang”

dalam buaian balok-balok jati

penyangga langit, karya Tjokot

putera tradisi utama Bali.

Wajah di balik citra lukisan,

percikan nyala warna alam Nusantara

bara cinta delapan matahari

pada penghuni tebing-tebing

jagad raya petani Gajah Wong

tempatmu setiap kali kudatangi

tempatmu kusalami

di antara batu-batu

muntahan lahar Merapi.

1992

Mendaki Merapi Menatap Borobudur

(Dialog Senja)

di tebing lembah

kupandang senja

kawah Merapi

bagian dari ziarah

sufi tanpa tarekat

bebas rindu

dalam merindu

bebas waktu

dan tempat

luruh dalam desah angin gunung

terapung

di awan

pulang bersama burung-burung

menuju hutan-hutan

masuk bayangan

dalam keleluasaan dan

kedalaman

percakapan tanpa kata-kata

terbalut angin

dan kebisuan

semesta batin

Balada Kartu Pos untuk Rendra dan Lorca dari Ladang Andalusia

di jalan dusun antara Sevilla dan Kordoba

aku ragu tujuan. Seekor keledai dan penunggangnya

lewat, pasti tujuan –

apa lagi hendak dikatakan

lagi-lagi yang diimpikan, saudaraku,

siang begini matahari terlalu terik

antara Sevilla dan Kordoba.

Namun ia bersiul:

Hal matahari terpelanting

jatuh di ubun-ubun dan bukit.

Ia menyanyi tanpa suara,

hal jeruk Malaga, pohon zaitun

dan Granada dikatakannya

bertirai salju –

mengajak aku ke sana –

keledai itu dan tuannya lewat

menembus ladang kembang

masuk di sela-sela gunung batu

– mengajak aku ke sana –

lalu musimnya, ya, musimku pun bangkit

meruah tersembur

di padang cahaya –

aku diajaknya ke sana –

Negeri kembali dihias istana

air mancur Alhambra

kubah masjid Kordoba,

ya, Kordoba –

namun ke Granada juga

aku diajaknya –

Langit bening

tak ada rahasia masa depan

tak terpikir simpanan Spanyol masa lalu

jembatan Rumawi, benteng Arab

menjemur rahasia kehadiranku

dan rahasia tujuan

keledai bersama tuannya –

namun ke sana aku diajaknya –

Aku Zigana – di tempatku berbaring

di bayang pohon gabus

berkencang dengan birahi

– namun aku diajaknya –

ketika lonceng bergema

di bukit-bukit batu Lorca

dari arah Granada datangnya

dari arah Granada –

tanpa jelas beritanya:

Siapa yang dikatakan mati?

namun ke sana, ke sana juga

aku diajaknya –

di jalan antara Sevilla dan Kordoba

ketika aku ragu

mencari tahu ke mana pergi

keledai dan tuannya…

dan arti kehidupan Zigana

yang tersimpan dalam lagu-lagu

penyair kesayangan

Saudaraku,

pasti, pastilah Ia tadi lewat!

Kuingat wajah kekalNya

kukenal pandang keledaiNya

Ke mana pun Ia pergi

ke Granada aku diajakNya!

Sajak, Pembaca dan Penyair

Pembaca yang tercinta,

jangan bertanya

                              lahirnya sajak,

jwabnya pulang maklum

                                    pada dirinya,

apabila ia berkata sesuatu padamu

                        seperti padaku juga,

sebagai karya kita bersama,

tapi yang selanjutnya

    menjalani hidupnya sendiri

jadi akar dan roh bahasa umat manusia,

berkebangsaan, namun di atas bangsa.

Sajak bagi penyair, sama seperti anak

bukanlah milik Ibu yang melahirkannya –

(kata penyair Kahlil Gibran)

Sebelum lahir

ia Janin,

terbalut dalam Rahim Kehidupan,

terbungkus alam semesta

yang fana dan yang baka

dibenihi oleh kerinduan rohani

si penyair dan tuan sendiri,

pembaca yang budiman,

melolong dalam Kesepian

terkurung dalam Waktu dan Ruang,

bergema sebagai kata

tanpa aksara

terlukis sebagai aksara

tanpa kata

di bentangan langit jiwa

mata batin Manusia,

padat isyarat,

akar bahasa purba

manusia pertama.

Namun, pembaca yang budiman, lagi arif,

aku yang diminta memberi jawab,

aku terbanting kembali ke pangkal Tanya,

suara Sepi yang menyiksa atau

Citra yang membebaskan,

bila berhasil disajakkan,

sedang aku belum mampu menjawab

sedang aku hanya berkias-kias

– seperti pembaca lihat –

belum menjawab, bahkan mustahil!

Maafkan! Silakan kembali membaca

kalau perlu berulang-ulang – karena

sajak yang sebenarnya Sajak,

sekalipun memakai kata-kata sederhana,

sehingga terasa bisa ditulis

oleh siapa saja –

adalah

Puisi paling lugu

paling sederhana

paling jelas arti –
walau bukan untuk nalar biasa, boleh didekati

dengan telaah (karena bisa membantu)

asal terbatas kerangka dan kulitnya

karena intinya adalah urusan

tuan pembaca,

yang sambil membaca
membuatnya sempurna.

Namun, agar percakapan

jangan sampai berakhir buntu,

izinkan kutambahkan catatan:

Pada saat sajak lahir

seperti pada saat bayi keluar dari rahim Ibunya

(walau pengalaman Ibu-ibu, dengan derita

serta bahagianya, bagi kita tak terduga)

Saat itu, tapi terlebih

pada detik-detik yang mendahuluinya

penyair orang yang paling malang,

sekaligus paling bahagia,

pribadi utuh sekaligus

sekedar wahana

wadah

untuk Manusia tanpa Nama,

mengambang di atas danau batin

seperti janin dalam air rahim

siap menangkap bunyi,

tanpa kuping

siap menangkap isyarat,

tanpa mata

terbalut dalam zarrah dan gelombang

bergema samar

di balik gelak tawa

dan air mata manusia

seperti desah laut

di kulit Tiram.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *