Oleh: Haruki Murakami, Penerjemah: Ted Gossen (Inggris), Arif Abdurahman (Indonesia)
Dia terbangun, kemudian mendapati dirinya telah bermetamorfosis menjadi Gregor Samsa.
Masih terbaring telentang di kasur, dia melihat langit-langit. Butuh waktu bagi matanya untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang begitu redup. Terlihat langit-langit yang biasa, hanya langit-langit pada umumnya. Dengan cat putih, atau mungkin krem pucat. Debu dan kotoran menahun telah membuat warnanya seperti tumpahan susu. Tak ada ornamen, tak ada karakteristik tertentu. Tak muncul argumen, maupun pesan yang bisa ditangkap. Ya, hanya seperti itu.
Terlihat hanya ada satu jendela tinggi di satu sisi kamar, di sebelah kiri, tapi gordennya telah dicopot dan diganti papan-papan tebal yang dipaku di bingkai untuk menutupi jendela tadi. Hanya menyisakan celah sekitar satu inci antara tiap papan yang dipasang melintang itu, memungkinkan sedikit sinar matahari pagi bisa merembes masuk, meninggalkan seberkas terang garis-garis tipis di lantai. Mengapa jendela ditutup rapat seperti itu? Apa bakal datang badai besar atau tornado sebentar lagi? Atau itu untuk menjaga agar tidak ada seorang pun yang bisa masuk? Atau mencegah seseorang (dirinya, mungkin?) agar tidak kabur?
Masih berbaring, ia perlahan-lahan memutar kepalanya dan memeriksa seluruh ruangan. Dia tidak melihat furnitur apapun, selain kasur tempatnya berbaring. Tidak ada laci, tidak ada meja, tidak ada kursi. Tidak ada lukisan, jam, atau cermin di dinding. Tidak ada lampu atau cahaya. Dia juga tidak mendapati permadani atau karpet di lantai. Hanya kayu. Dinding ditutupi dengan wallpaper dari desain yang kompleks, begitu tua dan memudar, namun dengan cahaya yang minim tentu sulit untuk memastikan desain yang digunakan.
Ruangan itu mungkin pernah digunakan sebagai kamar tidur. Namun sekarang semua sisa kehidupan manusia nampaknya telah dibereskan. Satu-satunya hal yang tersisa adalah kasur di tengah. Itu pun hanya kasur, tanpa seprei, tidak ada selimut, tidak ada bantal. Hanya kasur kuno.
Samsa tidak tahu sedang berada dimana, atau apa yang harus dia lakukan. Yang dia tahu adalah bahwa ia sekarang seorang manusia yang bernama Gregor Samsa. Dan bagaimana dia tahu itu? Mungkin seseorang telah berbisik di telinganya sementara ia berbaring tidur? Tapi apa yang terjadi padanya sebelum menjadi Gregor Samsa? Apa yang telah terjadi?
Saat ia mulai mencari jawaban akan beragam pertanyaan itu, sesuatu seperti serombongan hitam nyamuk terbang berputar-putar di kepalanya. Gerombolan itu tumbuh makin tebal dan berjejalan karena pindah ke bagian otaknya yang lebih lembut, dengan terus berdengung. Samsa memutuskan untuk berhenti berpikir. Mencoba memikirkan apapun saat ini hanya jadi beban, membuatnya pusing saja.
Setidaknya ia harus belajar untuk menggerakkan tubuhnya. Dia tidak bisa hanya berbaring menatap langit-langit selamanya. Posturnya saat ini terlalu rentan. Ia tidak punya kesempatan untuk menghindar dari sebuah serangan – dari burung pemangsa misalnya. Sebagai langkah pertama, ia mencoba untuk menggerakan jari-jarinya. Ada sepuluh jari, yang menempel di kedua tangannya. Masing-masing dilengkapi dengan sejumlah sendi, yang membuat sinkronisasi gerakan sangat rumit. Parahnya, tubuhnya ini serasa mati rasa, seolah-olah ada rendaman cairan berat yang lengket, sehingga sulit untuk menyalurkan kekuatan bagi kaki dan tangannya.
Akhirnya, setelah berulang kali mencoba dan gagal, dengan menutup mata dan memfokuskan pikirannya ia berhasil juga mengendalikan jari-jarinya. Sedikit demi sedikit, ia belajar menggunakan jari-jari itu agar bekerja bersama-sama. Semakin lihai mengoperasikan jari-jarinya, mati rasa yang menyelimuti tubuhnya mulai mengendur. Seperti karang gelap dan menyeramkan yang terungkap karena mundurnya air pasang, sekarang datang rasa sakit yang luar biasa.
Butuh beberapa saat sampai Samsa menyadari bahwa rasa sakit itu adalah rasa lapar. Keinginan untuk mendapat makanan ini sesuatu yang baru baginya, atau setidaknya dia tidak ingat pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Rasanya seperti ia tidak mendapat makanan selama seminggu. Seolah-olah di tubuh bagian tengahnya sekarang kosong melompong. Tulangnya berderit; otot-ototnya mengepal; organnya mengejang.
Tidak dapat menahan rasa sakitnya lebih lama, Samsa menempatkan siku di kasur, kemudian secara perlahan mendorong tubuhnya. Ketika melakukan ini, tulang belakangnya menciptakan retakan yang lirih dan sedikit menyakitkan. Ya Tuhan, pikir Samsa, sudah berapa lama aku telah berbaring di sini? Tubuhnya protes setiap ia bergerak. Tapi dia terus berjuang, menyusun kekuatannya, sampai akhirnya, ia berhasil duduk.
Samsa menunduk cemas mendapati tubuhnya yang telanjang. Sungguh bentuk yang buruk! Bentuk yang sangat buruk. Tubuh ini tak memiliki alat pertahanan diri. Kulit putih mulus (ditutupi oleh rambut ala kadarnya) dengan pembuluh darah biru rapuh terlihat melalui itu; perut lunak yang tidak terlindungi; alat kelamin berbentuk aneh yang menggelikan; lengan dan kaki yang begitu kurus (hanya ada dua dari masing-masing!); leher yang gampang sekali patah; kepalanya besar dan cacat yang atasnya ditumbuhi jalinan rambut kaku; dua telinga terasa masuk akal, namun menonjol keluar seperti sepasang kerang. Apakah hal ini benar-benar dia? Mampukah tubuh tidak masuk akal seperti ini, yang begitu mudah dihancurkan (tidak ada cangkang untuk perlindungan, tidak ada senjata untuk menyerang) bisa bertahan hidup di dunia? Mengapa sih ia tidak berubah menjadi seekor ikan saja? Atau bunga matahari? Ikan atau bunga matahari nampaknya masuk akal. Lebih masuk akal, ketimbang tubuh manusia ini, Gregor Samsa.
Menguatkan diri, ia menurunkan kakinya di tepi tempat tidur sampai telapak kakinya menyentuh lantai. Dingin tak terduga dari kayu membuatnya terkesiap. Setelah beberapa kali percobaan, yang membuatnya terjatuh ke lantai, akhirnya ia mampu menyeimbangkan diri pada dua kakinya. Dia berdiri di sana, dengan memar dan rasa sakit, satu tangan menggenggam bingkai kasur sebagai pijakan. Kepalanya masih tak seimbang, berat dan sulit untuk menahan. Keringat mengalir dari ketiaknya, dan kemaluannya menyusut dari yang asalnya tegang. Dia harus mengambil beberapa napas dalam-dalam sebelum ototnya mulai rileks.
Setelah berhasil berdiri, ia harus belajar berjalan. Berjalan dengan dua kaki menjadi semacam siksaan, setiap gerakan menghasilkan rasa sakit. Dari sudut pandang manapun, dia berasumsi bahwa gerakan memajukan kaki kanan dan kaki kiri satu demi satu adalah proposisi aneh yang melanggar semua hukum alam, apalagi antara jarak matanya ke lantai membuatnya ngeri ketakutan. Dia juga harus belajar mengkoordinasikan pinggul dan lutut sendinya. Setiap kali ia mengambil langkah maju, lututnya bergetar, dan ia menopang dirinya ke dinding dengan kedua tangannya.
Ia tahu bahwa ia tidak bisa tetap berada di ruangan ini selamanya. Karena jika dia tidak menemukan makanan dengan cepat, perutnya yang lapar ini bakal memakan dagingnya sendiri, dan pasti ia akan mati.
***
Dia terhuyung ke arah pintu, mengais-ngais di dinding untuk sampai. Tampaknya ini menghabiskan berjam-jam lamanya, meskipun ia tidak memiliki cara untuk mengukur waktu, kecuali lewat rasa sakit yang terus bertambah. Gerakannya sangat aneh, dan selambat siput. Dia tidak bisa maju tanpa bersandar pada sesuatu untuk menopangnya.
Dia meraih gagang pintu dan menariknya. Namun pintu tidak terbuka. Dengan mendorong pun tak terjadi apa-apa. Berikutnya, ia terlebih dahulu memutar kenop ke kanan dan menarik pintu tersebut. Pintu terbuka setengah dengan menghasilkan bunyi berdecit. Dia melongokan kepalanya melalui celah terbuka tadi dan melihat keluar. Lorong itu kosong. Begitu sunyi setenang dasar lautan. Dia mengulurkan kaki kirinya melalui pintu, mengayunkan bagian atas tubuhnya keluar, dengan satu tangan berpegang di kusen pintu, dan kaki kanan mengikuti. Dia bergerak perlahan menyusuri koridor, tangan tetap berpegangan ke dinding.
Ada empat pintu di lorong itu, termasuk satu yang baru saja dilewati. Semua identik, dibuat dari kayu gelap yang sama. Apakah ada sesuatu, atau siapa, yang ada di dalamnya? Ia ingin membukanya dan mencari tahu. Mungkin dengan melakukannya, ia bakal mendapatkan pemahaman soal keadaan misterius yang menimpa dirinya ini. Setidaknya menemukan sebuah petunjuk. Namun demikian, ia melewati setiap pintu, sebisa mungkin tak membuat kebisingan sedikit pun. Kebutuhan untuk mengisi perut keroncongannya mengalahkan rasa ingin tahunya. Dia harus menemukan sesuatu untuk dimakan dulu.
Dan sekarang ia tahu cara untuk mendapatkannya.
Cukup ikuti bau, pikirnya, sambil mendengus. Tercium aroma masakan yang melayang di udara. Informasi yang ditangkap oleh indera penciuman di hidung itu lalu ditransmisikan ke otak, menghasilkan suatu refleks yang begitu hidup, keinginan yang begitu keras makin nyata, ia bisa merasakan ususnya perlahan-lahan memuntir, seolah-olah sedang disiksa oleh eksekutor berpengalaman. Air liur membanjiri mulutnya.
Untuk mencapai sumber aroma, rupanya ia harus turun melewati tangga curam, ada tujuh belas anak tangga. Ah berjalan di permukaan datar saja cukup menyulitkan – sungguh ini serasa mimpi buruk. Dia meraih pilar tangga dengan kedua tangan dan mulai turun. Pergelangan kakinya yang kurus serasa tak kuat menopang berat badannya, dan ia hampir saja terguling dari tangga.
Dan apa yang terlintas di pikiran Samsa saat ia berjalan menuruni tangga? Kembali ikan dan bunga matahari yang terbayang. Ah jika saja aku berubah menjadi ikan atau bunga matahari, pikirnya, aku bisa hidup dalam damai, tanpa perlu berjuang sekeras mungkin untuk menuruni tangga seperti ini.
Ketika Samsa berhasil melewati ketujuh belas anak tangga, ia menegakan dirinya kembali, menyiapkan kekuatan yang tersisa, dan tertatih-tatih menuju aroma menarik tadi. Dia melewati pintu masuk dengan langit-langitnya yang tinggi dan melangkah menuju ruang makan yang pintunya terbuka. Makanan tersaji di atas meja besar berbentuk oval. Ada lima kursi, namun tidak ada tanda-tanda orang. Gumpalan uap putih masih terlihat mengepul dari piring saji. Sebuah vas kaca dengan selusin bunga lili diletakan di tengah meja. Ada empat tempat yang ditata lengkap dengan serbet dan sendok garpu, namun belum tersentuh. Tampaknya ada orang yang telah duduk untuk makan sarapan beberapa menit sebelumnya, kemudian datang suatu kejadian sangat mendadak yang membuat mereka semua lari dari sini. Apa yang sudah terjadi? Kemana mereka pergi? Atau dibawa kemana mereka? Apakah mereka akan datang kembali untuk sarapan?
Tapi Samsa tidak punya waktu untuk menjawab beragam pertanyaan tersebut. Langsung menempati kursi terdekat, ia meraih makanan yang bisa dijangkaunya dengan tangan dan memasukkannya ke dalam mulut, tanpa memperdulikan bahwa di sana ada pisau, sendok, garpu, dan serbet yang tersedia. Dia merobek roti menjadi potongan-potongan dan memakannya tanpa tambahan selai atau mentega, menelan bulat-bulat sosis yang begitu besar, melahap telur rebus begitu cepat sampai ia lupa untuk mengupas kulitnya terlebih dahulu, meraup segenggam kentang tumbuk yang masih hangat, dan mengambil acar dengan jemarinya. Dia melahap semua bersamaan, dan meminum air untuk melegakan tenggorokannya. Soal rasa tak berpengaruh. Mau hambar atau lezat, pedas atau asam – itu semua sama baginya. Yang penting adalah mengisi perut kosongnya. Ia makan dengan konsentrasi penuh, seolah berpacu dengan waktu. Dia begitu terpaku untuk terus makan, saking asyiknya, saat ia menjilati jari-jarinya, ia malah menggigitnya, menganggapnya makanan juga. Sisa-sisa makanan muncrat ke sana-kemari, dan meski piring jatuh ke lantai kemudian pecah, ia tetap acuh.
***
Setelah Samsa kekenyangan dan kembali duduk untuk menghirup nafas, hampir tak ada makanan tersisa, dan meja makan kelihatan sangat berantakan. Itu tampak seolah-olah datang kawanan gagak yang suka bertengkar melalui jendela yang terbuka, melahap segalanya, dan terbang keluar lagi. Satu-satunya hal tak tersentuh adalah vas bunga lili; kalau saja masih belum kenyang, mungkin ia bakal melahap ini juga.
Dengan penuh kebingungan, dia duduk di kursinya untuk waktu yang lama. Tangan diletakan di atas meja, ia menatap bunga lili itu dengan menyipitkan matanya dan memandangnya lama, dengan napas lambat, sementara makanan tadi sedang diproses dalam sistem pencernaannya, dari kerongkongan menuju ke ususnya. Rasa kenyang terasa olehnya seperti air pasang yang naik. Dia mengambil panci logam dan menuangkan kopi ke dalam cangkir keramik putih. Aroma tajam mengingatkannya pada sesuatu. Tidak muncul secara langsung, namun berlangsung secara bertahap. Timbul perasaan aneh, seolah-olah sedang mengingat-ingat masa sekarang dari masa depan. Seolah waktu telah terbelah dua, sehingga antara memori dan pengalaman berputar dalam siklus tertutup, masing-masing saling mengikuti yang lainnya. Ia menuangkan krim dengan takaran sembarang ke kopinya, diaduk dengan jarinya, lalu meminumnya. Meskipun kopi telah dingin, masih terasa sedikit hangat. Dia meminumnya, namun terlebih dulu menyimpan cairan kopi itu di mulutnya, sebelum akhirnya mengalirkannya ke tenggorokannya. Ada semacam rasa tenang yang ia alami.
Tiba-tiba ia merasa dingin. Rasa laparnya tertutupi inderanya yang lain. Sekarang ia telah kenyang, dinginnya pagi yang menerpa kulitnya membuatnya gemetaran. Api telah padam. Tak satu pun pemanas yang diaktifkan. Yang pasti, dia tengah telanjang bulat.
Ia mengerti bahwa ia harus menemukan sesuatu untuk dipakai. Kalau seperti ini bakal kedinginan. Selain itu, akan menjadi masalah jika seseorang muncul. Mungkin ada yang mengetuk pintu. Atau mungkin orang-orang yang akan sarapan tadi akan kembali. Siapa yang tahu bagaimana mereka akan bereaksi jika mereka menemukan dia dalam keadaan telanjang begini?
Dia sangat mengerti semua ini. Dia tak menduga-duga, atau memikirkan ini secara serius; ia sangat tahu ini, sangat biasa dan hanya hal sederhana. Samsa masih tidak tahu dari mana pengetahuan tersebut berasal. Mungkin hal ini terkait dengan ingatannya yang mulai terungkap.
Rumah ini menghadap langsung ke jalan. Bukan jalan raya yang besar. Dan tak banyak pula orang yang lewat. Namun demikian, ia mencatat bahwa setiap orang yang melintas pasti berpakaian lengkap. Dengan pakaian beragam warna dan gaya. Pria dan wanita mengenakan pakaian yang berbeda. Kaki mereka ditutupi sepatu dari kulit. Beberapa memakai sepatu yang cerah sehabis dipoles. Dia bisa mendengar langkah sepatu mereka yang beradu dengan bebatuan jalan. Terlihat banyak pria dan wanita mengenakan topi. Mereka berjalan dengan dua kaki tanpa perlu memikirkan apapun dan menjaga alat kelamin mereka tertutup. Samsa membandingkan dirinya yang terpantul di cermin aula itu dengan orang-orang yang berjalan di luar. Pria yang dilihatnya di cermin itu kucel, hanya tampak sesosok makhluk lemah. Perutnya yang penuh dengan tumpahan saus, dan remah-remah roti menempel pada rambut kemaluannya yang seperti potongan-potongan kapas. Dia menyingkirkan beragam kotoran itu dengan tangannya.
Ya, dia kembali berpikir, aku harus mencari sesuatu untuk menutupi tubuhku.
Dia menengok ke jalanan sekali lagi, mencari kalau-kalau ada burung. Namun tak ada satu pun burung yang dapat ia lihat.
Lantai dasar rumah terdiri dari ruang tengah, ruang makan, dapur, dan ruang tamu. Sejauh pengamatannya, tidak satupun ruangan ini yang menyimpan pakaian. Dapat disimpulkan bahwa mengenakan dan melepas pakaian dilakukan di ruang lain. Mungkin ada kamarnya di lantai dua.
Samsa kembali ke tangga dan mulai menaiki. Dia terkejut menemukan betapa mudahnya menaiki tangga ketimbang turun tadi. Mencengkeram pegangan, ia mampu menaiki tujuh belas anak tangga jauh lebih cepat dan tanpa rasa sakit atau takut, berhenti beberapa kali (meski tidak lama) untuk mengatur napas.
Keberuntungan sedang berpihak padanya, karena semua pintu di lantai dua tidak terkunci. Yang perlu ia lakukan adalah memutar kenop dan mendorong, dan setiap pintu akan terbuka. Ada empat kamar, terlepas dari ruang dingin tempat tadi ia terbangun, semua kamar tertata lengkap dan nyaman. Masing-masing memiliki tempat tidur dengan kasur yang bersih, lemari, meja tulis, lampu yang ditempelkan ke langit-langit atau dinding, dan karpet dengan pola yang rumit. Buku tersusun rapi di rak, dan lukisan minyak pemandangan menghiasi dinding. Setiap kamar memiliki vas kaca yang penuh dengan bunga-bunga cerah. Tidak ada papan kasar dipaku di jendela. Setiap jendela dipasangi gorden, sehingga sinar matahari bisa masuk. Tempat tidur menunjukkan kalau seseorang pernah tidur di sini. Dia bisa melihat bekas tindihan kepala di bantal.
Dia memakaikan baju ganti itu untuk menutupi tubuh telanjangnya, dan setelah mencoba beberapa kali akhirnya ia berhasil mengikatkan tali pinggangnya. Dia menatap dirinya di cermin, sekarang ia sudah berpakaian, dengan baju ganti dan sepasang sandal. Ini pasti lebih baik ketimbang berjalan-jalan dengan hanya bugil. Memang tidak sehangat yang ia kira, tapi selama ia tetap berada dalam ruangan ini tentu tak bakalan terasa terlalu dingin. Yang pasti, ia tidak perlu khawatir bahwa kulitnya yang lembut ini bakal jadi incaran para burung pemangsa.
Saat bel pintu berdering, Samsa sedang tiduran di kamar yang paling besar (di kasur besar pula) dalam rumah itu. Sangat hangat berbaring di bawah selimut bulu, rasa nyamannya serasa sedang tidur dalam telur saja. Dia bangun dari mimpi. Dia tak bisa mengingat detailnya, yang pasti sesuatu yang menyenangkan. Bel yang bergema dalam rumah membangunkan dan membuatnya kembali merasakan hawa dingin.
Dia bangkit dari tempat tidur, mengencangkan tali pinggang baju gantinya, memakai sandal biru gelapnya, menyambar tongkat berjalannya, kemudian menyusuri pegangan, lalu menuruni tangga. Ini jadi tambah mudah ketimbang yang tadi dia lakukan. Tentu, resiko jatuh masih ada. Dia harus tetap berhati-hati. Fokus pada langkahnya, ia menuruni tangga satu per satu, sementara bel masih terus berdering. Siapa pun yang menekan bel itu pasti orang yang tidak sabaran dan keras kepala.
Dengan tongkat berjalan di tangan kiri, Samsa menuju pintu depan. Dia memutar kenop dan menarik, pintu pun terbuka.
Seorang gadis pendek berdiri di luar. Gadis yang sangat pendek. Yang jadi pertanyaan, bagaimana ia bisa mencapai bel. Dan ketika dia melihat lebih teliti, ia menyadari bahwa ini bukan masalah ukuran tubuhnya. Itu karena punggungnya, yang bungkuk ke depan. Ini yang membuatnya terlihat pendek, padahal sebenarnya dia memiliki dimensi tubuh yang normal. Gadis itu mengikat rambutnya dengan pita karet agar tak menutupi wajahnya. Rambutnya coklat kemerah-merahan dan sangat lebat. Dia mengenakan jaket wol, dengan rok longgar yang menutupi kakinya. Syal katun belang melilit lehernya. Dia tidak mengenakan penutup kepala apapun. Sepatunya bertali tinggi, dan dia tampaknya berusia dua puluhan awal. Masih ada sesuatu dari si gadis itu. Matanya besar, hidungnya kecil, dan bibirnya memutar sedikit ke satu sisi, seperti bulan kurus. Alis hitamnya membentuk dua garis lurus di dahinya, memberinya tampilan skeptis.
“Benarkah ini rumah Samsa?” tanya si gadis sambil mendongakkan kepalanya. Lalu ia memutar tubuhnya. Seperti liku bumi yang diterjang gempa hebat saja.
Samsa sedikit terkejut, namun mencoba menenangkan diri. “Ya,” jawabnya. Karena memang ia sendiri adalah Gregor Samsa, dan tentunya ini tempat tinggal Samsa. Bagaimanapun, tak ada salahnya menjawab seperti ini.
Namun wanita itu tampaknya menemukan jawabannya tadi kurang memuaskan. Sedikit kerutan terlihat di keningnya. Mungkin wanita itu menangkap kebingungan dari jawaban ragu-ragu tadi.
“Jadi benarkah ini rumah Samsa?” wanita itu bertanya dengan suara tajam. Layaknya penjaga yang memeriksa pengunjung liar yang kedapatan tak membawa karcis.
“Aku Gregor Samsa,” jawab Samsa, mencoba dengan nada tenang sebisanya. Dia sangat yakin dengan jawabannya kali ini.
“Aku harap anda benar,” timpal gadis itu, kemudian meraih tas kulit yang disimpan dekat kakinya. Tas hitam yang terlihat sangat berat. Tas yang telah usang. “Jadi mari kita mulai.”
Gadis itu melangkah memasuki rumah tanpa menunggu balasan. Samsa menutup pintu. Gadis itu berdiri, melihatnya dari atas ke bawah. Nampaknya baju ganti dan sandal yang dikenakan Samsa bikin gadis itu penasaran.
“Aku pikir aku telah membangunkanmu,” kata gadis itu, suaranya dingin.
“Memang benar,” jawab Samsa. Dia bisa menangkap ekspresi gadis itu, bahwa pakaiannya ini tidak sesuai untuk melakukan sebuah pertemuan. “Aku minta maaf soal yang kukenakan ini,” Samsa berdalih. “Alasannya sih…”
Gadis itu cuek saja. “Jadi, yang mana?” tanyanya dengan mengerutkan bibir.
“Jadi, yang mana?” Samsa mengulangi.
“Jadi, yang mana kunci yang bermasalah itu?” tanya gadis itu.
“Kunci?”
“Kunci yang rusak,” sebut gadis itu. “Anda sendiri yang menyuruh saya untuk datang dan memperbaikinya.”
“Ah,” ucap Samsa. “Kunci yang rusak.”
Samsa menggeledah pikirannya. Tidak lama setelah ia berhasil fokus pada satu hal, bagaimanapun, sepasukan nyamuk bergumul lagi dalam otaknya.
“Aku belum pernah mendapati masalah apa pun tentang kunci,” katanya. “Dugaanku mungkin itu adalah salah satu pintu di lantai dua.”
Wanita itu melotot padanya. “Dugaan anda?” tanyanya, mengintip wajah Samsa. Suaranya makin dingin. Dengan alis melengkung seperti orang yang tak percaya. “Salah satu pintu ya?” Ia melanjutkan bertanya.
Samsa bisa merasakan mukanya memerah. Ketidaktahuannya soal kunci yang rusak itu membuatnya merasa sangat malu. Dia berdeham mencoba bicara, namun tak satupun kata bisa keluar.
“Tuan Samsa, apakah orangtuamu ada di rumah? Saya rasa lebih baik saya bicara langsung dengan mereka.”
“Mereka telah pergi keluar, tampaknya ada suatu keperluan,” kata Samsa.
“Suatu keperluan?” tanya gadis itu, terkejut. “Di saat banyak kekacauan begini?”
“Aku tak tahu. Ketika aku bangun pagi ini, semua orang sudah tak ada,” jawab Samsa.
“Oh malangnya,” perempuan muda itu menimpali. Dia menghela napas panjang. “Kami telah memberitahukan bahwa bakal ada yang datang hari.”
“Maaf ya.”
Wanita itu berdiri di sana sejenak. Kemudian, perlahan-lahan, alis melengkungnya turun, dan dia memandang tongkat hitam di tangan kiri Samsa. “Apakah ada gangguan pada kaki anda, Gregor Samsa?”
“Ya, sedikit,” Samsa berbohong.
Sekali lagi, wanita itu tiba-tiba menggeliat. Samsa tidak tahu tindakan untuk apa itu atau apa tujuannya. Namun ia tertarik oleh gerakan kompleks barusan.
“Nah, apa yang harus kulakukan,” kata wanita itu dengan nada pasrah. “Mari kita lihat pintu di lantai dua itu. Aku datang jauh-jauh dari seberang jembatan dan melewati jalanan kota yang penuh konflik mengerikan untuk sampai ke sini. Hidup saya dipertaruhkan. Sehingga tidak masuk akal untuk mengatakan, ‘Oh, jadi tidak ada yang perlu kulakukan di sini? Baiklah aku akan kembali lagi nanti saja,’ kan? ”
Konflik mengerikan? Samsa tidak bisa memahami apa yang gadis itu bicarakan. Apa perubahan mengerikan itu terjadi? Tapi dia memutuskan untuk tidak menanyakan detailnya. Lebih baik menghindari pertanyaan itu agar ketidaktahuannya tidak ketahuan.
Kembali membungkuk, wanita muda itu mengambil tas hitam berat di tangan kanannya dan menaiki tangga dengan susah payah, seperti serangga merangkak. Samsa mengikuti di belakangnya, tangannya berpegangan di pilar tangga. Gaya berjalan gadis itu yang seperti merayap membangkitkan rasa simpatinya – ini mengingatkannya pada sesuatu.
Wanita itu berdiri di anak tangga teratas dan mengamati lorong. “Jadi,” katanya, “salah satu dari empat pintu ini mungkin ada yang kuncinya rusak, kan?”
Wajah Samsa memerah. “Ya,” katanya. “Ada di salah satu pintu. Mungkin ada di ujung lorong di sebelah kiri, mungkin, ” katanya, ragu-ragu. Itu adalah pintu ke kamar kosong tempat ia terbangun pagi tadi.
“Bisa saja,” kata wanita itu dengan suara tak bersemangat seperti api unggun yang mau padam. “Mungkin ya.” Dia berbalik untuk memeriksa wajah Samsa ini.
“Entah bagaimana,” ucap Samsa.
Gadis itu menghela napas lagi. “Gregor Samsa,” katanya datar. “Kamu orang yang asyik untuk diajak ngobrol. Kosakatamu sungguh kaya, dan bicaramu jelas, langsung ke titik persoalan.” Kemudian nadanya berubah. “Tapi bagaimanapun. Mari kita periksa pintu di sebelah kiri di ujung lorong yang pertama itu.”
Wanita itu melangkah menuju pintu. Dia memutar kenop bolak-balik dan mendorong, dan itu terbuka ke dalam. Keadaan kamar itu tak berubah: hanya kasur saja yang kurang bersih. Lantai kosong. Papan dipaku di jendela. Gadis itu tentu saja menyadari semua ini, tapi dia tidak menunjukkan keheranan apapun. Sikap yang menggambarkan kalau ada kamar lain yang sama bisa ditemukan di seluruh kota.
Gadis itu berjongkok, membuka tas hitam, mengeluarkan kain flanel putih, dan menggelarnya di lantai. Lalu ia mengambil sejumlah perkakas, kemudian menyusunnya dengan hati-hati di atas kain, seperti eksekutor yang mempertontonkan instrumen penyiksa menyeramkannya bagi para martirnya yang malang.
Memilih kawat dengan ketebalan sedang, gadis itu memasukkannya ke lubang kunci dan dengan tangan terlatihnya mengorek dari berbagai sudut. Matanya menyipit mencoba berkonsentrasi, telinganya dipasang agar bisa mendengar suara sekecil apapun. Selanjutnya, ia memilih kawat yang lebih tipis dan mengulangi proses tadi. Mukanya jadi suram, dan bibirnya mengecut, setajam pedang China. Dia mengambil senter besar dan dengan tampilan hitam di matanya, mulai memeriksa kunci dengan lebih teliti.
“Apakah kamu punya kunci untuk pintu ini?” Tanyanya kepada Samsa.
“Aku tak tahu sama sekali dimana kuncinya,” jawabnya jujur.
“Ah, Gregor Samsa, kamu bikin saya ingin mati saja,” ucap gadis itu.
Setelah itu, gadis itu mengabaikannya. Dia memilih obeng dari perkakas yang disusun di atas kain dan selanjutnya mencopot kunci dari pintu. Gerakannya lambat dan hati-hati. Dia berhenti berkali-kali saat melakukan proses pencopotan itu untuk memutar dan menggeliat seperti yang sebelum-sebelumnya.
Sementara Samsa berdiri di belakangnya, menyaksikan gerakan gadis itu yang unik, tubuh Samsa sendiri mulai merespon dengan cara yang aneh. Tubuhnya memanas, dan lubang hidungnya yang melebar. Mulutnya begitu kering sehingga menghasilkan suara tegukan keras setiap kali ia menelan ludah. Telinganya gatal. Dan organ seksualnya yang menggantung sedemikian rupa itu, mulai mengeras dan membesar. Muncul tonjolan yang terlihat di baju mandi gantinya. Dia memang sedang bediri di area gelap kamar, namun tetap saja itu kelihatan.
Setelah berhasil mencopot kunci, gadis muda itu menerawangnya di dekat jendela, melalu sinar matahari yang masuk lewat celah papan. Dia menusuk dengan kawat tipis dan menggoyangkannya dengan keras untuk mengetahui apa yang terdengar, wajahnya tambah murung dan bibirnya mengerucut. Akhirnya, dia mendesah lagi dan berbalik menghadap Samsa.
“Bagian dalamnya ditembak,” ucap gadis itu. “Ini memang rusak. Dan memang yang satu ini, seperti katamu.”
“Bagus berarti.” Samsa menimpali.
“Tidak, tentu saja tidak bagus,” kata gadis itu. “Aku tak bisa memperbaikinya di sini. Ini jenis kunci khusus. Aku harus membawa pulang dan memberikannya ke ayahku atau ke salah satu kakakku. Mereka pasti bisa memperbaikinya. Aku masih amatir-hanya bisa memperbaiki kunci yang biasa.”
“Aku mengerti,” ucap Samsa. Jadi gadis ini punya ayah dan beberapa saudara. Sebuah keluarga tukang kunci.
“Sebenarnya, salah satu kakakku lah yang akan datang hari ini, tapi karena ada kericuhan maka akulah yang disuruh. Kota ini penuh dengan pos-pos pemeriksaan.” Dia melihat kembali kunci di tangannya. “Tapi kenapa ya kunci ini bisa rusak seperti ini? Ini aneh. Seseorang pasti telah mencungkil bagian dalam dengan perkakas khusus. Tidak ada cara lain untuk menjelaskannya. ”
Lagi-lagi gadis itu menggeliat. Lengannya diputar seolah-olah dia sedang berenang dengan gaya punggung. Samsa tertarik dan terpukau dengan gerakan itu.
Samsa memberanikan diri. “Bolehkah aku bertanya?” tanyanya.
“Sebuah pertanyaan?” tanya gadis itu, membuat tatapan Samsa jadi ragu-ragu. “Aku tak bisa membayangkan apa, tapi silahkan tanya sesukamu.”
“Kenapa kamu sering menggeliat?”
Gadis itu menatap Samsa dengan bibirnya yang terbuka. “Menggeliat?” Dia berpikir sejenak. “Maksudmu seperti ini?” Gadis itu mendemonstrasikan gerakan menggeliat itu.
“Ya, seperti itu.”
“Bra yang kupakai tidak pas,” jelas gadis itu masam. “Hanya itu.”
“Bra?” tanya Samsa dengan suara kuyu. Kata itu tak bisa ia temukan di kenangan.
“Iya bra. Kamu pasti tahu kan?” tanya gadis itu. “Atau kamu menganggap aneh kalau wanita bungkuk pun memakai bra? Kamu pikir ini perbuatan hina?”
“Bungkuk?” Samsa keheranan. Sebuah kata yang tidak ia ketahui. Dia tidak tahu apa yang dia bicarakan. Namun, ia tahu bahwa ia harus mengatakan sesuatu.
“Bukan, maksudnya aku tak sampai berpikir seperti itu,” Samsa bergumam.
“Dengar. Kami yang bungkuk pun punya dua payudara juga, seperti wanita lain, dan kami tentunya memakai bra. Kami tak mungkin berjalan seperti sapi dengan payudaranya yang berayun-ayun.”
“Tentu saja tidak.” Samsa kehilangan kata.
“Tapi tidak ada bra yang didesain untuk kami-semuanya jadi longgar. Tubuh kami berbeda dengan wanita normal kan? Jadi kami harus menggeliat agar bra kembali pas. Orang bungkuk punya banyak masalah. Jadi karena inilah kamu selalu menatapiku dari belakang?”
“Tidak, bukan sepenuhnya begitu. Aku hanya penasaran kenapa kamu melakukan itu.”
Jadi, Samsa menyimpulkan, bahwa bra adalah perlengkapan yang dibuat untuk menahan payudara, dan bungkuk adalah orang dengan penampakan tubuh seperti gadis itu. Ada banyak yang ia harus pelajari di dunia ini.
“Benarkah kamu tidak sedang mempermainkanku?” tanya gadis itu.
“Aku tak sedang mempermainkanmu.”
Wanita itu memiringkan kepalanya dan menatap Samsa. Dia tahu bahwa Samsa berbicara jujur-tampaknya tidak ada kebencian dalam dirinya. Samsa hanya sedikit lemah di kepala, itu saja. Dia memang beberapa tahun lebih tua dari dia. Selain lambat, ia tampaknya punya keterlambatan mental. Tapi yang pasti, dia berasal dari keluarga baik-baik yang memiliki sopan santun sempurna. Dia tampak tampa, meskipun kurus kecil dan berwajah pucat.
Saat itulah gadis itu melihat tonjolan yang terlihat di bagian bawah baju mandi gantinya.
“Hey, apa-apaan itu?” Katanya dengan nada dingin. “Tonjolan apa itu?”
Samsa menengok ke bawah. Bagian tubuhnya itu benar-benar membesar. Dia bisa menduga dari nada suara sang gadis kalau kondisinya ini merupakan sesuatu yang tidak pantas.
“Aku mengerti,” gadis itu mencibir. “Kamu sepertinya sedang membayangkan dirimu bisa bercinta dengan orang bungkuk sepertiku, kan?”
“Bercinta?” Samsa bertanya-tanya. Satu lagi kata yang tidak ia mengerti.
“Kamu bisa membayangkan, bahwa orang bungkuk bisa dengan mudahnya kamu tarik paksa dari belakang tanpa masalah, kan?” Kata wanita itu. “Percayalah, ada banyak lelaki cabul sepertimu, yang berpikir kalau kami akan membiarkan apapun yang kamu lakukan karena menganggap kami bungkuk. Nah, pikirkan lagi, bocah. Kami tidak gampangan! ”
“Aku sangat bingung,” kata Samsa. “Jika aku telah membuatmu tidak senang, aku benar-benar menyesal. Aku minta maaf. Mohon maafkan aku. Aku tidak bermaksud jahat. Aku sedang tidak enak badan, dan ada begitu banyak hal yang aku tak mengerti. ”
“Baiklah.” Gadis itu mendesah. “Kamu sedikit lambat kan? Tapi anumu itu bagus juga. Sungguh sial, aku pikir.”
“Maaf,” Samsa berkata lagi.
“Lupakan.” Gadis itu melunak. “Aku punya empat saudara sialan di rumah, dan karena aku adalah seorang gadis kecil mereka telah menunjukkan semuanya. Mereka memperlakukannya seperti lelucon saja. Semua dari mereka. Jadi aku tidak bercanda ketika saya menilai anumu tadi.”
Dia berjongkok untuk menempatkan kembali perkakasnya ke tas, membungkus kunci rusak di flanel dan dengan lembut merapikan semuanya.
“Aku bawa kuncinya ke rumah ya,” ucap gadis itu, sembari berdiri. “Beritahu orang tuamu. Kami akan memperbaikinya atau mungkin bakal menggantinya. Jika harus mengganti dengan yang baru, mungkin perlu beberapa lama, soalnya di luar sana sedang kacau. Jangan lupa untuk memberitahu mereka, oke? Apakah kamu mengikuti omonganku? Dapatkah kamu ingat? ”
“Aku akan beritahu mereka,” jawab Samsa.
Dia berjalan perlahan menuruni tangga, Samsa mengikuti di belakang. Mereka kelihatan sama-sama kesusahan: si gadis tampak seolah-olah dia sedang merangkak, sementara Samsa yang di belakangnya berjalan dengan cara yang sangat aneh. Namun langkah mereka identik. Samsa berusaha keras untuk meredakan anunya, tapi nampaknya sulit kembali ke keadaan semula. Menonton gerakan si gadis dari belakang saat menuruni tangga membuat hatinya semakin berdebar-debar. Hot darah, segar menjalari pembuluh darahnya. Anunya makin keras kepala.
“Seperti yang kukatakan sebelumnya, salah satu saudaraku seharusnya yang datang hari ini,” kata gadis itu ketika mereka mencapai pintu depan. “Tapi jalan-jalan dipenuhi oleh tentara dan tank. Orang-orang ditangkapi. Itu sebabnya anggota keluargaku yang lain tidak bisa keluar. Ketika ada yang ditangkap, kita tidak akan tahu kapan akan kembali. Itu sebabnya aku dikirim. Melintasi jalanan Praha, sendirian. ‘Tidak ada yang akan memperhatikan seorang gadis bungkuk,’ kata mereka.”
“Tank?” Samsa bergumam.
“Ya, ada banyak. Tank dengan meriam dan senapan mesin. Meriammu itu mengesankan,” kata gadis itu, menunjuk tonjolan di bawah baju mandi ganti, “tapi meriam yang di luar itu lebih besar dan lebih keras, dan lebih mematikan. Mari kita berdoa semoga semua orang dalam keluargamu bisa kembali pulang dengan selamat.”
Samsa memberanikan dirinya. “Bisakah kita bertemu lagi?” tanyanya.
Si gadis tadi menengokan kepalanya pada Samsa. “Kamu ingin bisa bertemu denganku lagi?”
“Ya, aku ingin bertemu denganmu sekali lagi.”
“Dengan anumu yang seperti itu?”
Samsa melihat ke bawah si tonjolan tadi. “Saya tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya, tapi itu tidak ada hubungannya dengan perasaan saya. Ini mungkin berkaitan dengan masalah hati.”
“Jangan bercanda,” ucap gadis itu, terkesan. “Sebuah masalah hati katamu. Itu sungguh cara yang menarik. Tak pernah mendengar ini sebelumnya. ”
“Kamu lihat, ini di luar kontrolku.”
“Dan ini tidak ada hubungannya dengan bercinta kan?”
“Bercinta tidak ada dalam pikiranku. Sungguh.”
“Jika kusimpulkan. Ketika anumu membesar dan mengeras seperti itu, bukan dari pikiranmu, tetapi itu gara-gara hati?”
Samsa mengangguk setuju.
“Demi Tuhan?” Kata wanita itu.
“Tuhan,” Samsa mengulang. Kata lain yang ia tidak bisa mengingat setelah mendengar sebelumnya. Dia terdiam.
Wanita itu menggelengkan kepalanya. Dia memutar dan menggeliat untuk menyesuaikan branya. “Lupakan. Tampaknya Tuhan sudah meninggalkan Praha sejak beberapa hari yang lalu. Mari kita lupakan tentang Dia.”
“Jadi bisakah aku bertemu denganmu lagi?” tanya Samsa.
Air muka gadis itu berubah – tatap matanya menerawang jauh. “Kamu benar-benar ingin melihatku lagi?”
Samsa mengangguk.
“Apa yang akan kita lakukan?”
“Kita bisa ngobrol bersama.”
“Tentang apa?” tanya si gadis.
“Tentang beragam hal.”
“Hanya ngobrol?”
“Ada banyak yang ingin aku tanyakan kepadamu,” ucap Samsa.
“Tentang apa?”
“Tentang dunia ini. Tentangmu. Tentangku. Aku rasa ada beragam hal yang bisa kita obrolkan. Tank, contohnya. Dan Tuhan. Dan bra. Dan kunci.”
Keduanya terdiam sejenak.
“Aku tidak tahu,” perempuan itu akhirnya berkata. Dia menggeleng pelan, tapi suaranya terasa dingin. “Kau dibesarkan dari keluarga baik-baik tidak sepertiku. Dan aku ragu orang tuamu bakal senang melihat anak kesayangannya berhubungan dengan orang bungkuk dari seberang kota. Bahkan jika anaknya lumpuh dan agak lambat. Selain itu, kota kita sedang ditempati banyak tank dan pasukan asing. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Samsa tidak tahu pasti apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia buta tentang segala hal: masa depan, tentu saja, begitupun apa yang terjadi sekarang juga masa lalu. Apa yang benar, dan apa yang salah? Belajar cara berpakaian saja menjadi teka-teki yang rumit.
“Bagaimanapun, aku akan datang kembali beberapa hari lagi,” kata sang gadis bungkuk. “Jika kami dapat memperbaikinya, aku akan membawa kunci, dan jika kami tidak bisa maka aku akan mengembalikannya juga kepadamu. Kamu akan dikenakan biaya untuk layanan panggilan, tentu saja. Jika kamu masih berada di sini, maka kita dapat melihat satu sama lain lagi. Apakah kita bisa punya banyak waktu bicara atau tidak, aku tidak tahu. Tapi kalau aku jadi kamu, aku akan mencoba menjaga agar tonjolan itu tak kelihatan. Di luar sana, kamu tidak mendapatkan pujian kalau mengekspos hal semacam itu. ”
Samsa mengangguk. Dia sama sekali tak mengerti, bagaimana cara menyembunyikan barang itu agar tak terlihat.
“Ini aneh, bukan?” Gadis itu berkata dengan suara termenung. “Banyak ledakan di sekitar kita, tapi masih ada orang yang peduli tentang kunci rusak, dan orang lain yang masih mau peduli memperbaikinya. . . . Tapi mungkin inilah cara yang seharusnya. Mungkin tetap bekerja pada hal-hal kecil dengan patuh dan jujur saat dunia sedang kacau membuat kita tetap waras.”
Gadis itu menatap wajah Samsa ini. “Aku tidak bermaksud mencampuri, tapi apa sebenarnya yang terjadi di kamar di lantai dua itu? Mengapa orang tuamu perlu sebuah kunci besar untuk sebuah kamar kosong yang cuma ada tempat tidur, dan mengapa hal seperti itu membuat mereka terganggu ketika kuncinya rusak? Dan kenapa mereka memaku papan di jendelanya? Apakah ada sesuatu yang dikurung di sana?”
Samsa menggeleng. Jika seseorang atau sesuatu itu telah dikurung di sana, itu pasti dia. Tapi mengapa itu menjadi penting? Ia tidak tahu.
“Saya kira tidak ada gunanya bertanya kepadamu,” kata gadis itu. “Yah, aku harus pergi. Mereka akan mengkhawatirkanku kalau aku terlambat. Berdoalah agar aku bisa aman melintasi kota. Semoga tentara akan mengabaikan gadis bungkuk yang miskin ini. Semoga tidak satupun dari mereka adalah orang cabul. Kita sedang dalam kekacauan.”
“Aku akan berdoa,” ucap Samsa. Tapi dia tidak tahu arti dari “cabul” itu. Dan juga “doa”.
Wanita itu mengambil tasnya hitam dan, masih membungkuk, berjalan menuju pintu.
“Bisakah aku bertemu denganmu lagi?” Samsa bertanya untuk terakhir kalinya.
“Jika kamu terus memikirkan seseorang, kamu pasti bisa bertemu dengan mereka lagi,” katanya di perpisahan. Kali ini ada kehangatan dalam suara gadis itu.
“Waspada terhadap burung,” Samsa memanggilnya. Gadis itu berbalik dan mengangguk. Lalu ia pergi ke jalan.
***
Samsa mengamati melalui celah tirai ketika gadis bungkuk itu melintasi bebatuan. Gadis itu berjalan dengan aneh namun dengan kecepatan yang mengejutkan. Samsa tertarik dengan setiap gerak-gerik si gadis yang menawan itu. Gadis itu mengingatkannya pada serangga air yang sedang bergerak cepat di atas air menuju tanah kering. Sejauh yang ia hu, cara berjalan gadis itu lebih masuk akal ketimbang berjalan dirinya yang bergoyang-goyang dengan dua kaki.
Gadis itu masih terlihat, namun Samsa merasakan kalau alat kelaminnya telah kembali menjadi lemah dan menyusut. Bahwa tonjolan keras tadi telah, lenyap. Sekarang bagian tubuhnya yang bergelantung di antara kakinya itu seperti buah yang tidak bersalah, damai dan tak berdaya. Bolanya beristirahat dengan nyaman di kantung mereka. Menyesuaikan kembali sabuk baju mandi gantinya, ia duduk di meja makan dan minum sisa kopi dinginnya.
Orang-orang yang tinggal di sini sudah pergi ke tempat lain. Dia tidak tahu siapa mereka, tapi ia membayangkan bahwa mereka adalah keluarganya. Sesuatu telah terjadi tiba-tiba, dan mereka telah meninggalkannya. Mungkin mereka tidak akan pernah kembali. Apa maksud dari “kekacauan dunia” tadi? Gregor Samsa tidak tahu. Pasukan asing, pos-pos pemeriksaan, tank-semuanya masih jadi misteri.
Satu-satunya hal yang ia tahu pasti adalah bahwa ia ingin melihat sekali lagi gadis bungkuk itu. Untuk duduk berhadapan dan berbicara tentang isi hatinya. Untuk mengungkap beragam teka-teki dunia dengannya. Samsa ingin menonton dari setiap sudut cara dia memutar dan menggeliat ketika ia sedang membenarkan posisi branya. Jika memungkinkan, dia ingin merabai seluruh tubuh gadis itu. Menyentuh kulit lembut dan merasakan kehangatan gadis itu dengan ujung jarinya. Berjalan berdampingan dengan dia naik dan turun tangga dunia.
Hanya berpikir tentang gadis itu membuatnya merasakan kehangatan dalam dirinya. Tidak muncul lagi keinginannya untuk jadi ikan atau bunga matahari-atau apapun. Ia senang menjadi seorang manusia. Memang, ada ketidaknyamanan kalau harus berjalan dengan dua kaki dan ketika memakai pakaian. Yang pasti, masih ada begitu banyak hal yang ia tidak tahu. Kalau saja ia menjadi ikan atau bunga matahari, dan bukan manusia, tentu dia tak akan mengalami emosi semacam ini. Dia punya perasaan.
Samsa duduk lama di sana dengan mata tertutup. Kemudian, mengambil sebuah keputusan, ia berdiri, meraih tongkat hitam, dan berjalan menuju tangga. Dia kembali ke lantai dua, untuk kemudian belajar cara yang tepat dalam hal berpakaian. Untuk saat ini, setidaknya, ini akan jadi misinya.
Dunia sedang menunggunya untuk belajar beragam hal.