Cerpen Haruki Murakami: Kino

Penerjemah Ika Yuliana. Sumber: Ceruk Aksara

LAKI-LAKI itu selalu duduk di tempat yang sama, di bangku terjauh di ujung meja bar. Ketika tempat itu kosong, tentu saja, tapi bangku itu nyaris tidak pernah ditempati. Barnya jarang penuh sesak, dan tempat duduk itu adalah yang paling tersembunyi sekaligus paling tidak nyaman. Tangga di belakangnya membuat atapnya miring dan rendah, jadi sulit sekali berdiri di sana tanpa membuat kepalamu terbentur. Laki-laki itu tinggi, tapi karena suatu alasan, memilih tempat yang menyempil dan sempit itu.

Kino ingat kali pertama laki-laki itu datang ke barnya. Penampilannya langsung menarik perhatian Kino—kepala gundul kebiruan, tubuh yang kurus tapi berbahu lebar, kilatan mata tajam, tulang pipi menonjol, dan kening yang lebar. Laki-laki itu tampaknya berumur tiga puluhan, dan dia mengenakan jas hujan panjang berwarna abu-abu meskipun tidak sedang turun hujan. Awalnya, Kino menganggap laki-laki itu anggota yakuza yang sedang berjaga di daerahnya. Waktu itu pukul 7.30, pada suatu malam yang dingin di bulan April, dan barnya sedang tak berpengunjung. Laki-laki itu memilih duduk di ujung meja bar, menanggalkan jas hujannya, memesan bir dengan suara pelan, kemudian membaca buku tebal dengan tenang. Setengah jam kemudian, birnya sudah habis, dia mengangkat tangannya satu atau dua inci untuk memanggil Kino, kemudian memesan wiski. “Merek apa?” tanya Kino, tapi laki-laki itu bilang dia tidak punya merek favorit.

Scotch yang biasa saja. Dobel. Tolong tambahkan air dengan jumlah yang sama dan sedikit es.”

Kino menuangkan White Label ke dalam gelas, menambahkan air dalam jumlah yang sama dan dua es batu kecil. Laki-laki itu menyesap minumannya, mengamati gelasnya, dan menyipitkan mata. “Ini sudah oke.”

Laki-laki itu membaca lagi selama setengah jam, kemudian berdiri dan membayar tagihannya secara tunai. Dia menghitung uang kecilnya sesuai jumlah tagihan sehingga tidak akan mendapatkan receh sebagai kembalian. Kino langsung menghela napas lega setelah laki-laki itu berada di luar pintu. Tapi setelah laki-laki itu pergi, aura kehadirannya masih terasa. Selagi Kino berdiri di belakang meja bar, dia sesekali melirik bangku yang tadi ditempati laki-laki itu, setengah berharap dia masih duduk di sana, mengangkat tangannya beberapa inci untuk memesan sesuatu.

Laki-laki itu mulai datang ke bar milik Kino secara rutin. Sekali, atau paling banyak dua kali, dalam satu minggu. Dia selalu memesan bir dulu, kemudian wiski. Kadang dia akan memandangi menu hari itu yang tertera di papan tulis kemudian memesan camilan.

Laki-laki itu nyaris tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun. Dia selalu datang relatif awal pada malam hari, sebuah buku terkempit di ketiaknya, yang kemudian akan dia letakkan di meja bar. Setiap kali capek membaca (setidaknya, Kino mengira dia kecapekan), laki-laki itu akan mengalihkan pandangan dari halaman bukunya kemudian mengamati botol-botol minuman keras yang berjajar di rak di hadapannya, seakan-akan sedang mempelajari deretan binatang aneh dari negeri jauh yang diawetkan.

Walaupun begitu, Kino segera terbiasa dengan kehadiran laki-laki itu. Dia tidak pernah merasa tidak nyaman berada di dekatnya, bahkan ketika di bar hanya ada mereka berdua. Kino sendiri tidak pernah banyak bicara, dan tidak pernah merasa kesulitan untuk tetap membisu di dekatnya. Sementara laki-laki itu membaca, Kino melakukan hal yang biasanya dia kerjakan ketika sendirian—mencuci piring, menyiapkan saus, memilih rekaman untuk diputar, atau membaca koran.

Kino tidak tahu nama laki-laki itu. Dia hanya pelanggan tetap yang datang ke barnya, menikmati bir dan wiski, membaca dalam diam, membayar tunai, kemudian pergi. Dia tidak pernah mengganggu orang lain. Apa lagi yang perlu Kino tahu tentangnya?


KETIKA kuliah dulu, Kino adalah pelari jarak menengah yang menonjol, tapi tendon Achilles-nya putus pada tahun-tahun awal kuliahnya dan dia harus mengurungkan niatnya untuk bergabung dengan tim lari. Setelah wisuda, atas rekomendasi pelatihnya, dia mendapat pekerjaan di perusahaan pembuat peralatan olahraga dan bertahan di sana selama tujuh belas tahun. Di tempat kerja, dia bertanggung jawab membujuk toko-toko olahraga untuk menyetok sepatu lari buatan perusahaannya dan para atlet ternama untuk mencobanya. Perusahaan tempatnya bekerja, firma kelas menengah yang berpusat di Okayama, jauh dari terkenal dan tidak punya kekuatan finansial layaknya Nike atau Adidas untuk membuat kontrak eksklusif dengan para pelari terbaik kelas dunia. Namun, perusahaan itu membuat sepatu-sepatu bagus untuk para atlet top, dan beberapa di antara mereka menyukai produknya. “Bekerjalah dengan jujur dan kau akan mendapat ganjarannya” adalah slogan yang diyakini pendiri perusahaan, dan pendekatan yang kalem serta agak anakronistis itu cocok dengan kepribadian Kino. Bahkan laki-laki pendiam dan sulit bersosialisasi seperti dirinya pun mampu melakukan penjualan. Sebenarnya, karena kepribadiannyalah para pelatih memercayainya dan atlet-atlet menyukainya. Dia menyimak dengan saksama kebutuhan tiap pelari, kemudian memastikan kepala produksi memahami detail-detailnya. Gajinya tidak seberapa, tapi dia merasa pekerjaannya menarik dan memuaskan. Walaupun dia sendiri tidak lagi bisa berlari, dia senang melihat pelari-pelari lain berpacu di lintasan, postur mereka tampak sempurna.

Ketika Kino memutuskan keluar dari perusahaan, itu bukan karena dia tidak puas dengan pekerjaannya melainkan karena dia mendapati istrinya berselingkuh dengan teman terdekat Kino di tempat kerja. Kino biasanya menghabiskan lebih banyak waktu di jalanan ketimbang di rumahnya di Tokyo. Dia sering menjejali tas olahraga besar dengan sampel sepatu sampai penuh kemudian berkeliling ke toko-toko olahraga di seantero Jepang, juga mengunjungi kolega setempat dan perusahaan-perusahaan yang mensponsori tim lari. Istrinya dan teman kerjanya mulai tidur bersama selagi Kino pergi. Kino bukan jenis orang yang mudah menangkap pertanda. Dia pikir pernikahannya baik-baik saja, dan tidak ada satu pun perkataan atau perlakuan istrinya yang menyudutkannya ke keadaan sebaliknya. Kalau saja bukan karena dia kebetulan pulang ke rumah sedikit lebih awal setelah perjalanan bisnisnya, Kino mungkin tidak akan pernah tahu apa yang terjadi.

Sekembalinya dari Tokyo hari itu, dia langsung menuju apartemennya di Kasai, hanya untuk mendapati istri dan temannya telanjang sambil bergumul di ranjangnya, di ranjang tempat dia dan istrinya biasa tidur. Posisi istrinya di atas, dan ketika membuka pintu, Kino langsung berhadap-hadapan dengan istrinya dan payudara indahnya yang berayun-ayun naik turun. Kino berusia 39 waktu itu, istrinya 35. Mereka tidak punya anak. Kino menunduk, menutup pintu kamar, meninggalkan apartemen, dan tidak pernah kembali ke sana. Keesokan harinya, dia keluar dari pekerjaannya.


KINO punya bibi yang tidak menikah, kakak perempuan ibunya. Sejak Kino kecil, bibinya selalu baik kepadanya. Bibinya dulu punya pacar yang lebih tua selama beberapa tahun (“kekasih” mungkin istilah yang lebih tepat), dan pacarnya itu dengan murah hati memberinya sebuah rumah kecil di Aoyama. Dia tinggal di lantai dua dan menjalankan kedai kopi di lantai pertama rumah itu. Di depannya ada taman kecil dan pohon dedalu yang mengesankan, dengan ranting-ranting rendah yang berdaun lebat. Rumah itu terletak di jalan kecil yang sempit di dekat Museum Nezu, jelas-jelas bukan tempat terbaik untuk menarik pengunjung, tapi bibinya punya bakat menarik orang, dan kedai kopinya menjadi bisnis yang mendatangkan keuntungan lumayan.

Namun, setelah bibinya berusia enam puluh, dia menderita sakit punggung sehingga lebih sulit baginya mengelola kedai itu seorang diri. Dia memutuskan pindah ke rumah peristirahatan di Izu Kogen Highlands. “Aku ingin tahu apa akhirnya mungkin kau mau mengambil alih kedainya?” pintanya kepada Kino. Percakapan ini terjadi tiga bulan sebelum Kino mengetahui perselingkuhan istrinya. “Aku menghargai tawaran itu,” kata Kino kepada bibinya, “tapi sekarang aku senang bekerja di sini.”

Setelah mengajukan pengunduran diri, Kino menelepon bibinya untuk bertanya apa dia sudah menjual kedainya. Dia sudah mendaftarkannya ke agen properti, katanya kepada Kino, tapi belum ada penawaran serius. “Aku ingin membuka bar di sana kalau bisa,” kata Kino. “Bisakah aku membayar sewanya secara bulanan?”

“Tapi bagaimana dengan pekerjaanmu?” tanya bibinya.

“Aku keluar beberapa hari yang lalu.”

“Tidakkah istrimu keberatan?”

“Kami mungkin akan segera bercerai.”

Kino tidak menjelaskan alasannya, dan bibinya pun tidak menanyakannya. Sejenak ada keheningan di ujung telepon. Kemudian bibinya menyebutkan biaya sewa bulanannya, yang jauh lebih rendah daripada perkiraan Kino. “Kurasa aku bisa mengusahakannya,” katanya kepada bibinya.

Dia dan bibinya tidak pernah bercakap sebanyak itu (ibunya mencegah Kino agar tidak berhubungan dekat dengannya), tapi tampaknya mereka selalu punya semacam kesamaan pemahaman. Bibinya tahu Kino bukan jenis orang yang suka ingkar janji.

Kino menggunakan setengah tabungannya untuk mengubah kedai kopi itu menjadi bar. Dia membeli perabot sederhana dan memasang meja bar panjang yang kokoh. Dia memasang pelapis dinding baru berwarna kalem, membawa koleksi rekamannya dari rumah, dan menderetkan rak penuh LP di bar. Dia punya stereo yang cukup bagus—pemutar piringan hitam Thorens, amplifier Luxman, dan pengeras suara JBL—yang dia beli ketika masih lajang, pembelian yang lumayan mewah untuk saat itu. Tapi dia selalu menikmati mendengar rekaman jazz lama. Itu satu-satunya hobi Kino, hobi yang tidak dimiliki satu pun orang yang dia kenal. Saat kuliah, dia bekerja paruh-waktu sebagai bartender di pub di Roppongi sehingga dia sangat menguasai seni mencampur koktail.

Dia menamakan barnya Kino. Dia tidak bisa menemukan nama yang lebih bagus. Minggu pertama dia membuka barnya, tidak ada seorang pun pengunjung yang datang, tapi dia tidak patah arang. Lagi pula, dia memang belum mengiklankan tempat itu, atau bahkan memasang plang yang mencolok mata. Dengan sabar, dia semata menunggu orang yang penasaran untuk menemukan bar kecil di jalan yang terasing itu. Dia masih punya sebagian pesangonnya, dan istrinya tidak meminta sokongan finansial sedikit pun. Istrinya sekarang tinggal dengan mantan teman sekantor Kino. Dia dan Kino memutuskan untuk menjual apartemen mereka di Kasai. Kino tinggal di lantai dua rumah bibinya, dan tampak seakan, untuk sementara ini, dia mampu melaluinya.

Selagi menunggu pengunjung pertamanya, Kino senang mendengarkan musik apa pun yang dia suka dan membaca buku-buku yang ingin dia baca. Bagaikan tanah gersang menyambut hujan, dia membiarkan kesunyian, keheningan, dan kesendirian meresap ke dalam dirinya. Dia mendengarkan banyak lagu piano solo Art Tatum. Entah bagaimana lagu-lagu itu tampaknya pas dengan suasana hatinya.

Dia tidak yakin kenapa, tapi dia tidak merasa marah atau getir terhadap istrinya, atau terhadap rekan kerjanya yang tidur dengan perempuan itu. Pengkhianatan itu mengejutkan, tentu saja, tapi seiring berjalannya waktu, dia mulai merasa seakan hal itu memang tidak terhindarkan, seakan memang begitulah takdirnya. Sepanjang hidupnya, bagaimanapun, dia tidak pernah mencapai apa-apa, sama sekali tidak pernah produktif. Dia tidak bisa membahagiakan orang lain, dan tentu saja, tidak bisa membahagiakan dirinya sendiri. Kebahagiaan? Dia bahkan tidak yakin apa artinya itu. Dia tidak punya pikiran jernih, begitu juga emosi seperti kesedihan atau kemarahan, kekecewaan atau kepasrahan, dan bagaimana rasanya semua itu. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah menciptakan tempat di mana hatinya—yang sekarang tidak punya kedalaman atau bobot—bisa ditambatkan, untuk menjaganya agar tidak berkeliaran tanpa tujuan. Bar kecil ini, Kino, yang terselip di jalan sempit, menjadi tempatnya. Dan anehnya, ini juga menjadi—bukan karena memang didesain, persisnya—tempat yang sangat nyaman.

Yang pertama merasakan betapa nyamannya bar Kino bukanlah orang, melainkan kucing jalanan. Seekor kucing betina muda berbulu kelabu dengan ekor panjang yang cantik. Kucing itu menyukai etalase kaca yang terabaikan di pojokan dan senang bergelung di sana. Kino tidak terlalu memperhatikan kucing itu, berpikir hewan itu pasti ingin dibiarkan sendirian. Sekali setiap hari, Kino memberinya makan dan mengganti airnya, tapi tidak pernah lebih dari itu. Kemudian dia membuat pintu kecil sehingga kucing itu bisa masuk keluar bar sesuka hatinya.


KUCING itu mungkin saja membawa keberuntungan karena setelah binatang itu muncul, beberapa pengunjung bar juga mulai berdatangan. Sebagian dari mereka mulai datang secara rutin—orang-orang yang menyukai bar kecil di jalan sempit dengan pohon dedalu tua yang mengesankan, pemilik setengah baya, rekaman tua disetel di pemutar piringan hitam, dan kucing kelabu yang tidur di pojokan. Dan orang-orang ini kadang mengajak pengunjung baru. Masih jauh dari berkembang pesat, tapi bar itu setidaknya telah menghasilkan cukup uang untuk membawar sewa tempatnya. Bagi Kino, itu sudah cukup.

Laki-laki muda berkepala gundul itu mulai datang ke bar sekitar dua bulan setelah tempat itu dibuka. Dan butuh waktu dua bulan juga sampai akhirnya Kino tahu namanya, Kamita.

Waktu itu turun hujan rintik-rintik, jenis hujan yang membuatmu tidak yakin apakah kau benar-benar membutuhkan payung. Hanya ada tiga orang pengunjung di bar, Kamita dan dua laki-laki berjas. Waktu itu pukul 7.30 malam. Seperti biasa, Kamita menempati bangku paling ujung di meja bar, minum sebotol Pinot Noir. Kedua laki-laki itu membawa botolnya sendiri dan bertanya kepada Kino apakah dia keberatan kalau mereka meminumnya di sana dengan membayar lima ribu yen sebagai ongkos membuka botol. Itu pertama kalinya bagi Kino, tapi dia tidak punya alasan untuk menolaknya. Kino membuka botolnya kemudian meletakkan dua gelas anggur dan semangkuk kacang. Sama sekali tidak ada masalah. Dua laki-laki itu terus merokok, dan bagi Kino, yang membenci rokok, kedua laki-laki itu menjadi kurang menyenangkan. Tanpa punya banyak hal untuk dilakukan, Kino duduk di bangku dan mendengarkan LP Coleman Hawkins dengan lagunya “Joshua Fit the Battle of Jericho.” Dia merasa solo bass yang dimainkan Major Holly sangat mengagumkan.

Awalnya, kedua laki-laki itu tampak bercengkerama dengan akrab, menikmati anggur mereka, tapi kemudian muncul perbedaan pendapat mengenai suatu topik—topik apa itu, Kino tidak tahu—dan semakin lama mereka tampak semakin berapi-api. Sampai pada satu titik, seorang di antaranya bangkit, memukul meja sehingga membuat asbak yang penuh abu dan salah satu gelas anggurnya jatuh ke lantai. Kino bergegas datang membawa sapu, menyapu kekacauan itu, kemudian meletakkan gelas bersih dan asbak di meja.

Kamita—walaupun pada saat itu Kino belum tahu namanya—jelas-jelas tampak muak dengan perilaku kedua laki-laki itu. Raut wajahnya tidak berubah, tapi dia terus mengetuk-ngetukkan jemari tangan kirinya dengan pelan ke meja bar, seperti pianis yang sedang mengecek kunci. Aku harus mengendalikan situasi ini, pikir Kino. Dia menghampiri kedua laki-laki itu. “Maaf,” ujarnya sopan, “tapi apakah Anda berdua tidak keberatan untuk berbicara lebih pelan?”

Salah seorang dari mereka mendongak memandangnya dengan tatapan dingin kemudian bangkit dari mejanya. Kino sebelumnya tidak menyadari, tapi badan laki-laki itu sangat besar. Laki-laki itu tidak begitu tinggi dan berdada bidang, dengan lengan besar, jenis postur yang kauharapkan dari pegulat sumo.

Laki-laki yang satunya jauh lebih kecil. Kurus dan pucat, dengan penampilan licik, jenis yang pandai menghasut orang lain. Dia juga perlahan-lahan bangkit dari kursinya, dan Kino mendapati dirinya berhadapan dengan keduanya. Mereka tampaknya sepakat memanfaatkan kesempatan ini untuk mengakhiri pertengkaran mereka dan bergabung menghadapi Kino. Keduanya benar-benar selaras, nyaris tampak seakan mereka memang diam-diam menunggu munculnya situasi seperti ini.

“Jadi, kau pikir kau bisa begitu saja memotong dan menyela kami?” ujar orang yang berbadan lebih besar, suaranya terdengar keras dan lirih.

Jas yang mereka kenakan tampak mahal, tapi ketika dilihat lebih dekat, jas itu tampak murahan dan jelek. Sama sekali tidak tampak seperti yakuza, walaupun pekerjaan apa pun yang melibatkan mereka jelas-jelas tidak terhormat. Laki-laki berbadan lebih besar berpotongan cepak, sedangkan rambut temannya dicat cokelat dan disisir ke belakang kemudian dikucir tinggi. Kino mempersiapkan diri untuk menghadapi hal buruk yang mungkin terjadi. Keringat mulai mengucur dari ketiaknya.

“Maaf,” ujar suara lainnya.

Kino berbalik dan mendapati Kamita berdiri di belakangnya.

“Jangan menyalahkan pegawainya,” kata Kamita, menunjuk Kino. “Akulah yang menyuruhnya memintamu mengecilkan suara. Itu membuatku sulit berkonsentrasi, dan aku tidak bisa membaca bukuku.”

Suara Kamita terdengar lebih tenang, lebih lesu, daripada biasanya. Tapi ada sesuatu, yang tak terlihat, mulai bergolak.

“Tidak bisa membaca bukuku,” ulang laki-laki bertubuh kecil, seakan-akan memastikan tidak ada kesalahan tata bahasa dalam kalimat itu.

“Kenapa, memangnya kau tidak punya rumah?” tanya laki-laki berbadan besar kepada Kamita.

“Punya,” jawab Kamita. “Aku tinggal di dekat sini.”

“Lalu kenapa kau tidak pulang saja dan membaca di sana?”

“Aku suka membaca di sini,” sahut Kamita.

Kedua laki-laki itu bertukar pandang.

“Kemarikan bukunya,” kata laki-laki bertubuh kecil. “Akan kubacakan untukmu.”

“Aku suka membaca sendiri, dengan tenang,” jawab Kamita. “Dan aku pasti kesal kalau kau sampai salah melafalkan kata-katanya.”

“Kau ini luar biasa, ya,” ujar laki-laki berbadan besar. “Orang yang benar-benar lucu.”

“Siapa namamu?” tanya si kucir.

“Namaku Kamita,” jawabnya. “Ditulis dengan huruf untuk ‘tuhan’—kami—dan ‘ladang’ta: ‘ladang tuhan’. Tapi tidak dilafalkan ‘Kanda’, seperti yang mungkin kaukira. Ini dilafalkan ‘Kamita’.”

“Aku akan mengingatnya,” ujar si badan besar.

“Ide bagus. Memori bisa berguna,” sahut Kamita.

“Omong-omong, bagaimana kalau kita keluar?” kata laki-laki berbadan kecil. “Dengan begitu, kita bisa mengucapkan apa persisnya yang ingin kita katakan.”

“Tidak masalah,” ujar Kamita. “Di mana pun yang kau mau. Tapi, sebelumnya, bisakah kau membayar tagihanmu dulu? Kau tidak mau membuat barnya kena masalah.”


KAMITA meminta Kino memberikan tagihan mereka, dan dia menaruh uang pas untuk membayar minumannya sendiri di meja bar. Si kucir mengeluarkan uang kertas sepuluh ribu yen dari dompetnya kemudian melemparkannya ke meja.

“Aku tidak butuh kembalian,” ujar si kucir kepada Kino. “Tapi kenapa kau tidak membeli gelas anggur yang lebih bagus? Ini anggur mahal, dan gelas seperti ini membuat rasanya jadi tidak enak.”

“Benar-benar bar murahan,” ujar laki-laki berbadan besar dengan nada mengejek.

“Benar. Bar murahan dengan pengunjung murahan,” jawab Kamita. “Tempat ini tidak cocok untukmu. Pasti ada tempat lain yang cocok. Bukan berarti aku tahu tempat yang cocok untukmu.”

“Nah, kau memang orang bijak,” ujar si badan besar. “Kau membuatku tertawa.”

“Pikirkan hal ini nanti dan tertawalah yang lama sampai puas,” ujar Kamita.

“Kau tidak bisa memberitahuku ke mana aku harus pergi,” kata si kucir. Dia menjilat bibirnya perlahan, seperti ular yang sedang mengincar mangsanya.

Laki-laki berbadan besar membuka pintu kemudian melangkah ke luar, diikuti si kucir di belakangnya. Karena mungkin merasakan ketegangan yang ada, kucing itu, meskipun saat itu hujan, meloncat ke luar mengikuti mereka.

“Anda yakin Anda baik-baik saja?” tanya Kino kepada Kamita.

“Jangan khawatir,” sahut Kamita, dengan seulas senyum tipis. “Anda tidak perlu melakukan apa-apa, Mr. Kino. Diam saja di sini. Ini akan segera berakhir.”

Kamita beranjak ke luar dan menutup pintu. Saat itu masih hujan, sedikit lebih lebat daripada sebelumnya. Kino duduk di bangku dan menunggu. Anehnya, keadaan di luar hening, dan dia tidak bisa mendengar apa pun. Buku Kamita terbuka di meja bar, seperti anjing terlatih yang menunggu pelatihnya. Sekitar sepuluh menit kemudian, pintu terbuka, kemudian masuklah Kamita, seorang diri.

“Apa Anda bisa meminjami saya handuk?” pintanya.

Kino menyerahkan handuk bersih kepadanya, Kamita kemudian menyeka kepala. Lalu leher, wajah, dan akhirnya, kedua tangannya. “Terima kasih. Semua sudah beres sekarang,” ujarnya. “Kedua laki-laki tadi tidak akan menunjukkan wajahnya lagi di sini.”

“Apa yang terjadi?”

Kamita semata menggeleng, seakan untuk mengatakan, “Anda lebih baik tidak tahu.” Dia menghampiri kursinya, menenggak sisa wiski, kemudian meneruskan bacaannya.

Belakangan pada malam itu, setelah Kamita pergi, Kino keluar dan berkeliling lingkungan perumahan. Jalanan tampak lengang dan sunyi. Tidak ada tanda-tanda perkelahian, tidak ada jejak darah. Dia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi. Dia kembali ke bar menunggu pengunjung lain, tapi tidak ada lagi yang datang malam itu. Kucingnya juga tidak kembali. Kino menuang White Label untuk dirinya, menambahkan air dalam jumlah yang sama dan dua es batu kecil, kemudian mencicipinya. Tidak ada yang istimewa, tidak seperti yang kauharapkan. Tapi malam itu dia butuh suntikan alkohol dalam sistem tubuhnya.

SEKITAR seminggu setelah insiden itu, Kino tidur dengan seorang pengunjung perempuan. Dia adalah perempuan pertama yang berhubungan seks dengannya sejak Kino meninggalkan istrinya. Perempuan itu berumur tiga puluh, atau mungkin sedikit lebih tua. Kino tidak yakin apakah perempuan itu tergolong cantik, tapi ada sesuatu yang unik dalam dirinya, sesuatu yang menarik perhatian.

Perempuan itu pernah mengunjungi bar Kino beberapa kali, selalu ditemani laki-laki sepantarannya yang mengenakan kacamata berbingkai tempurung kura-kura dan berjenggot hippie. Laki-laki itu berambut kusut dan tidak pernah mengenakan dasi, jadi Kino mengira dia mungkin bukan tipe pekerja kantoran. Perempuan itu selalu mengenakan gaun ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang ramping. Mereka duduk di bar, kadang bertukar kata-kata dengan suara berbisik selagi menyesap koktail atau sherry. Kunjungan mereka tidak pernah lama. Kino membayangkan mereka minum-minum sebelum bercinta. Atau mungkin sesudahnya. Dia tidak tahu yang mana, tapi cara keduanya minum mengingatkan Kino pada seks. Seks yang lama dan intens. Keduanya tampak tak berekspresi dengan cara yang aneh, terutama si perempuan, yang Kino lihat tidak pernah tersenyum. Kadang perempuan itu mengajak Kino bercakap, selalu tentang musik yang sedang diputar. Perempuan itu suka jazz dan dia juga mengoleksi LP. “Ayahku biasa mendengarkan musik ini di rumah,” katanya kepada Kino. “Mendengarnya memunculkan kembali banyak memori.”

Dari nada bicaranya, Kino tidak tahu apakah memori itu tenang musiknya atau tentang ayah perempuan itu. Tapi dia tidak berani bertanya.

Kino sebenarnya berusaha agar tidak terlalu banyak terlibat dengan perempuan itu. Laki-laki yang bersamanya kentara sekali tampak tidak senang saat Kino bersikap ramah terhadap perempuan itu. Suatu kali dia dan perempuan itu mengobrol panjang—saling bertukar tip tentang toko rekaman bekas di Tokyo dan cara terbaik merawat piringan hitam—dan setelahnya, laki-laki itu terus memandang Kino dengan tatapan dingin dan penuh curiga. Kino biasanya berhati-hati menjaga jarak dengan segala jenis kerumitan. Tidak ada yang lebih buruk ketimbang kecemburuan dan harga diri, dan Kino sudah punya banyak pengalaman mengerikan karena satu atau hal lainnya. Terpikir olehnya waktu itu bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang memunculkan sisi gelap orang lain.

Walaupun begitu, malam itu, si perempuan datang ke bar seorang diri. Tidak ada pengunjung lain, dan saat dia membuka pintu, udara dingin menyusup masuk. Perempuan itu duduk di meja bar, memesan brandy, dan menyuruh Kino memutar lagu Billie Holiday. “Lagu yang benar-benar lawas, kalau bisa.” Kino meletakkan rekaman Columbia di pemutar piringan hitam, yang memuat lagu “Georgia on My Mind”. Mereka berdua mendengarkan dalam diam. “Bisakan kau memutar sisi sebaliknya juga?” pintanya, ketika lagu itu selesai, dan Kino melakukan seperti yang perempuan itu minta.

Perlahan-lahan, perempuan itu membuat dirinya menenggak tiga gelas brandy, mendengarkan beberapa rekaman lagi—“Moonglow” oleh Erroll Garner, “I Can’t Get Started” oleh Buddy DeFranco. Awalnya, Kino pikir perempuan itu sedang menunggu teman laki-lakinya, tapi dia tidak melirik jam tangannya sekali pun. Dia semata duduk di sana, mendengarkan musik, tenggelam dalam pikiran, menyesap brandy.

“Temanmu tidak ke sini hari ini?” Kino memutuskan untuk bertanya karena sudah mendekati jam tutup bar.

“Dia tidak datang. Dia di tempat yang jauh,” ujar perempuan itu. Dia bangkit dari bangkunya dan melenggang ke tempat si kucing tidur. Dia mengelus punggung kucing itu dengan lembut menggunakan ujung jemarinya. Kucing itu, tak merasa terganggu, terus saja tidur.

“Kami berpikir untuk tidak saling menemui lagi,” ujar perempuan itu.

Kino tidak tahu bagaimana menanggapinya, jadi dia diam saja, dan melanjutkan beres-beres di belakang meja bar.

“Aku tidak yakin bagaimana menjelaskannya,” kata perempuan itu. Dia berhenti membelai kucing itu dan kembali berjalan menuju bar, hak sepatunya berkelotakan. “Hubungan kami bisa dibilang tidak … normal.”

“Bisa dibilang tidak normal.” Kino mengulang ucapan perempuan itu tanpa benar-benar memikirkan artinya.

Perempuan itu meneguk habis sedikit brandy yang masih tersisa di gelasnya. “Aku ingin memperlihatkan sesuatu kepadamu, Mr. Kino,” ujarnya.

Apa pun itu, Kino tidak ingin melihatnya. Dia yakin tentang hal itu. Tapi dia tidak mencoba mengatakannya.

Perempuan itu melepaskan kardigannya dan menaruhnya di bangku. Kedua tangannya meraih ke balik punggung dan membuka ritsleting rok terusannya. Dia memutar punggungnya menghadap Kino. Tepat di bawah pengait bra, Kino melihat totol-totol janggal bekas luka berwarna kelabu pudar, seperti memar. Bekas luka itu mengingatkan Kino pada gugusan bintang di langit pada musim dingin. Deretan gelap bintang-bintang yang meredup.

Perempuan itu tidak berkata apa-apa, hanya memperlihatkan punggungnya kepada Kino. Layaknya orang yang tidak bisa memahami makna pertanyaan yang dia ajukan, Kino hanya memandangi bekas luka itu. Akhirnya, perempuan itu menutup ritsleting dan berbalik menghadapnya. Dia mengenakan kardigan dan merapikan rambutnya.

“Itu luka sundutan rokok,” kata perempuan itu enteng.

Kino kehilangan kata-kata. Tapi dia harus mengatakan sesuatu. “Siapa yang melakukannya kepadamu?” tanyanya, suaranya terdengar parau.

Perempuan itu tidak menjawab, dan Kino menyadari bahwa dirinya tak mengharapkan jawaban.

“Ada banyak lagi luka seperti itu di bagian tubuh lain,” jawab perempuan itu pada akhirnya, suaranya tanpa ekspresi. “Bagian tubuh yang … agak sulit diperlihatkan.”


KINO memang merasa, sejak awal, bahwa ada yang tidak biasa dari perempuan itu. Ada sesuatu yang memicu respons instingtif Kino, memperingatkannya agar tidak terlibat dengan perempuan itu. Pada dasarnya dia orang yang waspada. Kalau dia memang sangat perlu tidur dengan perempuan, dia selalu bisa melakukannya dengan pekerja profesional. Dan semua ini bukan pula karena dia tertarik pada perempuan itu.

Namun malam itu, si perempuan sangat menginginkan seorang laki-laki untuk bercinta dengannya—dan tampaknya Kino-lah laki-laki itu. Mata perempuan itu tampak dangkal, pupilnya melebar dengan aneh, tapi ada semacam kilatan tegas di sana yang tak akan memperbolehkannya mundur. Kino tidak punya kekuatan untuk menolak.

Kino mengunci bar, kemudian mereka berdua beranjak ke lantai atas. Di kamar, perempuan itu segera menanggalkan rok terusannya, melepaskan baju dalamnya, kemudian menunjuki Kino bagian tubuh yang agak sulit dia perlihatkan. Awalnya, Kino tidak tahan untuk tidak mengalihkan pandangan, tapi kemudian dia seakan kembali ditarik untuk menatapnya. Dia tidak mengerti, bukan berarti dia ingin mengerti, pikiran laki-laki yang tega melakukan hal kejam seperti itu, atau perempuan yang bersedia menanggungnya. Itu adegan keji yang berasal dari planet gersang berjarak jutaan tahun cahaya dari tempat Kino tinggal.

Perempuan itu meraih tangan Kino dan mengarahkannya ke luka itu, membuat Kino menyentuhnya satu per satu secara bergantian. Ada luka di payudaranya, dan di sebelah vaginanya. Kino menyusuri bekas luka yang gelap dan keras itu, seakan dia sedang menggunakan pensil untuk menyambungkan titik-titiknya. Bekas luka itu tampak membentuk sebuah wujud yang mengingatkan Kino pada sesuatu, tapi dia tidak yakin bentuk apa itu.

Mereka bercinta di atas lantai tatami. Tanpa bertukar kata, tanpa pemanasan, bahkan tidak ada waktu untuk mematikan lampu atau berbaring di atas kasur. Lidah perempuan itu menelusuri leher Kino, kukunya menghunjam punggungnya. Di bawah sorotan lampu, bagaikan dua binatang kelaparan, mereka melahap daging yang mereka idam-idamkan. Ketika fajar tampak menyingsing di luar, mereka merayap ke atas kasur kemudian terlelap, seakan-akan terseret ke dalam kegelapan.

Kino terbangun tepat sebelum tengah hari, dan perempuan itu sudah pergi. Dia merasa seakan-akan baru saja mendapat mimpi yang sangat realistis, tapi tentu saja itu bukan mimpi. Punggungnya penuh garis-garis cakaran, lengannya penuh bekas gigitan, dan penisnya terasa sakit oleh nyeri yang tumpul. Beberapa helai rambut hitam panjang melingkar di atas bantalnya, dan seprainya menguarkan aroma kuat yang belum pernah dia cium sebelumnya.

Perempuan itu datang ke bar beberapa kali setelah itu, selalu ditemani si laki-laki berjenggot. Mereka akan duduk di meja bar, bercakap dalam suara tertahan selagi menyesap satu atau dua gelas koktail, kemudian pergi. Perempuan itu akan sedikit bertukar kata dengan Kino, paling sering tentang musik. Nada suaranya masih sama seperti sebelumnya, seakan-akan perempuan itu tidak ingat yang terjadi pada mereka malam itu. Tapi tetap saja, Kino bisa menangkap kilatan nafsu di mata perempuan itu, bagaikan cahaya redup dari dalam lubang tambang. Kino yakin melihatnya. Dan kilatan mata itu membuat Kino kembali mengingat semuanya dengan jelas—hunjaman kuku di punggungnya, sengatan di penisnya, lidah perempuan itu yang panjang dan licin, aroma tempat tidurnya.

Selagi Kino dan perempuan itu bercakap-cakap, laki-laki yang datang bersamanya akan mengamati ekspresi dan gerak-gerik Kino dengan saksama. Kino merasakan sesuatu yang kuat menjalin pasangan itu, seakan-akan ada rahasia besar yang hanya diketahui mereka berdua.

 

PADA AKHIR musim semi, proses perceraian Kino rampung. Dia dan istrinya bertemu di bar suatu siang, sebelum bar itu buka, untuk membereskan beberapa persoalan final.

Masalah hukumnya selesai dengan cepat, dan keduanya telah menandatangani berkas-berkas yang diperlukan. Istri Kino mengenakan gaun baru berwarna biru, rambutnya dipotong pendek. Dia tampak lebih sehat dan ceria dibanding yang pernah dilihat Kino. Perempuan itu tak diragukan lagi telah memulai kehidupan baru yang lebih memuaskan. Dia melempar pandang ke sekeliling bar. “Tempat yang benar-benar bagus,” ujarnya. “Hening, bersih, tenang—benar-benar sepertimu.” Ucapannya diikuti keheningan singkat. “Tapi tidak ada satu hal pun di bar ini yang benar-benar menggugahmu”: Kino membayangkan inilah kata-kata yang ingin diucapkan istrinya.

“Kau ingin minum sesuatu?” tanya Kino.

“Sedikit anggur merah, kalau kau punya.”

Kino mengeluarkan dua gelas anggur dan menuangkan Napa Zinfandel. Mereka minum dalam diam. Mereka tidak akan bersulang untuk perceraian mereka. Si kucing berjalan mengendap-endap dan, tanpa dinyana, meloncat ke pangkuan Kino. Kino membelai bagian belakang telinga kucing itu.

“Aku ingin minta maaf,” akhirnya istrinya berkata.

“Untuk apa?” tanya Kino.

“Karena telah menyakitimu,” sahutnya. “Kau sakit hati, walau sedikit, bukan?”

“Sepertinya,” jawab Kino setelah mempertimbangkannya sejenak. “Bagaimanapun, aku manusia. Aku merasa sakit. Tapi sedikit atau banyak, aku tidak tahu.”

“Aku ingin menemuimu dan meminta maaf.”

Kino mengangguk. “Kau sudah minta maaf dan aku menerima permintaan maafmu. Tidak usah mengkhawatirkannya lagi.”

“Aku ingin menjelaskan apa yang terjadi, tapi aku tidak bisa merangkai kata-katanya.”

“Tapi bagaimanapun, bukankah kita sudah sampai di titik yang sama?”

“Kurasa begitu,” sahut istrinya.

Kino menyesap anggurnya.

“Ini bukan salah siapa-siapa,” ujar Kino. “Aku seharusnya tidak pulang lebih awal. Atau seharusnya aku memberitahumu kalau aku akan pulang. Dengan begitu kita tidak akan melalui semua ini.”

Istrinya tidak mengatakan apa-apa.

“Kapan kau mulai berkencan dengan laki-laki itu?” tanya Kino.

“Kupikir sebaiknya kita tidak membahas itu.”

“Lebih baik aku tidak tahu, maksudmu? Mungkin kau benar,” ujar Kino. Dia terus membelai kucing itu, yang sekarang mendengkur pelan. Hal pertama lainnya.

“Mungkin aku tidak berhak mengatakannya,” kata istrinya, “tapi kupikir lebih baik kau melupakan yang sudah terjadi dan mencari perempuan baru.”

“Mungkin,” ujar Kino.

“Aku tahu pasti ada perempuan di luar sana yang tepat untukmu. Pastinya tidak terlalu sulit menemukannya. Aku tidak bisa menjadi perempuan itu untukmu, dan aku telah melakukan hal yang buruk. Aku tidak enak hati karenanya. Tapi sejak awal memang ada yang keliru di antara kita, seolah-olah kita salah mengancingkan baju kita. Kurasa kau sebaiknya mempunyai kehidupan yang normal dan bahagia.”

Salah mengancingkan baju, pikir Kino.

Kino memandang gaun baru yang dikenakan istrinya. Mereka duduk berhadap-hadapan, jadi dia tidak tahu apakah ritsleting atau kancing yang ada di punggung gaun itu. Tapi dia tidak bisa mengelak untuk memikirkan apa yang akan dia lihat kalau dia membuka ritsleting atau kancing gaun istrinya. Tubuh perempuan itu bukan lagi milik Kino, jadi dia hanya bisa membayangkannya. Ketika memejamkan mata, Kino melihat bekas luka bakar cokelat tua yang tak terhitung jumlahnya menggeliang-geliut di punggung putih istrinya, bagaikan sekawanan cacing. Kino menggeleng-geleng untuk menghalau bayangan itu, dan perempuan itu tampaknya keliru mengartikannya.

Perempuan itu meletakkan telapak tangannya di atas tangan Kino dengan lembut. “Aku minta maaf,” katanya. “Aku benar-benar minta maaf.”

MUSIM GUGUR datang dan si kucing menghilang.

Perlu beberapa hari bagi Kino untuk menyadari bahwa kucing itu telah lenyap. Kucing ini—masih tidak bernama—datang ke bar sesuka hati dan kadang tidak menampakkan diri untuk beberapa lama, jadi kalaupun Kino tidak melihatnya selama seminggu, atau bahkan sepuluh hari, dia tidak khawatir. Kino menyukai kucing itu, dan kucing itu pun tampak memercayainya. Kucing itu juga seperti jimat keberuntungan bagi bar Kino. Kino punya kesan kuat bahwa selama kucing itu tidur di pojokan bar, tidak akan ada hal buruk terjadi. Tapi setelah dua minggu berlalu, Kino mulai khawatir. Setelah tiga minggu, firasat Kino mengatakan bahwa kucing itu tidak akan kembali.

Di sekitar waktu kucing itu menghilang, Kino mulai melihat ular di luar, di dekat bangunan barnya.

Ular pertama yang dia lihat berwarna cokelat tua dan bertubuh panjang. Ular itu ternaungi pohon dedalu di halaman depan, melata santai di sekitar situ. Kino, yang menenteng sekantong belanjaan, sedang membuka kunci pintu ketika melihatnya. Melihat ular di tengah Tokyo adalah hal yang jarang terjadi. Dia agak terkejut, tapi tidak khawatir tentang hal itu. Museum Nezu ada di belakang barnya, dengan tamannya yang luas. Bukan tak terbayangkan ada ular bersarang di sana.

Tapi dua hari kemudian, selagi Kino membuka pintunya tepat sebelum tengah hari untuk mengambil koran, dia melihat ular berbeda di tempat yang sama. Kali ini warnanya kebiruan dan lebih kecil daripada ular sebelumnya, dan tampak berlendir. Ketika melihat Kino, ular itu berhenti, sedikit mengangkat kepala, dan memakukan pandangan kepadanya, seakan mengenalnya. Kino ragu-ragu, tidak yakin harus melakukan apa, dan ular itu perlahan menurunkan kepalanya kemudian menghilang di antara bayang-bayang. Semua kejadian itu membuat Kino merinding.

Tiga hari kemudian, Kino memergoki ular ketiga. Ular itu juga ada di bawah naungan pohon dedalu di halaman depan. Ular ini tampak lebih kecil ketimbang ular yang lain dan berwarna kehitaman. Kino tidak tahu apa-apa tentang ular, tapi ular yang satu ini tampak paling berbahaya baginya. Entah bagaimana, ular itu tampak berbisa. Ketika menyadari kehadiran Kino, seketika ular itu merayap ke dalam semak. Tiga ular dalam waktu seminggu, entah bagaimana kau memandangnya, jelas terlalu banyak. Ada hal aneh yang sedang terjadi.

Kino menelepon bibinya yang ada di Izu. Setelah menceritakan perkembangan lingkungan perumahannya, Kino bertanya apakah bibinya pernah melihat ular di sekitar rumahnya di Aoyama.

“Ular?” tanya bibinya keras-keras, terdengar kaget. “Aku lama sekali tinggal di sana tapi sama sekali tidak ingat pernah melihat ular. Kupikir mungkin itu tanda akan ada gempa bumi atau sejenisnya. Binatang merasakan akan ada bencana dan mulai bertingkah aneh.”

“Kalau itu benar, mungkin lebih baik aku menyiapkan persediaan ransum darurat.”

“Sepertinya itu ide bagus. Suatu hari Tokyo akan diguncang gempa bumi besar.”

“Tapi apakah ular sepeka itu terhadap gempa?”

“Aku tidak tahu mereka peka terhadap apa,” ujar bibinya. “Tapi ular binatang pintar. Dalam legenda kuno, mereka sering membantu mengarahkan orang. Tapi, ketika seekor ular mengarahkanmu, kau tidak tahu apakah dia membawamu ke arah yang baik atau buruk. Seringnya, itu kombinasi antara kebaikan dan kejahatan.”

“Itu ambigu,” sahut Kino.

“Tepat sekali. Pada dasarnya ular adalah binatang ambigu. Dalam legenda-legenda ini, ular terpintar dan terbesar menyembunyikan jantungnya di suatu tempat di luar tubuhnya sehingga dia tidak bisa dibunuh. Kalau kau mau membunuh ular itu, kau harus pergi ke tempat persembunyiannya ketika ular itu tidak ada di sana, mencari jantungnya yang berdenyut, dan membelahnya jadi dua. Bukan pekerjaan mudah, tentu saja.”

Bagaimana bisa bibinya tahu semua ini?

“Beberapa hari lalu aku menonton tayangan di NHK yang membandingkan legenda-legenda di seluruh dunia,” jelas bibinya, “dan seorang profesor dari suatu universitas bercerita tentang hal ini. TV bisa lumayan berguna—kalau kau punya waktu, sebaiknya kau lebih banyak nonton TV.”

Kino mulai merasa seakan-akan rumahnya dikelilingi ular. Dia merasakan kehadiran mereka yang diam-diam. Pada tengah malam, ketika Kino menutup barnya, suasana di perumahan sangat tenang, tidak ada suara selain sirene yang sesekali terdengar. Begitu tenang hingga dia nyaris bisa mendengar ular melata di sekitarnya. Dia mengambil papan dan memakukannya ke pintu kecil yang dia buat untuk si kucing sehingga tidak akan ada ular yang bisa masuk ke rumah.

 

SUATU MALAM, menjelang pukul sepuluh, Kamita muncul. Dia memesan bir, diikuti White Label dobel yang biasa dipesannya, dan makan kol isi. Tidak biasanya dia datang begitu larut, dan duduk di sana begitu lama. Beberapa kali, dia mengalihkan pandangan dari bacaannya untuk menatap dinding di depannya, seolah-olah sedang merenungkan sesuatu. Menjelang jam tutup, dia masih bergeming, sampai menjadi pengunjung terakhir di sana.

“Mr. Kino,” kata Kamita sedikit formal, setelah membayar tagihannya. “Saya sangat menyesal karena sekarang sudah saatnya.”

“Sudah saatnya?” ulang Kino.

“Bahwa Anda harus menutup bar ini. Bahkan walaupun untuk sementara.”

Kino memandang Kamita, tidak tahu bagaimana menanggapinya. Menutup barnya?

Kamita memandang berkeliling bar yang sudah kosong, kemudian kembali menatap Kino. “Anda tidak paham apa yang saya katakan, bukan?”

“Saya rasa begitu.”

“Saya sangat menyukai bar ini,” kata Kamita seakan-akan mengungkapkan suatu rahasia kepadanya. “Bar ini tenang, jadi saya bisa membaca, dan saya menikmati musiknya. Saya sangat senang ketika Anda membuka bar di sini. Tetapi sayangnya, ada beberapa hal yang sudah hilang.”

“Hilang?” ujar Kino. Dia tidak tidak tahu apa maksudnya ini. Yang bisa dia bayangkan hanyalah cangkir teh dengan koin kecil di gagangnya.

“Kucing abu-abu itu tidak akan kembali,” kata Kamita. “Untuk sementara ini, paling tidak.”

“Karena tempat ini kehilangan sesuatu?”

Kamita tidak menjawab.

Kino mengikuti arah pandangan Kamita, dan memandang ke sekeliling bar dengan saksama, tapi tidak melihat hal yang di luar kebiasaan. Walaupun begitu, Kino merasa tempat ini lebih kosong daripada yang sudah-sudah, kekurangan daya hidup dan coraknya. Sesuatu yang jauh melampaui biasanya, semacam perasaan malam-ini-tutup-saja.

Kamita berkata, “Mr. Kino, Anda bukan jenis orang yang mau melakukan hal yang keliru. Saya paham betul. Tapi di dunia ini ada masanya ketika tidak melakukan hal yang keliru belumlah cukup. Beberapa orang menganggap ruang kosong itu sebagai semacam jalan untuk meloloskan diri. Anda paham perkataan saya?”

Kino tidak paham.

“Pikirkan hal ini baik-baik,” ujar Kamita, menatap langsung ke mata Kino. “Ini pertanyaan yang sangat penting, layak dipikirkan dengan serius, meskipun jawabannya mungkin tidak akan muncul dengan mudah.”

“Anda bilang ada masalah serius yang telah terjadi, bukan karena saya melakukan sesuatu yang keliru tapi karena saya tidak melakukan hal yang benar? Masalah yang berkaitan dengan bar ini, atau saya sendiri?”

Kamita mengangguk. “Anda bisa mengatakannya demikian. Tapi saya tidak hanya menyalahkan Anda, Mr. Kino. Saya juga salah karena tidak menyadarinya lebih awal. Seharusnya saya lebih memperhatikan. Tempat ini nyaman tidak hanya untuk saya tapi juga untuk semua orang.”

“Lalu apa yang harus saya lakukan?” tanya Kino.

“Tutup bar ini untuk sementara dan pergilah yang jauh. Tidak ada hal lain yang bisa Anda lakukan saat ini. Saya rasa yang terbaik bagi Anda adalah meninggalkan tempat ini sebelum turun hujan deras. Maaf kalau saya menanyakannya, tapi apakah Anda punya cukup uang untuk melakukan perjalanan panjang?”

“Saya rasa saya bisa membiayainya untuk beberapa lama.”

“Bagus. Anda bisa mengkhawatirkan hal selanjutnya setelah Anda memahaminya.”

“Tapi, siapa Anda?”

“Saya hanya laki-laki bernama Kamita,” jawab Kamita. “Ditulis dengan huruf untuk kata kami, ‘tuhan,’ dan ta, ‘ladang,’ tapi tidak dibaca ‘Kanda’. Saya sudah sejak lama tinggal di sekitar sini.”

Kino memutuskan untuk sekalian terjun dan bertanya, “Mr. Kamita, saya punya pertanyaan. Apakah Anda pernah melihat ular di sekitar sini sebelumnya?”

Kamita tidak menjawab. “Ini yang harus Anda lakukan. Pergilah yang jauh, dan jangan menetap di satu tempat untuk waktu lama. Dan setiap Senin dan Kamis, pastikan mengirim kartu pos. Dengan begitu, saya akan tahu Anda baik-baik saja.”

“Kartu pos?”

“Kartu pos bergambar apa saja yang menunjukkan lokasi Anda.”

“Tapi kepada siapa saya harus mengirimkannya?”

“Anda bisa mengirimkannya kepada bibi Anda di Izu. Jangan menuliskan nama Anda atau pesan apa pun. Tuliskan saja alamat kirimnya. Ini sangat penting, jadi jangan lupa.”

Kino menatap laki-laki itu dengan kaget. “Anda kenal bibi saya?”

“Ya, saya mengenalnya dengan baik. Sebenarnya, dia meminta saya mengawasi Anda, untuk memastikan tidak ada hal buruk yang terjadi. Tapi tampaknya saya gagal melaksanakan tugas itu.”

Siapa sebenarnya laki-laki ini? Kino bertanya kepada diri sendiri.

“Mr. Kino, kalau saja sudah tidak apa-apa bagi Anda untuk kembali, saya akan menghubungi Anda. Sampai saat itu, menjauhlah dari sini. Anda paham?”

Malam itu, Kino mengemas barang untuk perjalanannya. Yang terbaik bagi Anda adalah meninggalkan tempat ini sebelum turun hujan deras. Pemberitahuan itu begitu mendadak, dan dia tidak bisa menangkap logikanya. Tapi kata-kata Kamita punya kekuatan persuasif dahsyat yang jauh melampaui logika. Kino tidak meragukannya. Dia menjejalkan beberapa helai pakaian dan alat mandi ke dalam tas selempang berukuran sedang, tas yang dulu dia gunakan saat melakukan perjalanan bisnis. Seiring datangnya fajar, dia menempelkan pengumuman di pintu depan: “Maaf, barnya tutup sementara.”

Pergi yang jauh, kata Kamita kepadanya. Tapi Kino tidak tahu ke mana dia sebaiknya pergi. Haruskah dia menuju utara? Atau selatan? Dia memutuskan bahwa dia akan memulai perjalanan dengan menyusuri kembali rute yang sering dia lalui saat menjual sepatu lari. Dia naik bus ekspres dan pergi ke Takamatsu. Dia akan pergi berkeliling Shikoku sekali kemudian menuju Kyushu.

Dia check in ke hotel bisnis di dekat Stasiun Takamatsu dan menginap di sana selama tiga hari. Dia berkeliling di sekitar kota dan pergi menonton beberapa film. Bioskopnya sepi saat siang hari, dan film-filmnya, tanpa terkecuali, begitu membosankan. Ketika hari mulai gelap, dia kembali ke kamarnya dan menyalakan TV. Dia mengikuti saran bibinya dan menonton program edukasi, tapi tidak mendapatkan informasi yang berguna dari tayangan itu. Hari kedua di Takamatsu jatuh pada hari Kamis, jadi dia membeli kartu pos di toserba, membubuhkan prangko, lalu mengirimkannya kepada bibinya. Seperti arahan Kamita, Kino hanya menuliskan nama dan alamat bibinya.

“Pikirkan hal ini baik-baik,” kata Kamita kepadanya. “Ini pertanyaan yang sangat penting, layak dipikirkan dengan serius.” Tapi, tidak peduli seserius apa pun dia memikirkannya, Kino tidak bisa menebak apa masalah sebenarnya.

 

BEBERAPA hari kemudian, Kino menginap di hotel bisnis murah dekat Stasiun Kumamoto, Kyushu. Kamar dengan atap rendah, ranjang sempit, TV mungil, bak mandi amat kecil, dan kulkas kecil jelek. Dia merasa seperti raksasa kikuk dan canggung. Walaupun begitu, selain perjalanan ke toserba di dekat situ, Kino berdiam seharian di kamar. Di toserba, dia membeli sebotol kecil wiski, beberapa botol air mineral, dan biskuit sebagai camilan. Dia berbaring di ranjang sambil membaca. Ketika capek membaca, dia menonton TV. Ketika capek menonton TV, dia membaca.

Sekarang sudah hari ketiganya di Kumamoto. Dia masih punya uang di rekeningnya dan, kalau dia mau, dia bisa menginap di hotel yang jauh lebih bagus. Tapi dia merasa, untuk saat ini, inilah tempat yang tepat untuknya. Jika dia tinggal di tempat yang kecil seperti ini, dia tidak harus memikirkan hal yang tidak perlu, dan semua yang dia butuhkan berada dalam jangkauan. Tanpa terduga, dia mensyukurinya. Satu-satunya yang dia harapkan adalah musik. Teddy Wilson, Vic Dickenson, Buck Clayton—kadang, dia benar-benar mendamba untuk mendengarkan musik jazz lama mereka, dengan teknik yang mantap, bisa diandalkan, dan paduan nada yang terang-terangan. Dia ingin merasakan kesenangan murni yang mereka miliki dalam bermain musik, dengan optimisme luar biasa mereka. Tapi koleksi rekamannya ada di tempat yang sangat jauh. Dia membayangkan barnya yang sepi karena dia menutupnya. Jalanannya, pohon dedalunya yang besar. Orang-orang membaca pengumuman yang ditempelkannya kemudian pergi. Bagaimana dengan kucingnya? Kalau hewan itu kembali, dia akan mendapati pintunya ditutup papan. Dan apakah ular-ular itu masih berkeliaran di sekitar rumah?

Tepat di seberang jendela lantai delapannya adalah jendela gedung perkantoran. Dari pagi hingga sore, Kino mengamati orang-orang yang bekerja di sana. Dia tidak tahu usaha apa yang ada di sana. Laki-laki berdasi tampak masuk keluar, sementara perempuan mengetik di papan ketik, mengangkat telepon, mengarsipkan berkas-berkas. Bukan jenis pemandangan yang menarik minat seseorang. Karakteristik dan pakaian orang-orang yang bekerja di sana biasa saja, bahkan tampak banal. Kino mengamati mereka selama berjam-jam hanya karena satu alasan sederhana: dia tidak punya pekerjaan lain. Dan dia mendapati, tanpa terduga dan mengejutkan, betapa orang-orang di sana tampak bahagia. Beberapa di antaranya sering tertawa terbahak-bahak. Kenapa? Bekerja seharian di kantor yang membosankan, melakukan pekerjaan yang (setidaknya di mata Kino) tampak sama sekali tidak menggairahkan—bagaimana bisa mereka mengerjakannya dan masih merasa bahagia? Apakah ada semacam rahasia yang disembunyikan di sana sehingga dia tidak bisa memahaminya?

Sudah waktunya bagi Kino untuk kembali berpindah tempat. Jangan menetap di satu tempat untuk waktu lama, begitu kata Kamita. Tapi entah bagaimana, Kino tidak bisa membuat dirinya meninggalkan hotel Kumamoto yang kecil dan menyempil itu. Dia tidak bisa memikirkan tempat mana pun yang ingin dia datangi. Dunia adalah lautan luas tanpa petunjuk arah, dan Kino adalah perahu kecil yang kehilangan peta dan jangkarnya. Ketika Kino membentangkan peta Kyushu, memikirkan ke mana dia akan pergi setelah itu, dia merasa mual, seperti mabuk laut. Dia berbaring di kasur dan membaca buku, sesekali melirik untuk melihat orang-orang yang ada di kantor seberang jalan.

Hari itu Minggu, jadi dia membeli kartu pos bergambar Kastel Kumamoto di toko suvenir hotel, menulis nama dan alamat bibinya, kemudian menepukkan tangannya ke atas prangko. Dia menimang kartu posnya sejenak, memandang gambar kastelnya dengan tatapan hampa. Foto yang stereotipikal, jenis foto yang kauharapkan ada di kartu pos: kastelnya tampak menjulang gagah di tengah hamparan langit biru dan awan putih yang menggembung. Tak peduli berapa lamanya dia memandang kartu pos itu, Kino tidak bisa menemukan hubungan antara dirinya dan kastel itu. Lalu, mengikuti kehendak hatinya, dia membalikkan kartu pos itu dan menuliskan pesan untuk bibinya:

Apa kabar? Bagaimana kondisi punggungmu akhir-akhir ini? Seperti yang kau tahu, aku masih berjalan-jalan seorang diri. Kadang aku merasa seakan-akan tubuhku setengah transparan. Seakan-akan kau bisa melihat menembus organ-organ dalamku, seperti cumi-cumi yang baru ditangkap. Di samping itu, aku baik-baik saja. Aku ingin berkunjung kapan-kapan. Kino.

Kino tidak terlalu yakin apa yang mendorongnya menulis pesan itu. Kamita melarang keras hal itu. Tapi Kino tidak bisa menahan diri. Entah bagaimana aku harus kembali terhubung dengan kenyataan, pikirnya, kalau tidak aku tidak akan menjadi diriku lagi. Aku akan menjadi laki-laki yang tidak ada. Dan, sebelum dia bisa berubah pikiran, dia bergegas pergi ke kotak surat di dekat hotel dan menyelipkan kartu pos ke dalamnya.

 

SAAT dia terbangun, jam di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul 2.15 dini hari. Seseorang mengetuk pintunya. Bukan ketukan keras, tapi jenis ketukan yang mantap dan teratur, seperti tukang kayu yang ahli sedang mengetok paku. Suaranya menyeret Kino keluar dari tidur nyenyaknya hingga kesadarannya secara menyeluruh, bahkan secara kejam, kembali seutuhnya.

Kino tahu apa artinya ketukan itu. Dan dia tahu bahwa dia harus turun dari tempat tidur dan membuka pintu. Apa pun yang dilakukan ketukan itu tidak punya kekuatan untuk membuka pintunya dari luar. Harus Kino yang membukanya dengan tangannya sendiri.

Terpikir olehnya bahwa kunjungan ini tepat seperti yang dia harapkan, tapi juga, pada saat yang sama, adalah hal yang paling dia takuti. Ini adalah bentuk ambiguitas: berada di ruang kosong di antara dua ekstrem. “Kau sakit hati, walau sedikit, bukan?” tanya istrinya. “Bagaimanapun, aku manusia,” sahutnya. Tapi itu tidak benar. Setengahnya, paling tidak, adalah kebohongan. Aku tidak cukup terluka ketika seharusnya merasakannya, Kino mengaku kepada diri sendiri. Ketika aku seharusnya merasakan kesakitan yang sesungguhnya, aku menahannya. Aku tidak ingin merasakannya, jadi aku menghindar agar tidak menghadapinya. Itulah kenapa hatiku saat ini begitu hampa. Ular-ular telah merampas tempat itu dan mencoba menyembunyikan jantung mereka yang berdetak dingin di sana.

“Tempat ini nyaman tidak hanya untuk saya tapi juga untuk semua orang,” kata Kamita. Kino akhirnya memahami maksud ucapannya.

Kino menyingkapkan selimutnya, memejamkan mata, dan menutupi telinga dengan tangannya. Aku tidak akan melihat, tidak akan mendengar, katanya kepada diri sendiri. Tapi dia tidak bisa menenggelamkan suara ketukannya. Bahkan jika dia berlari ke sudut terjauh di Bumi dan menyumpal telinga dengan tanah liat, selama dia masih hidup, suara ketukan itu akan memburunya tanpa ampun. Itu bukan suara ketukan pintu di kamar hotel bisnis. Itu adalah ketukan di pintu hatinya. Seseorang tidak bisa melarikan diri dari suara itu.

Dia tidak yakin sudah berapa lama waktu berlalu, tapi dia menyadari suara ketukan itu telah berhenti. Kamar itu sama heningnya dengan sisi terjauh bulan. Tetap saja, Kino bergeming di bawah selimut. Dia harus waspada. Sesuatu yang ada di luar pintunya tidak akan menyerah dengan begitu mudahnya. Sesuatu itu tidak sedang terburu-buru. Bulan tidak muncul. Hanya ada gugusan bintang redup yang membercaki langit dengan suram. Dunia, untuk beberapa lama, menjadi milik sesuatu yang lain itu. Mereka punya banyak cara yang berbeda. Mereka bisa mendapatkan yang mereka mau dengan berbagai cara. Akar kegelapan bisa menyebar ke mana pun di bawah Bumi. Menunggu dengan sabar, mencari titik lemah, mereka bisa memecahkan batu paling keras sekalipun.

Akhirnya, seperti yang Kino perkirakan, suara ketukan kembali terdengar. Tapi kali ini suara itu berasal dari arah yang berbeda. Jauh lebih dekat daripada sebelumnya. Siapa pun yang mengetuk tepat ada di luar jendela di sebelah tempat tidurnya. Semata berpegangan pada dinding gedung, tinggi di lantai delapan, tok, tok, mengetuk kaca yang terempas hujan.

Ketukannya menghasilkan irama yang sama. Dua kali. Kemudian dua kali lagi. Terus saja tanpa henti. Bagaikan suara jantung yang berdetak penuh emosi.

Tirainya terbuka. Sebelum jatuh tertidur, Kino sedang mengamati pola tetesan air hujan yang terbentuk di kaca jendela. Kino tidak bisa membayangkan apa yang akan dia lihat sekarang, jika dia melongokkan kepalanya ke luar dari balik selimut. Tidak—dia tidak bisa membayangkannya. Dia harus menghalau kemampuannya untuk membayangkan hal apa pun. Aku tidak boleh melihatnya, kata Kino kepada dirinya. Tak peduli betapa hampanya hal itu, tetap saja itu hatinya. Masih ada kehangatan manusia di dalamnya. Memori, bagai rumput laut yang membelit tiang di pantai, diam menunggu datangnya gelombang pasang. Emosi yang, jika tergores, akan terluka. Aku tidak bisa begitu saja membiarkan mereka berkeliaran di suatu tempat melampaui pemahamanku.

“Ingatan bisa berguna,” begitu kata Kamita. Sebuah pemikiran tiba-tiba menghantam Kino: bahwa Kamita entah bagaimana berhubungan dengan pohon dedalu tua yang ada di depan rumahnya. Dia tidak bisa memahami bagaimana hal ini masuk akal, sama sekali, tapi setelah pikiran itu menguasai benaknya, seketika semuanya terasa logis. Kino membayangkan dahan-dahan pohon itu, terselubung daun hijau, melengkung ke bawah, nyaris menyentuh tanah. Pada musim panas, rerimbunan itu memberikan naungan kesejukan di halaman. Pada hari-hari penuh hujan, tetesan-tetesan keemasan berkilau di ranting-rantingnya yang lunak. Pada hari berangin, ranting-ranting itu berayun-ayun bagaikan hati yang gelisah, dan burung-burung kecil akan terbang di atasnya, bercuit-cuit satu sama lain, bercahaya di atas ranting yang kecil dan lemas, hanya untuk terbang lagi.

Di bawah selimut, Kino bergelung bagaikan cacing, memejamkan mata rapat-rapat, dan memikirkan pohon dedalu itu. Satu per satu, dia membayangkan detailnya—warna dan bentuk dan gerakannya. Dan dia berharap agar fajar segera menyingsing. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah menunggu seperti ini, dengan sabar, sampai cahaya matahari muncul dan burung-burung terbangun untuk memulai hari mereka. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah memercayai burung, semua burung, dengan sayap dan paruh mereka. Sampai saat itu tiba, dia tidak boleh membiarkan hatinya kosong. Kekosongan itu, ruang hampa yang diciptakan olehnya, akan menarik mereka ke dalam hatinya.

Ketika pohon dedalu pun belum cukup, Kino memikirkan kucing abu-abu yang kurus itu, dan kegemarannya akan rumput laut panggang. Dia ingat Kamita yang duduk di meja bar, tenggelam dalam bukunya, pelari muda menjalani latihan lari yang berulang-ulang dan begitu melelahkan, permainan solo Ben Webster yang indah dalam “My Romance.” Dia ingat istrinya yang mengenakan gaun baru berwarna biru, rambutnya dipotong pendek. Dia berharap istrinya menjalani hidup yang sehat dan bahagia di rumah barunya. Tanpa, dia harap, sedikit pun luka di tubuhnya. Dia sudah meminta maaf langsung di hadapanku, dan aku sudah menerima permintaan maafnya, pikir Kino. Aku perlu belajar tidak hanya untuk melupakan, tapi juga memaafkan.

Tapi jalannya waktu tampaknya tidak ditetapkan dengan benar. Beban atas hasrat yang berat dan penyesalan yang bagai jangkar berkarat menghalangi arus normalnya. Hujan yang tak berkesudahan, jarum jam yang kebingungan, burung-burung masih cepat terlelap, pegawai kantor pos tak berwajah yang menyortir kartu pos dalam diam, payudara indah istrinya yang berayun-ayun keras di udara, sesuatu mengetuk jendelanya tanpa kenal lelah. Seakan-akan memikatnya untuk masuk lebih dalam ke labirin yang membangkitkan ingatan, ke dalam irama yang amat teratur ini. Tok, tok, tok, tok, lalu sekali lagi—tok, tok. “Jangan berpaling darinya, tatap langsung,” bisik seseorang di telinganya. “Seperti inilah rupa hatimu.”

Ranting-ranting pohon dedalu berayun-ayun di tengah angin awal musim panas. Di dalam ruangan kecil yang gulita, di suatu tempat dalam diri Kino, tangan yang hangat meraihnya. Dengan mata terpejam, dia merasakan tangan itu di atas tangannya, lembut dan kokoh. Dia telah melupakannya, sudah terpisah darinya untuk waktu yang begitu lama. Ya, aku terluka. Amat sangat dalam. Dia berkata kepada dirinya. Kemudian dia menangis.

Sementara itu hujan tidak kunjung reda, membasahi dunia dalam hawa dinginnya.

 

Terjemahan dari “Kino” karya Haruki Murakami yang diterbitkan di The New Yorker (terjemahan bahasa Inggris oleh Phillip Gabriel).

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *