UFO di Kushiro, Haruki Murakami

LIMA hari berturut-turut perempuan itu menghabiskan waktunya di depan televisi, mengamati reruntuhan bank dan rumah sakit, toko-toko yang terbakar, rel kereta api dan jalan raya yang terhambat. Ia tak mengucapkan satu kata pun. Terbaring di bantal sofa, mulutnya terkatup rapat. Ia tak menjawab ketika Komura mengajaknya bicara. Ia tak menggelengkan kepala ataupun mengangguk. Komura bahkan tak yakin suaranya itu sampai di telinga perempuan itu.

Perempuan itu berasal dari utara jauh di Yamagata dan, sejauh yang Komura tahu, istrinya itu tak punya keluarga atau kerabat yang mungkin menjadi salah satu korban gempa bumi di Kobe. Meskipun begitu, perempuan itu terus berada di depan televisi dari pagi hingga malam. Dalam pengamatan Komura, perempuan itu tak meminum atau memakan apa pun selama itu, dan tak juga beranjak ke kamar mandi. Kecuali untuk mengambil remote dan memindahkan channel, ia nyaris tak bergerak sedikit pun. Komura sendiri mulai terbiasa menyiapkan kopi dan roti bakarnya sendiri sebelum berangkat ke kantor. Setibanya di rumah malam harinya, ia akan mengatasi rasa laparnya dengan camilan yang ia temukan di lemari es; memakannya sendiri. Istrinya itu masih saja mengamati berita-berita di televisi ketika Komura memasuki kamar dan memutuskan untuk tidur. Sebuah dinding sunyi yang tinggi seperti mengelilingi perempuan itu, dan Komura akhirnya menyerah untuk merobohkan dinding tersebut.

Ketika ia tiba di rumah sehabis kerja pada hari Minggu itu, hari ketujuh, istrinya menghilang.

KOMURA adalah seorang salesman di salah satu toko peralatan elektronik tertua di “Kota Elektronik” Akihabara, Tokyo. Ia menangani barang-barang paling mahal dan mendapatkan komisi yang sangat lumayan setiap kali ia berhasil menjual salah satunya. Kebanyakan kliennya adalah dokter, pebisnis kaya, dan pegawai pemerintahan. Ia telah melakukan hal ini selama delapan tahun dan memiliki pendapatan yang baik dari sejak ia memulainya. Perekonomian sendiri memang sedang bagus; harga-harga real-estate meningkat dan Jepang sedang kelebihan uang. Dompet orang-orang dipenuhi lembaran puluhan ribu Yen, dan mereka gemas sekali untuk segera membelanjakannya. Barang paling mahal jadi barang pertama yang habis terjual.

Komura orang yang tinggi-langsing dan ia seseorang yang peduli pada penampilannya. Interaksinya baik dengan orang-orang di sekitarnya. Di masa lajangnya ia bahkan berkencan dengan banyak perempuan. Namun sehabis menikah, pada usia dua puluh enam, ia menemukan bahwa hasratnya akan petualangan seksual seperti itu secara misterius lenyap. Begitu saja lenyap. Ia tak pernah tidur dengan perempuan mana pun selain istrinya selama lima tahun pernikahan mereka. Bukan berarti kesempatan itu tak pernah ada, namun memang yang dirasakan Komura adalah lenyapnya hasratnya itu. Ia tak lagi tertarik pada hubungan singkat dan seks-semalam. Ia lebih memilih untuk pulang cepat, makan dengan santai bersama istrinya, berbicara dengan perempuan itu beberapa lama ketika mereka berada di sofa, lalu masuk ke kamar dan bercinta. Semua itu telah memuaskannya.

Teman-teman Komura dibuat bingung oleh pernikahannya itu. Dibandingkan dengan sosoknya yang bersih dan menarik, istrinya justru biasa-biasa saja. Perempuan itu pendek dengan lengan agak besar, dan penampilannya tidak menggairahkan. Dan bukan hanya secara fisik: tak ada juga yang menarik dari kepribadiannya. Perempuan itu jarang bicara dan selalu menunjukkan raut muka masam.

Meskipun begitu, entah bagaimana menjelaskannya, Komura selalu merasa gairahnya meluap saat ia sedang menghabiskan waktu bersama istrinya di rumah; itu adalah satu-satunya saat di mana ia bisa benar-benar merasa rileks. Tidurnya lelap ketika ia bersamanya, tak terusik oleh mimpi aneh yang pernah membuatnya kesulitan di masa silam. Ereksinya sendiri bagus; kehidupan seksnya hangat. Ia tak lagi mencemaskan kematian atau penyakit kelamin atau luasnya alam semesta.

Istrinya, di sisi lain, tidak menyukai keramaian Tokyo dan merindukan Yamagata. Ia merindukan orang tua dan dua kakak perempuannya, dan ia akan pergi mengunjungi mereka kapan pun ia merasa membutuhkannya. Orangtuanya sukses mengelola sebuah penginapan, di mana dengan itulah kondisi keuangan mereka nyaman-nyaman saja. Ayahnya sangat menyukai anak perempuan terkecilnya itu dan dengan senang hati membayarkannya uang perjalanan pulang-pergi. Beberapa kali, Komura tiba di rumah sehabis kerja dan menemukan istrinya itu tak ada dan sebuah memo diletakkan istrinya itu di meja dapur, memberitahunya bahwa istrinya itu sedang mengunjungi orangtuanya untuk beberapa lama. Ia tak pernah menentang apa yang dilakukan istrinya itu. Ia hanya menunggu perempuan itu kembali, dan selalu, setelah seminggu atau sepuluh hari, perempuan itu kembali, dengan suasana hati yang baik.

Tapi memo yang ditinggalkan istrinya ketika perempuan itu lenyap lima hari setelah gempa bumi itu berbeda: Aku tak akan kembali, tulisnya, lalu beralih ke penjelasan, sederhana tapi jelas, mengapa ia tak ingin lagi hidup bersamanya.

Masalahnya adalah kau tak pernah memberiku apa pun, tulisnya. Atau, lebih tepatnya, kau tak punya sesuatu dalam dirimu yang bisa kau berikan padaku. Kau baik dan tampan, tapi hidup bersamamu seperti hidup dengan segumpal udara. Bukan salahmu tentunya. Ada banyak perempuan yang akan jatuh cinta padamu. Tapi tolong, jangan hubungi aku. Bereskan saja semua barangku yang tersisa.

Faktanya, perempuan itu tak menyisakan banyak hal. Pakaian-pakaiannya, sepatu-sepatunya, payungnya, gelas kopinya, hair dryer-nya, semua lenyap. Ia pastilah telah mengemasnya dalam kardus dan mengirimkannya setelah Komura meninggalkan rumah pagi itu. Satu-satunya benda yang tersisa yang bisa dikategorikan sebagai “miliknya” adalah sepeda yang biasa digunakan perempuan itu berbelanja, dan beberapa buku. CD The Beatles dan Bill Evans yang telah Komura kumpulkan sejak masa lajangnya pun ikut lenyap.

Hari berikutnya, Komura mencoba menelepon kediaman orang tua istrinya di Yamagata. Ibu mertuanya menjawab teleponnya dan mengatakan padanya bahwa istrinya itu tak ingin bicara dengannya. Nada suaranya terdengar seperti ia tengah meminta maaf. Dikatakannya juga bahwa mereka akan mengirim formulir-formulir yang diperlukan dan bahwa Komura harus menandatangani formulir-formulir tersebut dan mengirimnya balik.

Komura berkata bahwa ia mungkin tak akan bisa mengirim balik formulir-formulir itu “secepatnya”. Ini adalah sesuatu yang penting, dan ia meminta waktu untuk memikirkannya.

“Kau boleh memikirkannya selama yang kau mau, tapi tak akan ada yang berubah,” jawab ibu mertuanya.

Mungkin ia benar, pikir Komura. Tak peduli berapa lama ia memikirkan dan menunggunya, segalanya akan tetap sama. Ia yakin itu. Segera setelah mengirim balik formulir-formulir yang telah ditandatanganinya itu, Komura mengajukan cuti satu minggu. Atasannya tahu sedikit-banyak tentang apa yang baru saja menimpanya, dan mengingat Februari bukanlah waktu sibuk di perusahaan itu, ia pun memberi Komura apa yang diinginkannya. Ia tampak akan mengatakan sesuatu kepada Komura, tapi akhirnya tak mengatakan apa pun.

Sasaki, teman sekampus Komura dulu, menghampirinya di jam makan siang, dan berkata, “Aku dengar kau mengambil cuti. Kau berencana melakukan sesuatu?”

“Entahlah,” jawab Komura. “Apa yang semestinya kulakukan?”

Sasaki masih lajang dan usianya tiga tahun di bawah Komura. Ia punya rambut pendek yang tertata dan terawat, dan mengenakan kacamata berbingkai emas. Banyak orang berpikir ia terlalu banyak bicara dan cenderung arogan tapi bersama Komura yang easy going, ia akrab-akrab saja.

“Apa maksud pertanyaanmu itu? Sementara kau memikirkannya, bagaimana kalau kau melakukan perjalanan?”

“Boleh juga,” jawab Komura.

Sambil mengelap kacamatanya dengan sapu tangan, Sasaki menatap Komura seakan-akan sedang mencari semacam petunjuk.

“Pernah ke Hokkaido?” tanyanya.

“Belum.”

“Mau ke sana?”

“Kenapa memangnya?”

Sasaki memicingkan matanya dan membersihkan tenggorokannya.

“Sebenarnya, aku punya paket kecil yang ingin kukirimkan ke Kushiro, dan aku harap kau mau membawakannya ke sana. Kau akan sangat membantuku, dan aku akan dengan senang hati membayarkan tiket pulang-pergimu ke sana. Aku bisa menyediakan kamar hotel di sana juga, untukmu.”

“Paket kecil?”

“Seperti ini,” ujar Sasaki, membentuk kubus ukuran empat inchi dengan kedua tangannya. “Tidak berat kok.”

“Berhubungan dengan pekerjaan?”

Sasaki menggeleng. “Sama sekali tidak,” katanya. “Sifatnya personal. Aku hanya tak mau ia rusak di jalan, sehingga aku tak bisa mengirimkannya via jasa pengiriman. Aku ingin kau menyampaikannya ke tujuan dengan tanganmu, jika itu mungkin. Aku tadinya benar-benar berpikir untuk melakukannya sendiri, tapi aku tak punya waktu untuk terbang ke Hokkaido.”

“Sebegitu pentingnya kah?”

Sasaki mengangguk.

“Bukan benda pecah-belah, dan tak ada ‘bahan-bahan berbahaya’ di dalamnya. Kau tak perlu cemas. Kau tak akan diminta berhenti saat paket itu melalui pemeriksaan sinar-X di bandara. Aku bersumpah tak akan membuatmu terlibat dalam suatu masalah. Dan beratnya pun bukan apa-apa. Yang kuminta darimu hanyalah kau membawanya ke sana sebagaimana kau membawa hal-hal lain ke sana. Satu-satunya alasan aku tak menggunakan jasa pengiriman adalah aku merasa tak ingin melakukannya.”

Hokkaido di bulan Februari akan sangat dingin. Komura tahu itu. Tapi saat itu, dingin atau panas baginya sama saja.

“Jadi, kepada siapa paket itu harus kuberikan?”

“Adikku. Adik perempuanku. Ia tinggal di sana.”

Komura akhirnya memutuskan untuk mengabulkan permintaan Sasaki itu. Ia belum memikirkan bagaimana ia akan menghabiskan liburan satu minggunya, dan menyusun rencana saat itu menurutnya akanlah sangat merepotkan. Selain itu, ia tak punya alasan untuk tak pergi ke Hokkaido. Sasaki pun menelepon jasa travel dan memesan tiket ke Kushiro. Jadwal penerbangannya adalah lusa sore.

KEESOKAN harinya di tempat kerja, Sasaki memberikan kepada Komura semacam kotak yang biasa digunakan untuk menyimpan abu jenazah, hanya saja lebih kecil, terbungkus kertas manila. Dari rasanya—saat disentuh, ia tampaknya terbuat dari kayu. Seperti yang dikatakan Sasaki sebelumnya, beratnya bukanlah apa-apa. Plester besar-polos-transparan menyelimuti kertas manila itu. Komura mencoba memegangnya dan mengamatinya beberapa saat. Ia menggoyangnya sedikit namun tak merasakan atau mendengar apa pun bergerak di dalamnya.

“Adikku akan menjemputmu di bandara. Dan ia akan menyiapkan kamar untukmu,” ujar Sasaki. “Yang perlu kau lakukan hanyalah berdiri di luar gerbang dengan paket itu di tanganmu di mana ia bisa melihatnya. Jangan khawatir, bandara di sana tidak begitu besar.”

Komura meninggalkan rumah dengan kotak itu dalam kopernya, terbungkus kaos dalam tebal. Pesawat yang ia tumpangi rupanya jauh lebih padat daripada yang ia kira. Ia bertanya-tanya mengapa orang-orang itu pergi dari Tokyo ke Kushiro di pertengahan musim dingin—seperti dirinya.

Koran pagi hari itu penuh dengan laporan dan berita tentang gempa bumi. Ia membaca mulai dari awal hingga akhir penerbangan. Jumlah korban yang bertambah. Banyak kawasan masih tanpa air dan listrik, dan tak terhitung banyaknya orang yang kehilangan rumah. Masing-masing artikel melaporkan beberapa tragedi baru, tapi hal itu tak menarik bagi Komura. Semua itu seperti menjangkaunya sebagai gema yang jauh, dan monoton. Satu-satunya yang dipikirkan Komura saat itu hanyalah istrinya. Perempuan itu telah berada pada jarak yang lebih jauh lagi darinya.

Layaknya mesin ia membaca berita-berita tentang gempa bumi itu, sesekali berhenti untuk memikirkan istrinya, lalu kembali ke berita-berita itu. Setelah merasa lelah melakukannya, ia memejamkan mata dan terlelap. Dan ketika ia terbangun, ia memikirkan istrinya lagi. Mengapa ia begitu sungguh-sungguh mengamati berita-berita gempa bumi di televisi, dari pagi hingga malam, tanpa makan ataupun tidur? Apa kira-kira yang sudah ia lihat di tayangan-tayangan itu? pikirnya.

Dua perempuan muda dengan mantel berdesain mirip menghampiri Komura di bandara. Yang satu kuning-langsat dan mungkin tingginya lima atau enam kaki, dengan rambut pendek. Ruang antara hidung dan bibirnya yang penuh cukup lebar dan itu membuat Komura berpikir tentang ungulata berbulu pendek. Temannya di sampingnya mungkin tepat lima kaki tingginya dan akan sangat cantik jika saja hidungnya tak begitu kecil. Rambut panjangnya jatuh tergerai di bahunya. Kedua telinganya tampak, dan ada dua tahi lalat di cuping telinga kanannya yang dipertegas oleh anting-anting yang ia kenakan. Kedua perempuan itu tampak berada di pertengahan dua puluhan. Mereka mengajak Komura ke kafe di bandara itu.

“Aku Keiko Sasaki,” kata perempuan yang lebih tinggi. “Kakakku memberitahuku betapa kau sudah sangat membantunya. Ini temanku, Shimao.”

“Senang bertemu denganmu,” ujar Komura.

“Hai,” kata Shimao.

“Kakakku memberitahuku kalau istrimu baru saja meninggal,” kata Sasaki dengan raut muka penuh hormat.

Komura terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, “Tidak. Dia tidak meninggal.”

“Kemarin lusa aku baru saja bicara dengan kakakku. Aku yakin sekali waktu itu dia bilang kau kehilangan istrimu.”

“Ya, memang. Dia menceraikanku. Tapi sejauh yang kutahu, dia masih hidup dan sehat-sehat saja.”

“Itu aneh. Aku tak mungkin salah dengar tentang sesuatu sepenting itu.”

Perempuan itu tampak kecewa. Komura memasukkan sejumlah kecil gula ke dalam kopinya dan mengaduknya sebentar sebelum meminumnya. Kopi itu sangat cair, tanpa cita rasa yang bisa dibicarakan; lebih berupa tanda ketimbang subtansi. Apa yang sedang kulakukan di sini? pikir Komura.

“Ya, mungkin aku memang salah dengar. Aku tak tahu lagi penjelasan yang masuk akal selain itu,” ujar Keiko Sasaki; kali itu tampak puas. Ia menarik napas dalam-dalam dan menggigit bibir bawahnya. “Maafkan aku. Aku sudah sangat kasar.”

“Jangan khawatir. Bagaimanapun, dia pergi.”

Shimao tak berkata apa pun selama Komura dan Keiko bicara, tapi ia kerap tersenyum dan terus mengarahkan matanya pada Komura. Tampaknya perempuan itu menyukainya. Komura bisa tahu itu dari raut muka dan bahasa tubuhnya. Kesunyian yang singkat seperti jatuh dan hadir di antara mereka bertiga.

“Ngomong-ngomong, ini paket penting yang kubawa untukmu,” kata Komura. Ia membuka kopernya dan mengeluarkan kotak itu dari kaos dalam tebal yang membungkusnya. Sesuatu lalu melintas di benaknya: Seharusnya aku memegang kotak ini saat turun dari pesawat. Dengan cara itulah kedua perempuan ini akan mengenaliku. Bagaimana bisa mereka tahu tanpa aku melakukannya?

Keiko Sasaki mengulurkan tangannya ke seberang meja; matanya yang tanpa ekspresi tertuju pada paket itu. Setelah memeriksa beratnya, ia melakukan apa yang dilakukan Komura dan menggoyangnya sedikit sambil mendengarkannya. Ia tersenyum seolah-olah memberitahu bahwa semuanya dalam keadaan baik, lantas memasukkan kotak itu ke dalam tas yang dibawanya.

“Aku harus menelepon,” ujarnya. “Tak apa kutinggal sebentar?”

“Sama sekali tidak,” jawab Komura. “Santai saja.”

Keiko membawa tas itu di punggungnya dan berjalan menghampiri telepon umum di tempat yang jauh. Komura mengamati cara ia berjalan. Bagian atas tubuhnya seperti tak bergerak, sementara segala sesuatu dari paha ke bawah membuat gerakan-gerakan yang kentara, lembut maupun mekanis. Ia seakan-akan tengah menyaksikan sejumlah momen di masa lalu, yang muncul di masa kini akibat kesekonyong-konyongan acak yang ada.

“Pernah ke Hokkaido sebelumnya?” tanya Shimao.

Komura menggeleng.

“Ya, aku tahu. Jauh sekali dari sana.”

Komura mengangguk, lalu memperhatikan keadaan di sekitarnya. “Lucu sekali,” ujarnya, “duduk di sini seperti ini, aku tak merasa telah melakukan sebuah perjalanan yang jauh.”

“Itu karena kau terbang. Pesawat tadi sangatlah cepat. Pikiranmu kalah cepat dengan tubuhmu.”

“Mungkin begitu.”

“Kau memang sedang ingin melakukan perjalanan jauh?”

“Kurasa begitu.”

“Karena istrimu meninggalkanmu?”

Ia mengangguk.

“Tak peduli seberapa jauh kau pergi, kau tak akan bisa melarikan diri dari dirimu sendiri,” ujar Shimao.

Sedari tadi Komura membiarkan matanya tertuju pada mangkuk gula di meja ketika perempuan itu bicara, tapi kemudian ia balas mengangkat matanya dan menatap perempuan itu.

“Kau benar,” ujar Komura. “Tak peduli seberapa jauh kau pergi, kau tak akan bisa melarikan diri dari dirimu sendiri. Seperti bayangan, ia mengikutimu ke mana pun kau pergi.”

Shimao menatap Komura dengan sungguh-sungguh. “Kau pasti mencintainya, ya? ”

Komura berusaha mengelak dari pertanyaan itu. “Kau temannya Keiko Sasaki?”

“Ya. Kami teman baik. Kami melakukan banyak hal bersama-sama.”

“Hal-hal seperti apa?”

Alih-alih menjawab, Shimao justru bertanya, “Kau lapar?”

“Bagaimana ya?” ujar Komura. “Kupikir, antara lapar dan tidak.”

“Ayo kita pergi dan makan sesuatu yang hangat. Kita bertiga. Itu pasti akan membantumu untuk
rileks.”

Shimao mengendarai mobil Subaru kecil. Dari sisa baterenya, mobil itu punya cukup bahan bakar untuk seratus ribu mil perjalanan. Bumper belakang mobil itu penyok. Keiko Sasaki duduk di samping Shimao, dan Komura punya ruang yang cukup untuknya duduk.

Tak ada yang salah dengan cara menyetir Shimao, tapi bunyi di bagian belakang mobil sangatlah buruk, dan suspensinya seperti akan rusak. Transmisi otomatisnya menghantam roda setiap kali menurun, dan pemanasnya terus berganti panas dan dingin. Sambil memejamkan mata, Komura merasa dirinya tengah terpenjara dalam sebuah mesin cuci.

Tak ada salju yang dibiarkan teronggok di jalan-jalan di Kushiro, tapi gumpalan tanah yang kotor dan ber-es bisa ditemui di beberapa bagian di sisi jalan. Awan padat menggantung rendah dan, meski matahari belum terbenam, segala sesuatunya tampak gelap dan sunyi. Angin membasahi kota seperti jerit tajam. Tak ada pejalan kaki. Bahkan lampu lalu lintas tampak membeku.

“Ini bagian Hokkaido yang tak begitu banyak saljunya,” tutur Keiko Sasaki dengan suara keras, menoleh kepada Komura. “Kita berada di pesisir dan anginnya kencang, jadi apa pun yang teronggok pasti akan terbang. Dingin, pastinya. Teramat dingin. Kadang-kadang rasanya kedua telingamu seperti diambil.”

“Kau tentu pernah mendengar para pemabuk yang membeku hingga tewas terbaring di jalan,” ujar Shimao.

“Ada beruang di sekitar sini?” tanya Komura.

Keiko terkekeh-kekeh dan menatap Shimao. “Beruang, katanya.”

Shimao ikut terkekeh-kekeh.

“Aku tak tahu banyak tentang Hokkaido,” ujar Komura, menjelaskan.

“Aku tahu sebuah cerita menarik tentang beruang,” ujar Keiko. “Iya, kan, Shimao?”

“Cerita yang luar biasa menarik!” jawab Shimao.

Tapi percakapan mereka terhenti di situ. Tak seorang pun bicara tentang cerita beruang itu. Komura sendiri tak meminta mereka menceritakannya. Segera mereka tiba di tempat tujuan, sebuah restoran mie yang besar di jalan raya. Mereka memarkir mobil di sebidang tanah dan masuk. Komura memesan sekaleng bir dan semangkuk mie ramen. Tempat itu kotor dan kosong, dan meja-kursinya reyot, tapi ramennya enak sekali, dan seusai makan, Komura merasa, jelas sekali, sedikit lebih rileks.

“Katakan padaku, Komura-san,” ujar Keiko Sasaki, “kau punya sesuatu yang ingin dilakukan di Hokkaido? Kakakku bilang kau akan menghabiskan waktu di sini seminggu.”

Komura memikirkannya sejenak, tapi ia tak juga tahu apa yang memang ia ingin lakukan—di Hokkaido.

“Bagaimana kalau pemandian air panas? Ingin berendam lama di bak mandi? Aku tahu sebuah tempat tak jauh dari sini.”

“Boleh juga,” ujar Komura.

“Kau pasti menyukainya. Tempatnya enak. Tak ada beruang atau apa pun.”

Dua perempuan itu saling menatap dan tertawa lagi.

“Tak keberatan kalau aku bertanya tentang istrimu?” tanya Keiko.

“Tidak.”

“Kapan dia pergi?”

“Hmm… lima hari setelah gempa bumi. Jadi, sudah lebih dari dua minggu sekarang ini.”

“Ada hubungannya dengan gempa bumi itu?”

Komura menggeleng. “Rasanya tidak. Tidak ada hubungannya, kupikir.”

“Tapi tetap saja, apakah memang dua hal semacam itu tak berhubungan satu sama lain,” ujar Shimao sambil sedikit memiringkan kepalanya.

“Ya,” sahut Keiko. “Kau hanya tidak bisa melihat keterhubungan dua hal itu.”

“Betul,” cetus Shimao. “Hal-hal semacam itu banyak terjadi.”

“Hal-hal semacam itu?” tanya Komura.

“Ya, katakanlah, sesuatu yang terjadi dengan seseorang yang kukenal,” jawab Keiko.

“Maksudmu Saeki-san?” tanya Shimao.

“Ya,” jawab Keiko. “Orang ini, Saeki, tinggal di Kushiro. Usianya sekitar empat puluh. Seorang penata rambut. Istrinya melihat UFO tahun lalu, di musim gugur. Dia berkendara di ujung kota dan melihat UFO besar mendarat di lapangan. Whoosh! Seperti di Close Encounters. Seminggu kemudian, dia pergi dari rumah. Mereka tak punya masalah rumah tangga atau semacamnya. Dia pergi begitu saja dan tak pernah kembali.”

“Lenyap ke udara,” ujar Shimao.

“Dan itu disebabkan UFO itu?” tanya Komura.

“Entahlah ya,” kata Keiko. “Dia pergi begitu saja. Tak ada memo atau apa pun. Dan dia punya dua orang anak di Sekolah Dasar. Seminggu sebelum kepergiannya itu, yang dilakukannya adalah bercerita kepada orang-orang tentang UFO itu. Tak ada yang bisa menghentikannya. Dia akan terus bercerita dan bercerita tentang betapa besar dan indahnya UFO itu.”

Ia mengambil jeda, membiarkan ceritanya itu tenggelam.

“Istriku meninggalkan memo,” ujar Komura. “Dan kami tak punya anak.”

“Kalau begitu situasimu sedikit lebih baik daripada Saeki,” ujar Keiko.

“Ya. Keberadaan anak membuat perbedaan besar,” sahut Shimao, mengangguk.

“Ayah Shimao meninggalkan rumah saat usia Shimao tujuh tahun,” jelas Keiko, mengerutkan dahi. “Kabur dengan adik perempuan ibunya.”

“Tiba-tiba. Suatu hari,” tambah Shimao, tersenyum.

Kesunyian menyelimuti mereka.

“Mungkin istrinya Saeki-san tidak pergi tapi ditangkap oleh alien-alien di UFO itu,” ujar Komura, dengan maksud bercanda.

“Mungkin saja,” kata Shimao, dengan raut muka muram. “Konon hal-hal semacam itu pernah terjadi.”

“Maksudmu sesuatu seperti kau-berjalan-sendirian-di-jalan-dan-seekor-beruang-memakanmu?” tanya Keiko. Kedua perempuan itu tertawa lagi.

Mereka bertiga meninggalkan restoran mie itu dan menuju love hotel terdekat. Hotel tersebut terletak di ujung kota, di sebuah jalan di mana love hotel silih berganti dengan penjual nisan. Hotel yang telah dipilih Shimao adalah sebuah bangunan aneh, terkonstruksi seperti kastil Eropa. Bendera berbentuk segitiga berkibar-kibar di menara tertingginya.

Keiko mengambil kunci dari meja resepsionis, dan mereka bertiga memasuki lift. Jendela kamar itu kecil, dibandingkan dengan tempat tidurnya yang luar biasa besar. Komura menggantung jaketnya di hanger dan masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian ketika ia keluar, kedua perempuan itu memutuskan untuk memasuki kamar mandi, meredupkan lampu, mengecek panasnya, menyalakan televisi, memeriksa menu antaran dari restoran lokal, mengetes tombol lampu di samping tempat tidur, dan mengecek isi minibar.

“Pemilik hotel ini adalah teman-temanku,” kata Keiko. “Aku meminta mereka menyiapkan kamar terbesar yang ada. Ini memang love hotel, tapi jangan terlalu memikirkannya. Kau tak merasa terganggu dengan itu, kan?”

“Sama sekali tidak,” jawab Komura.

“Kupikir ini jauh lebih pantas daripada membiarkanmu terjebak di sebuah kamar murah dan kecil di dekat stasiun.”

“Mungkin kau benar,” ujar Komura.

“Mau mandi? Sudah kuisi bak mandinya.”

Komura pun mandi. Bak mandi itu begitu besar. Ia merasa ganjil berendam di sana seorang diri. Pasangan yang memasuki hotel ini mungkin berendam bersama-sama, pikirnya.

Keluar dari kamar mandi, ia terkejut menemukan Keiko Sasaki telah pergi. Shimao masih di sana, meminum bir dan menonton televisi.

“Keiko pulang,” kata Shimao. “Dia memintaku menyampaikan padamu permintaan maafnya dan memberitahumu kalau besok pagi dia akan kembali ke sini. Tak apa aku di sini lebih lama dan minum bir?”

“Tak apa,” jawab Komura.

“Yakin tak apa-apa? Jangan-jangan, kau sedang ingin sendiri, atau kau susah merasa rileks kalau ada orang lain di dekatmu?”

Komura berkata bahwa ia tak masalah dengan itu. Sambil meminum bir dan mengeringkan rambutnya dengan handuk, ia menonton televisi bersama Shimao. Yang sedang tayang adalah berita khusus tentang gempa bumi di Kobe. Gambar-gambar yang biasa muncul kembali muncul dan muncul: gedung-gedung yang miring, jalan-jalan yang melengkung, perempuan-perempuan tua menangis, rasa bingung dan marah yang tanpa tujuan. Ketika tayangan dijeda iklan, Shimao mengambil remote dan mematikan televisi.

“Kita ngobrol saja,” ujarnya, “mumpung kita masih di sini.”

“Oke,” jawab Komura.

“Hmm.. apa ya yang harus kita obrolkan?”

“Di mobil tadi, kau dan Keiko bicara sesuatu soal beruang. Ingat? Kau bilang itu cerita yang menarik.”

“Oh ya,” ujarnya, mengangguk. “Cerita tentang beruang.”

“Mau menceritakannya?”

“Tentu saja. Kenapa tidak?”

Shimao mengambil bir segar dari minibar dan mengisi gelas mereka berdua.

“Ini sedikit gila,” katanya. “Tak apa-apa?”

Komura menggeleng.

“Maksudku, beberapa lelaki tak suka mendengar seorang perempuan menceritakan hal tertentu.”

“Aku tak seperti itu.”

“Ini sesuatu yang benar-benar terjadi padaku, jadi sebenarnya agak memalukan.”

“Aku ingin mendengarnya jika kau tak keberatan.”

“Aku tak keberatan, selama kau tak keberatan.”

“Aku tak keberatan,” ujar Komura.

“Tiga tahun lalu—saat itu aku seorang mahasiswa baru—aku berkencan dengan orang ini. Dia setahun lebih tua dariku, mahasiswa juga. Dia orang pertama yang bercinta denganku. Suatu hari kami berdua pergi mendaki—di sebuah gunung di utara.”

Dia menenggak birnya.

“Saat itu musim gugur, dan bukit-bukit penuh beruang. Saat itu adalah saat di mana para beruang tengah bersiap-siap melakukan hibernasi, jadi mereka keluar mencari makanan dan mereka sedang sangat berbahaya. Kadang-kadang mereka menyerang manusia. Mereka melakukan sesuatu yang buruk terhadap seorang pendaki tepat tiga hari sebelum kami mendaki. Karena itulah seseorang memberi kami sebuah lonceng untuk dibawa—seukuran lonceng-di-depan-pintu-rumah. Kau harus menggoyang-goyangkannya ketika kau berjalan sehingga para beruang tahu bahwa di sana ada manusia dan mereka tak akan keluar. Beruang tak menyerang manusia dengan sengaja. Maksudku, mereka sesungguhnya ‘vegetarian’. Mereka tak harus menyerang manusia. Yang kerap terjadi adalah mereka menemukan manusia di daerah kekuasaan mereka dan mereka merasa terkejut dan marah dan menyerang secara refleks. Jadi kalau kau berjalan sambil membunyikan loncengmu, mereka akan menghindarimu. Paham, kan?”

“Paham.”

“Jadi itulah yang kami lakukan: berjalan dan membunyikan lonceng. Kami lalu sampai di sebuah tempat di mana tak ada siapa pun di sekitar kami, dan tiba-tiba saja dia berkata dia ingin melakukan…. itu. Aku suka idenya itu. Jadi aku menyetujuinya dan kami bergerak ke tempat bersemak di mana tak akan ada orang yang melihat kami, dan kami menghamparkan beberapa helai plastik di sana. Tapi aku takut beruang. Maksudku, betapa buruknya jika seekor beruang menyerangmu dari belakang dan membunuhmu saat kau sedang berhubungan seks. Aku tak mau mati dengan cara seperti itu. Kau mau?”

Komura sepakat bahwa ia pun tak ingin mati dengan cara seperti itu.

“Jadi akhirnya kami membunyikan lonceng itu dengan satu tangan dan berhubungan seks. Kami melakukannya dari awal hingga akhir. Ting-ting-ting! Ting-ting-ting!”

“Siapa yang membunyikan lonceng?”

“Bergantian. Kami menyerahkan lonceng ketika tangan kami lelah. Rasanya aneh, membunyikan lonceng selama kami melakukannya. Aku memikirkannya sewaktu-waktu sekarang, saat aku berhubungan seks, dan aku mulai tertawa.”

Komura sedikit tertawa.

Shimao menepukkan kedua tangannya. “Oh, bagus sekali,” ujarnya. “Kau bisa tertawa juga ternyata!”

“Tentu saja aku bisa tertawa,” ujar Komura. Tapi setelah ia pikir-pikir, itu kali pertamanya ia tertawa sejak beberapa lama. Kapan terakhir kali ia tertawa?

“Aku boleh mandi juga?” tanya Shimao.

“Silakan,” jawab Komura.

Sementara perempuan itu mandi, Komura menonton vairety show yang dipandu beberapa komedian bersuara keras. Ia tak merasa itu lucu, tapi juga tak bisa memastikan apakah acaranya yang salah ataukah dirinya yang salah. Ia meminum bir dan membuka sebungkus kacang dari minibar. Shimao menghabiskan waktu di kamar mandi begitu lama.

Akhirnya Shimao keluar dengan hanya mengenakan handuk dan duduk di ujung tempat tidur. Menjatuhkan handuknya, ia berbaring di seprai layaknya kucing, dan menatap Komura.

“Kapan terakhir kali kau melakukannya dengan istrimu?” tanyanya.

“Akhir Desember, kalau tak salah.”

“Tak pernah lagi setelah itu?”

“Tak pernah.”

“Tak pernah dengan siapa pun?”

Komura memejamkan mata, dan menggeleng.

“Kau tahu apa yang kupikirkan,” ujar Shimao. “Kupikir kau perlu sedikit santai dan menikmati hidup. Maksudku, pikirkan hal ini: besok bisa saja ada gempa bumi; kau bisa saja diculik alien; kau bisa saja dimakan beruang. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi.”

“Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi,” gumam Komura.

“Ting-ting-ting,” ujar Shimao.

SETELAH beberapa kali gagal mencoba berhubungan seks dengan Shimao, Komura menyerah. Hal seperti ini tak pernah terjadi padanya sebelumnya.

“Kau pasti memikirkan istrimu,” ujar Shimao.

“Ya,” ujar Komura. Namun sejujurnya apa yang baru saja dipikirkannya adalah gempa bumi. Gambaran-gambaran tentang gempa itu telah berdatangan padanya satu per satu, seperti dalam slide show, muncul di layar dan memudar dan lenyap. Jalan raya, api, asap, reruntuhan gedung, retakan di jalan. Ia tak bisa memutuskan rantai gambaran-gambaran itu.

Shimao menekankan telinganya di dada telanjang Komura.

“Hal-hal semacam ini kadang terjadi,” katanya.

“Ya.”

“Jangan biarkan ia mengganggumu.”

“Akan kucoba,” jawab Komura.

“Para lelaki selalu membiarkan hal-hal semacam ini mengganggu mereka.”

Komura tak mengatakan apa pun.

Shimao bermain-main dengan putingnya.

“Kau bilang istrimu meninggalkan memo, kan?”

“Ya.”

“Apa yang dia katakan?”

“Bahwa hidup denganku seperti hidup dengan segumpal udara.”

“Segumpal udara?” Shimao memiringkan kepalanya untuk menatap Komura. “Apa artinya itu?”

“Bahwa tak ada apa pun di dalam diriku, kupikir.”

“Benarkah itu?”

“Bisa jadi,” jawab Komura. “Meskipun aku tak yakin. Bisa saja di dalam diriku memang tak ada apa pun. Tapi, apa yang mungkin—dan semestinya—ada di sana?”

“Ya, benar juga, kalau dipikir-pikir. Apa yang mungkin dan semestinya ada di sana? Ibuku penggila kulit salmon. Dia selalu berharap ada ikan salmon yang terdiri hanya dari kulit. Jadi mungkin ada kasus-kasus tertentu di mana justru akan lebih baik jika tak ada apa pun di dalamnya. Bagaimana menurutmu?”

Komura mencoba membayangkan seperti apa seekor ikan salmon yang terdiri hanya dari kulit. Tapi kalaupun ada sesuatu semacam itu, bukankah itu artinya di dalam kulit itu ada sesuatu, yakni kulit juga? Komura menarik napas dalam-dalam, mengangkat dan kemudian menurunkan kepala Shimao dari dadanya.

“Ini menurutku saja,” ujar Shimao, “Aku tak tahu apakah kau mempunyai sesuatu dalam dirimu atau tidak, tapi kau luar biasa. Kupikir dunia ini dihuni banyak perempuan yang akan bisa memahamimu dan jatuh cinta padamu.”

“Itu juga yang dikatakan memo itu.”

“Memo dari istrimu itu?”

“Ya.”

“Oh, yang benar saja,” ujar Shimao, menurunkan lagi kepalanya ke dada Komura. Komura merasakan anting Shimao menekan kulitnya seperti objek rahasia.

“Ngomong-ngomong,” ujar Komura, “apa isi kotak yang kubawa ke sini itu?”

“Itu mengganggumu?”

“Tidak sebelumnya. Tapi sekarang, entahlah, mulai menggangguku.”

“Sejak kapan?”

“Baru saja.”

“Tiba-tiba?”

“Ya, tiba-tiba, begitu aku mulai memikirkannya.”

“Kenapa ya itu mulai mengganggumu sekarang, tiba-tiba?”

Komura menengadah menatap langit-langit beberapa saat. “Entahlah.”

Mereka menyimak erangan angin. Angin itu: ia datang dari suatu tempat yang tak diketahui Komura, dan menerbangkan masa lalu ke suatu tempat yang juga tak diketahui Komura.

“Akan kuberitahu kenapa,” ujar Shimao, pelan. “Itu karena kotak itu berisi sesuatu yang berada dalam dirimu. Kau tak tahu itu ketika kau membawanya ke sini dan memberikannya kepada Keiko dengan kedua tanganmu. Sekarang, kau tak akan pernah mendapatkannya lagi.”

Komura bangkit dari tempat tidur dan menatap perempuan itu. Hidung mungil, tahi lalat di cuping telinga. Dalam kamar yang betapa sunyi, jantungnya berdetak dengan bunyi yang kencang dan kering. Tulang-tulangnya bergemeretak ketika ia bersandar. Untuk beberapa detik yang ganjil, Komura sadar dirinya tengah berada di ambang melakukan sesuatu yang buruk terhadap perempuan itu.

“Cuma bercanda,” kata Shimao ketika dilihatnya raut muka Komura. “Aku hanya mengucapkan sesuatu yang melintas di benakku. Itu lelucon yang buruk. Maafkan aku. Cobalah untuk tidak terganggu dengan itu. Aku tak bermaksud menyakitimu.”

Komura memaksa dirinya untuk kembali tenang dan, setelah mengamati seisi kamar, ia membenamkan lagi kepalanya ke bantal. Tempat tidur yang besar itu teregang di sekitarnya, seperti laut malam hari. Ia mendengar angin yang membeku. Degupan jantungnya yang dahsyat seperti memukul-mukul tulang-tulangnya.

“Kau mulai sedikit merasa telah melakukan sebuah perjalanan jauh?” tanya Shimao.

“Hmm… sekarang aku merasa telah menempuh sebuah perjalanan yang sangat jauh,” jawab Komura.

Shimao menggambar sesuatu yang rumit di dada Komura, seolah-olah tengah menyusupkan mantra sihir ke dalamnya.

“Tapi sungguh,” ujar Shimao, “kau baru saja memulai.”(*)


Cerpen ini termaktub dalan kumpulan cerpen kedua Haruki Murakami, After the Quake (2002); diterjemahkan oleh Ardy Kresna Crenata dari terjemahan Bahasa Inggris oleh Jay Rubin.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *