*Tulisan ini termuat dalam buku Bunga Rampai Badan Layanan Umum: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi

Orang Miskin Dilarang Sakit. Judul buku garapan Eko Prasetyo itu menjadi satir atas harga kesehatan yang memang mahal. Dengan kalimat-kalimatnya yang tajam, sang penulis mengkritik sistem kesehatan yang menurutnya tidak adil dan diskriminatif. Muncul pertanyaan, sejauh mana negara peduli dengan rasa sakit yang dialami rakyatnya, terutama kepada orang miskin?
Cara pandang negara terhadap rasa sakit sebenarnya membaik dari waktu ke waktu. Bila menilik ke belakang, belanja fungsi kesehatan baru menjadi belanja wajib (mandatory spending) setelah undang-undang tentang kesehatan disahkan pada tahun 2009. Di dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa minimal 5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di luar gaji dan 10% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di luar gaji harus dialokasikan untuk anggaran kesehatan. Tujuannya adalah agar derajat kesehatan masyarakat terus membaik melalui penyelenggaraan pelayanan publik di bidang kesehatan, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
Data Bank Dunia menunjukkan hahwa total persentase belanja fungsi kesehatan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kita selama 2007-2009 kalah dari beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Meskipun demikian, dapat kita lihat tren Rasio Belanja Kesehatan terhadap PDB Indonesia mengalami peningkatan sejak pemberlakuan aturan mandatory spending pada tahun 2009.
Selama periode tersebut, Rasio Belanja Kesehatan terhadap PDB masih di bawah rata-rata negara-negara ASEAN, di mana pada tahun 2017, Indonesia berapa pada tingkat rasio yang sama dengan Filipina dan Kamboja dikisaran 1,4%. Hal yang cukup menarik adalah bagaimana Timor-Leste, sebagai negara baru, berusaha mengejar ketertinggalannya di bidang kesehatan yang dapat dilihat dari peningkatan yang signifikan pada Rasio Belanja Kesehatan terhadap PDB tahun 2012-2017.
Secara keseluruhan, proporsi ini mencerminkan bahwa sistem pendanaan kesehatan di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Mandatory spending anggaran Kesehatan di Indonesia menjadi semakin penting mengingat pada tahun 2005 semua negara anggota World Health Organisation (WHO), termasuk Indonesia, berkomitmen untuk mencapai cakupan kesehatan semesta/Universal Health Coveage (UHC) yaitu sebuah program yang memastikan seluruh masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa harus menghadapi kesulitan finansial. Keberhasilan program tersebut sangat ditunjang oleh penyediaan pelayanan fasilitas kesehatan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat.
Rasio Belanja Kesehatan terhadap PDB Negara ASEAN Tahun 2007-2017

Sumber: Bank Dunia
Permasalahan akses pelayanan fasilitas kesehatan bukan tidak disadari oleh Pemerintah. Hal ini bisa kita lihat dari Rencana Strategis Kementerian Kesehatan yang pada setiap periodenya selalu memasukkan isu terkait strategi peningkatan cakupan Kesehatan semesta yang bermutu. Salah satu strategi pencapaian prioritas nasional bidang kesehatan yang ditetapkan Pemerintah adalah meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif. Strategi tersebut dapat dicapai melalui peningkatan pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier.
Pelayanan kesehatan primer adalah pelayanan kesehatan tempat terjadi kontak pertama secara perorangan sebagai proses awal pelayanan kesehatan yang mencakup puskesmas, klinik pratama, praktik dokter/dokter gigi, praktik perawat, praktik bidan, praktik fisioterapi, dan pengobatan tradisional, serta pos Unit Kesehatan Masyarakat. Pelayanan kesehatan sekunder adalah pelayanan kesehatan rujukan lanjutan, yang spesialistik menerima rujukan dari pelayanan kesehatan primer, yang meliputi rujukan kasus, spesimen, dan ilmu pengetahuan serta dapat merujuk kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan yang merujuk. Praktik dokter spesialis adalah salah satu contoh pelayanan kesehatan sekunder yang sering ditemui. Sementara itu, pelayanan kesehatan tersier menerima rujukan subspesialistik dari pelayanan kesehatan di bawahnya, berupa rumah sakit minimal setara kelas B milik Pemerintah dan Swasta, praktik dokter sub-spesialis/dokter gigi sub-spesialis, dan klinik utama sub-spesialis beserta sarana penunjangnya. Ketiga jenjang pelayanan kesehatan ini haruslah dilihat sebagai satu kesatuan sistem kesehatan agar cakupan kesehatan semesta di Indonesia dapat terwujud di mana masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan dapat dilayani sesuai kapasitas dan urgensi pelayanan yang dibutuhkan. Hirarki pelayanan kesehatan tersebut sejalan dengan konsep Bandung Plan pada tahun Johannes Leimena dan Abdoel Patah pada tahun 1951.
Di sisi lain, tren alokasi anggaran fungsi kesehatan meningkat di APBN TA 2015-2019, mengikuti mandatory spending yang ditetapkan undang-undang. Dalam lima tahun tersebut, anggaran kesehatan meningkat hampir dua kali lipat. Peningkatan ini pada akhirnya ingin menjawab tudingan ketidakseriusan Pemerintah dalam menangani masalah kesehatan. Bukan hanya soal anggarannya saja, melainkan mutu dan keselamatan pasien juga dikedepankan. Salah satu bentuk komitmen tersebut adalah dengan peningkatan kapasitas Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan publik di bidang kesehatan menjadi Instansi Pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU.
Tentang Rumah Sakit di Indonesia
Perkembangan rumah sakit di Nusantara dipengaruhi oleh perkembangan rumah sakit di Eropa yang mendapat pengaruh dari perkembangan dan penyebaran agama Kristen. Di Eropa, setelah kaisar Roma Constantin I naik tahta dan menjadi Nasrani pada tahun 335, di kota yang ada katedralnya, di sana juga ada rumah sakit. Pengaruh tersebut terbawa ke tanah Nusantara di masa penjajahan. Rumah-rumah sakit dibangun di tempat gereja berdiri sebagai bagian dari penyebaran agama Nasrani.
Sebelum Indonesia merdeka, persekutuan dagang Hindia-Belanda, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mendirikan rumah sakit pertama di Batavia pada tahun 1641. Luasnya 900 x 1300 meter. Rumah sakit itu kemudian juga digunakan oleh tentara Inggris pada zaman Raffles terutama ditujukan untuk melayani anggota militer beserta keluarganya secara gratis. Jika masyarakat pribumi memerlukan pertolongan, kepada mereka juga diberikan pelayanan gratis. Rumah sakit tidak memungut bayaran pada orang miskin dan gelandangan yang memerlukan pertolongan. Semua ini telah menanamkan kesan yang mendalam di kalangan masyarakat pribumi bahwa pelayanan penyembuhan di rumah sakit adalah gratis. Rakyat tidak mengetahui bahwa sejak zaman VOC, orang Eropa yang berobat di rumah sakit VOC (kecuali tentara dan keluarganya) ditarik bayaran termasuk pegawai VOC.
Lebih lanjut, Laksono Trisnantoro dalam bukunya yang berjudul Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit, menyatakan bahwa hingga peiode akhir abad ke-19, rumah sakit di Indonesia didominasi oleh rumah sakit militer yang diperuntukkan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada anggota militer, pegawai VOC, dan berkembang selanjutnya bagi kalangan pemerintahan baik dari pribumi maupun pendatang. Pada perkembangan selanjutnya rumah sakit di Indonesia juga didirikan oleh kelompok-kelompok keagamaan baik itu oleh kelompok misionaris Nasrani maupun organisasi sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah.
Keberadaan rumah sakit militer pada masa penjajahan tersebut masih dapat kita temui hingga saat ini dan menjadi salah satu andalan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Rumah sakit militer seperti Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto (RSPAD) di Jakarta dan Rumah Sakit Dustira di Cimahi, Jawa Barat, misalnya, masih menjadi salah satu rumah sakit terkemuka di Indonesia.
Meski pada saat itu masih belum secara penuh memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum, rumah sakit militer menjadi cikal bakal tempat pendidikan dokter di Indonesia. Saat itu RSPAD dijadikan salah satu rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa kedokteran di Indonesia. Sekolah kedokteran ini kemudian dikenal sebagai Sekolah Dokter Jawa. Hanya saja saat itu pendidikan kedokteran dikendalikan oleh penjajah dengan sangat ketat. Para lulusannya hanya diberikan wewenang sebagai mantri cacar saja. Barulah ketika penjajah mulai membangun rumah sakit non militer, baik publik maupun swasta, para “Dokter Jawa” ini menjadi pelayan kesehatan bagi masyarkat pribumi pada umumnya.
Di era kemerdekaan, layanan kesehatan dalam bentuk rumah sakit yang ada pada masa penjajahan tetap dipertahankan dan dikembangkan untuk memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat. Beberapa rumah sakit yang dimiliki pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, merupakan nasonalisasi rumah sakit Hindia Belanda ataupun konversi dari rumah sakit milik organisasi sosial-keagamaan.
Meski fasilitas kesehatan yang digunakan merupakan warisan penjajah, pemerintah Indonesia di era kemerdekaan telah membangun suatu sistem pelayanan kesehatan yang komprehensif dari unit masyarakat terkecil secara berjenjang hingga ke fasilitas kesehatan yang lebih kompeten dalam memberikan pelayanan. Sistem tersebut disebut Bandung Plan yang dirumuskan oleh dua dokter yaitu Johannes Leimena dan Abdoel Patah pada tahun 1951.
Dokter Johannes Leimena dan Abdoel Patah percaya bahwa pelayanan kesehatan tak melulu soal aspek kuratif yang fokus pada penyembuhan, namun juga harus dikombinasikan dengan aspek promotif yang bisa mempromosikan kesehatan dan aspek preventif yang bisa mencegah masalah kesehatan. Perhatian terhadap lingkungan baik fisik dan non-fisik pun harus menjadi sebuah kesatuan. Bandung Plan mencoba untuk mengintegrasikan pusat kesehatan masyarakat, pendidikan kesehatan masyarakat dan perawatan kuratif. Hal itu coba dilakukan agar pelayanan kesehatan di Indonesia bisa lebih efektif dan efisien.Integrasi tersebut coba direalisasikan lewat empat tingkat pengembangan bidang kesehatan masyarakat yaitu dengan melakukan pembangunan rumah sakit utama di kota, rumah sakit pembantu di daerah kabupaten, poliklinik di kawasan kecamatan, hingga pos kesehatan pada desa terpencil. Dari pemikiran Dokter Johannes Leimena dan Abdoel Patah inilah lahir pelbagai program layanan kesehatan pada tingkatan terdekat dengan masyarakat. Fasilitas layanan kesehatan seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan Keluarga Berencana (KB) merupakan unit pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak hanya menjalankan fungsi pengobatan tetapi juga fungsi penyuluhan bagaimana cara hidup sehat dan pencegahan terhadap penyakit.
Perkembangan rumah sakit di Indonesia sejak masa penjajahan sebagaimana diutarakan di atas turut membentuk tipologi rumah sakit di Indonesia saat ini. Secara umum rumah sakit dapat dikelompokkan menjadi rumah sakit pemerintah, rumah sakit TNI/POLRI, dan rumah sakit non pemerintah. Rumah sakit pemerintah merupakan rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah selain TNI/POLRI dan rumah sakit TNI/POLRI adalah rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya yang diselenggarakan oleh TNI/POLRI. Sedangkan rumah sakit non pemerintah diartikan sebagai rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya yang diselenggarakan oleh swasta atau unsur lainnya yang dipisahkan dari pemerintah, termasuk rumah sakit yang diselenggarakan oleh BUMN.
Sebagai Instansi Pemerintah, baik yang diselenggarakan oleh TNI/POLRI dan selain TNI/POLRI, rumah sakit dan/atau pelayanan kesehatan lainnya milik pemerintah harus tunduk dalam pengelolaan keuangan negara sebagaimana diamanatkan oleh paket undang-undang keuangan negara. Dalam paket undang-undang tersebut mengatur fleksibilitas pengelolaan keuangan negara bagi instansi pemerintah yang memberikan layanan publik kepada masyarakat dengan syarat dan ketentuan tertentu dalam bentuk pola pengelolaan keuangan BLU. Fleksibilitas pengelolaan keuangan negara yang dimiliki pola pengelolaan keuangan BLU memungkinkan rumah sakit untuk meningkatkan layanannya dengan mengedepankan prinsip efisiensi dan produktifitas kepada masyarakat tanpa mengutamakan untuk mendapatkan keuntungan.
Filosofi Lahirnya BLU Rumah Sakit
Sudah menjadi stereotip di masyarakat kita bahwa pelayanan kesehatan pada rumah sakit swasta lebih baik daripada rumah sakit pemerintah. Pernyataan tersebut harus kita lihat secara adil. Dalam membandingkan rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit swasta, kata kunci yang perlu ditekankan adalah rumah sakit pemerintah sebagai institusi pemerintah yang menyediakan layanan publik di bidang kesehatan masyarakat. Pertanyaan mendasarnya adalah mungkinkah masyarakat dapat membayar biaya yang lebih murah kepada rumah sakit pemerintah untuk mendapatkan fasilitas pengobatan setara dengan rumah sakit swasta?
Jawabannya sangatlah mungkin. Paket undang-undang keuangan negara sudah menyediakan fitur pengelolaan keuangan negara yang memungkinkan bagi Instansi Pemerintah untuk “berkompetisi” dalam memberikan pelayanan terbaik dengan pihak swasta, dalam hal rumah sakit layanan tersebut berupa layanan “semi” publik di bidang kesehatan[i]. Dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU, rumah sakit pemerintah diberikan fleksibilitas dalam mengelola keuangan negara berupa kewenangan untuk menggunakan penerimaan yang diperoleh atas layanan yang diberikan kepada masyarakat secara langsung tanpa menyetorkan terlebih dahulu ke kas negara.
Fleksibilitas yang diberikan tersebut memberi keleluasaan bagi rumah sakit untuk dapat bergerak dan mengambil keputusan secara lebih cepat dalam merespon dinamika yang ada layaknya korporasi. Dengan fitur tersebut, rumah sakit pemerintah sebagai Instansi Pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU[ii], dapat bersaing dengan rumah sakit swasta dalam memberikan layanan yang berkualitas dengan biaya yang lebih terjangkau bagi masyarakat.
Perbedaan paling signifikan antara Satker BLU dengan satuan kerja kementerian/lembaga pada umumnya terletak pada tingkat fleksibilitas yang lebih besar tidak hanya dalam rangka pelaksanaan anggaran (e.g. pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa) tapi juga untuk urusan personalia dan pemberian imbal jasa kepada pegawai sesuai dengan kontribusinya.
Bagi sebagian orang, fleksibilitas yang dimiliki oleh Satker BLU dalam pengelolaan keuangannya sama dengan – atau paling tidak mendekati – fleksibilitas yang ada pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pernyataan tersebut dapat dilihat dari beberapa sisi. Pengelolaan keuangan Satker BLU haruslah dikelola secara efisien dengan pertimbangan bisnis (Business Judgement) yang pruden dan akuntabel untuk meningkatkan produktifitas Satker BLU layaknya korporasi. Meski demikian, adalah suatu hal yang keliru apabila Satker BLU disejajarkan dengan BUMN dalam hal pengembangan kegiatan usaha yang semata-mata mencari keuntungan tanpa mempertimbangkan layanan utama yang diamanatkan. Paket undang-undang keuangan negara secara tegas menyatakan bahwa mandat Satker BLU adalah untuk menyelenggarakan layanan publik dengan tidak mengutamakan mencari keuntungan. Sebagai pengimbang terhadap fleksibilitas yang diberikan, BLU harus dikendalikan secara ketat dalam perencanaan dan penganggarannya, serta dalam pertanggungjawabannya
Agar dapat meningkatkan efisiensi dan produktifitasnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, rumah sakit pemerintah memerlukan pengembangan budaya kerja yang memberikan kesadaran kepada seluruh komponen rumah sakit bahwa sebuah entitas harus dijaga dan dioperasikan secara efektif dan efisien.Untuk mencapai hal tersebut, tuntutan dalam penerapan tata kelola yang baik (good governance) wajib dilakukan. Tuntutan itu antara lain adanya koordinasi yang baik, integritas, profesionalisme, etos kerja, dan moral yang tinggi. Bisa dikatakan, kesuksesan sebuah BLU akan terwujud manakala BLU tersebut mengejewantahkan kelima hal tersebut. Bila tidak, BLU bisa saja keliru dalam memaknai fleksibilitas yang sudah diberikan, dan malah gagal dalam mencapai tujuannya.
Perkembangan Satker Rumah Sakit BLU
Selain mengatur tata kelola keuangan negara, paket undang-undang keuangan negara juga mengatur aspek kelembagaan dari keuangan negara. Paket undang-undang keuangan negara memberikan definisi yang tegas terkait keuangan negara yang dipisahkan dan yang tidak dipisahkan. Dalam konteks ini, Satker BLU merupakan keuangan negara yang tidak dipisahkan sementara BUMN adalah keuangan negara yang dipisahkan.
Sebelum paket undang-undang keuangan negara diberlakukan, dikenal istilah Perusahaan Jawatan (Perjan) yang merupakan BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh pemerintah dan memiliki mandat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Karakteristik Perjan yang memiliki fokus untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat tersebut kurang tepat jika dikategorikan sebagai BUMN berdasarkan kerangka paket undang-undang keuangan negara. Oleh karena itu, diatur bahwa seluruh BUMN yang berbentuk Perjan beralih menjadi Instansi Pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU.
Sejak aturan itu berlaku, status 13 rumah sakit yang berbentuk Perjan menjadi Satker BLU. Tiga belas rumah sakit tersebut adalah RS Fatmawati, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RS Anak dan Bersalin Harapan Kita, RS Cipto Mangunkusumo, RS Persahabatan, RS Kanker Dharmais, RS Hasan Sadikin, RS Karyadi, RS Sardjito, RS Sanglah, RS M. Djamil, RS M. Husein, dan RS Wahidin Sudiro Husodo.
Dalam perjalanannya, rumah sakit pemerintah yang menjadi satker BLU terus bertambah. Pada tahun 2008, 28 satker menjadi BLU. Angka itu bertambah menjadi 35 satker pada tahun 2010, dan hingga 1 Maret 2019, sudah menjadi 40 satker rumah sakit BLU di bawah Kemenkes.
Di antara rumah sakit yang telah menjadi BLU tersebut, 10 rumah sakit sudah berstatus RS BLU Mandiri, dalam artian mereka sudah mampu membiayai kegiatan operasional dari pendapatan operasional. Yang menjadi kejutan adalah, RS pertama yang mampu meraih status RS BLU Mandiri adalah RS Karyadi di Semarang pada tahun 2017, bukan seperti RS Cipto Mangunkusumo yang secara sejarah dan kapasitas, lebih besar dari RS Kariadi Semarang. RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita menyusul mendapatkan status RS BLU Mandiri pada tahun 2018. Delapan rumah sakit lain yang sudah mendapatkan status RS BLU Mandiri tersebut adalah RS Mata Cicendo, RSUP Dr. Sardjito, RSUP Prof. Dr. Soeharso Surakarta, RS Pusat Otak Nasional, RS Kanker Dharmais, RS Wahidin, RS Moh. Hosein, dan RS M. Djamil.
Menarik apabila dibandingkan dengan 13 rumah sakit pertama yang berubah status menjadi BLU, hanya 7 rumah sakit yang sudah mendapatkan RS BLU Mandiri. Ini menunjukkan ada faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan pengelolaan BLU. Tidak serta merta perubahan status menjadi BLU dapat membuat rumah sakit tersebut dapat membiayai operasionalisasi pelayanan kesehatannya secara mandiri. Praktik bisnis yang sehat yang diterapkan entitas berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan disertai kepemimpinan yang kuat menjadi beberapa faktor penentu keberhasilan sebuah RS BLU.
Mengikuti rumah sakit yang berada di bawah Kementerian Kesehatan, rumah sakit TNI/POLRI juga banyak yang berubah status menjadi Satker BLU. RSPAD ditetapkan sebagai Satker BLU pada tahun 2016. Status BLU pada rumah sakit di bawah TNI atau Kemenhan itu bertambah menjadi 8 rumah sakit pada tahun 2018. Jumlah itu terus bertambah seperti beralihnya status Rumah Sakit Angkatan Darat Tk II dr. Soedjono Magelang, Rumah Sakit Angkatan Darat Tk III Wijaya Kusuma Purwokerto, dan Rumkit Tk. II Ja Latumenten Kesdam XXI/PTM menjadi BLU pada tahun 2019. Secara keseluruhan, sebanyak 24 dari 119 rumah sakit TNI telah menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU.
Sementara itu, rumah sakit di bawah POLRI, atau yang biasa disebut Rumah Sakit Bhayangkara, telah lebih dulu menjadi Satker BLU, yakni sejak tahun 2010. Secara total, dari 46 Rumah Sakit Bhayangkara yang ada, sebanyak 32 (tiga puluh dua) Rumah Sakit telah menjadi Instansi Pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU.
Tata Kelola Badan Layanan Umum Rumah Sakit
Badan Layanan Umum (BLU) merupakan salah satu aktualisasi komitmen penyelenggaraan pembangunan yang berorientasi hasil, dengan fleksibilitas pengelolaan keuangan, termasuk pengelolaan aset, dengan semangat entreprenaurship. Tata kelola yang baik menjadi frasa kunci untuk menunjukkan aktualisasi komitmen tersebut.
Yang dimaksud dengan semangat entreprenaurship itu adalah semangat dalam praktik bisnis yang sehat yang dijewantahkan dalam penyelenggaraan fungsi organisasi dalam memberikan layanan kepada masyarakat berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan. Bentuk praktik bisnis yang sehat itu adalah dalam merencanakan dan menetapkan kebutuhan sumber daya yang dibutuhkan, tidak hanya dalam pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa oleh BLU, namun juga dalam perencanaan dan penganggaran serta pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran Satker BLU.
Tantangan dalam mengelola keuangan negara pada Satker BLU rumah sakit agar dapat menghasilkan layanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan sebagaimana yang menjadi prioritas nasional adalah bagaimana memadukan seluruh sumber daya yang dimiliki dalam menjawab tuntutan perubahan-perubahan layanan kesehatan baik dari sisi medis maupun dari sisi manajemen rumah sakit itu sendiri. Layaknya sebuah sistem komputer, diperlukan brainware yang handal untuk dapat mengoptimalkan hardware yang mumpuni dalam menjalankan software yang canggih agar dapat menghasilkan suatu output yang diharapkan. Keberhasilan rumah sakit pemerintah tentunya tidak hanya bergantung pada sumber daya yang dimiliki rumah sakit (hardware) ataupun penerapan pola pengelolaan keuangan BLU (software) tapi juga tidak kalah pentingnya adalah kemampuan entrepreneurship pimpinan rumah sakit yang handal (brainware) dalam meramu komponen-komponen tersebut dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan penelitian Lia G. Partakusuma pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa pemahaman pejabat/pimpinan rumah sakit terhadap peraturan seputar pola pengelolaan keuangan BLU perlu ditingkatkan agar tata kelola rumah sakit dapat berjalan dengan baik yang pada gilirannya akan meningkatkan pelayanan rumah sakit kepada masyarakat.
ARAH PENGELOLAAN BLU RUMAH SAKIT
Rumah sakit pemerintah merupakan Instansi Pemerintah yang memiliki tugas menyelenggarakan layanan publik di bidang kesehatan. Ketika rumah sakit pemerintah ditetapkan menjadi Satker BLU, maka status rumah sakit pemerintah tersebut tetap sebagai Instansi Pemerintah. Oleh karena itu, sebagai Instansi Pemerintah, sangat wajar bagi Satker BLU rumah sakit untuk mendapatkan alokasi anggaran dalam rangka operasionalisasi pelaksanaan tugas yang dimandatkan pemerintah. Meski demikian, dengan fleksibilitas yang dimilikinya, Satker BLU rumah sakit sangat mungkin untuk membiayai seluruh biaya operasionalnya dengan penerimaan yang diperoleh dari masyarakat. Pada praktiknya, sebagaimana terungkap sebelumnya bahwa terdapat beberapa Satker BLU rumah sakit yang mampu membiayai operasionalisasi layanannya dari pendapatan operasional atau yang biasa disebut Satker BLU Mandiri. Tulisan ini akan membahas Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Kariadi sebagai salah satu Satker BLU dengan status Mandiri.
RSUP Dr. Kariadi menjadi rumah sakit pertama yang menjadi Satker BLU Mandiri, yaitu pada tahun 2017. Berlokasi di Semarang, RSUP Dr. Kariadi menyandang status RS vertikal kelas A Pendidikan yang sejak tahun 2006 telah menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU) secara penuh.
Bentuk kelembagaan sebagai Satker BLU menuntut RS Kariadi menjadi lembaga yang mampu beroperasi secara efisien, transparan dan akuntabel serta mampu menerapkan praktik bisnis yang sehat. RSUP Dr. Kariadi sebagai pusat rujukan tersier pada sistem Jaminan Kesehatan nasional yang mulai berlaku sejak Januari 2014 telah mengubah pola pasien. Sejak Januari 2014, lebih dari setengah pasien RSUP Dr. Kariadi berasal dari kota lain di Provinsi Jawa Tengah, diikuti oleh pasien dalam kota Semarang sejumlah 38,71%, dan sisanya berasal dari luar Provinsi Jawa Tengah. Jika dilihat dari komposisi sumber pembiayaan pasien, maka porsi terbesar (57,43%) adalah pasien pengguna jaminan Non PBI.
Jika kita melihat pendapatan, maka dapat disimpulkan bahwa tren pendapatan RSUP Dr Kariyadi terus meningkat dari tahun ke tahun. Pendapatan RSUP Dr. Kariyadi dari mulanya sekitar 867 miliar pada 2015 menjadi 1,2 triliun pada tahun 2019. Sejak tahun 2010, rasio pendapatan RSUP Dr. Kariyadi terhadap biaya operasionalnya pun sudah pada angka 250%. Ini menunjukkan tingkat kemandirian rumah sakit yang tinggi.
Namun demikian, penelitian Rolly Indra pada tahun 2017 menunjukkan bahwa berdasarkan perhitungan rasio kas sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 36 Tahun 2016, rasio kas RS Dr. Kariadi berada pada posisi yang tinggi. Untuk tahun 2013-2015, rasio kas RS Kariadi secara berturut adalah sebesar 15,905, 8,063, dan 10,469. Rolly Indra membandingkan rasio kas RS Dr. Kariyadi tersebut rasio kas RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Sardjito Yogyakarta, dan RSUP Hasan Sadikin Bandung yang pada tahun 2015 hanya sebesar 1,308, 0,816, dan 1,164. Tingginya saldo kas mengindikasikan pengelolaan kas yang belum efektif.
Penelitian Lias G. Partakusuma tahun 2014 juga menunjukkan bahwa budaya organisasi sebagai salah satu faktor berpengaruh dalam tata kelola BLU. Budaya BLU adalah nilai-nilai budaya kerja yang diterapkan Satker BLU dalam melaksanakan tugas sehari-hari untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Nilai-nilai budaya kerja tersebut merupakan upaya yang akan dilakukan untuk mengubah pola pikir menjadi ala korporat. Selain itu, penelitian Lias G. Partakusuma tahun 2014 menjabarkan bahwa perubahan budaya dapat terjadi bila sebuah institusi mulai dari pimpinan sampai seluruh staf berkomitmen menjalankan kultur yang disepakati. Beberapa RS BLU telah mencanangkan perubahan budaya yang sangat diharapkan dapat diimplementasikan oleh seluruh staf, satu RS BLU telah mempunyai program yang jelas dan komprehensif mengenai budaya korporasi, satu RS BLU lainnya telah mempunyai komitmen budaya yang disebar luaskan pada seluruh staf.
RS Dr. Kariadi memiliki budaya kinerja yang memperhatikan mutu dan keselamatan pasien selalu menjadi perhatian dan target utama rumah sakit. Untuk itu telah dibentuk Komite Mutu dan Keselamatan Pasien serta Komite Keperawatan. RSUP Dr Kariadi terus berusaha meningkatkan mutu layanan dengan melaksanakan akreditasi nasional oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dan melaksanakan akreditasi internasional oleh JCI (Joint Commition International).
Pada sisi layanan, salah satu yang dievaluasi adalah ketercapaian Indikator Kinerja Terpilih (IKT). IKT yang menjadi dasar penilaian kinerja para Pemimpin BLU Rumah Sakit terdiri atas indikator layanan dan indikator keuangan. IKT ini sendiri bertujuan untuk mengukur seberapa besar dan seberapa baik kinerja dari operasional Rumah Sakit baik dalam bentuk pelayanan maupun dalam bentuk pengelolaan keuangan rumah sakit.
Ada 4 indikator tetap IKT. Pertama, Ketepatan Identifikasi Pasien. Indikator ini menilai ketepatan identifikasi pasien agar mendapatkan pelayanan atau pengobatan yang cocok terhadap individu tersebut. Kedua, Kepatuhan terhadap Clinical Pathaway. Hal ini dilakukan demi terselenggaranya standardisasi proses asuhan klinis, mengurangi risiko proses asuhan klinis, mengurangi adanya variasi asuhan klinis dan memberikan asuhan klinis yang tepat waktu serta penggunaan sumber daya yang efisien dan konsisten sehingga menghasilkan mutu pelayanan yang tinggi dengan menggunakan praktik klinik yang berbasis bukti. Ketiga, kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila pelayanan yang diberikan sesuai atau melampaui harapan pelanggan. Hal ini dapat diketahui dengan melakukan survei kepuasan pelanggan untuk mengetahui tingkat kepuasan pelanggan dengan mengacu pada kepuasan pelanggan berdasarkan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Pengukuran IKM dilaksanakan di lokasi layanan sesuai dengan metode dan ketentuan sebagimana diatur dalam pedoman umum penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat unit layanan instansi pemerintah Keempat, Rasio PNBP terhadap biaya operasional yang digunakan untuk menunjukkan terselenggaranya pemanfaatan anggaran PNBP dan APBN yang efektif dan efisien.
IKT untuk tahun 2017 bagi RSUP Dr. Kariadi adalah sebagai berikut:
- Kepatuhan Terhadap Clinical Pathway
- Rasio PNBP Terhadap Biaya Operasional (POBO)
- Ketepatan Jam Visit Dokter Spesialis
- Sistem Antrean Pasien Rawat Jalan (online/SMS)
- Informasi Ketersediaan Tempat Tidur
- Modernisasi Pengelolaan BLU (Penerapan Aplikasi BLU Integrated Online Sistem /BIOS)
Sumber: http://ppid.rskariadi.co.id/
Dari keenam indikator tersebut, satu indikator yakni ketepatan jam visit dokter spesialis masih menunjukkan nilai yang di bawah standar 80,00, yakni 68,07. Sedangkan kelima indikator lainnya sudah cukup baik dengan capaian sama dengan standar pelayanan rumah sakit atau di atas standar, terutama realisasi rasio PNBP terhadap biaya operasional yang melebihi target.
Untuk mewujudkan peningkatan kinerja pada BLU rumah sakit, kesiapan sumber daya manusia juga memegang peranan penting. Kesiapan ini salah satunya berawal dari motivasi pegawai dalam memberikan pelayanan yang lebih baik. RSUP Dr. Kariadi juga secara konsisten memberikan pelatihan dasar dan pelatihan peningkatan kompetensi bagi bara pegawainya untuk mewujudkan pertumbuhan produktivitas pelayanan. Hal itu ditunjang dengan pemberian remunerasi sebagai motivasi bagi para pegawai.
Melalui capaian IKT yang sudah dituangkan ke dalam kontrak kinerja, BLU mempunyai ruang untuk mendapatkan insentif remunerasi di atas 100%. Insentif tersebut sangat efektif memacu kinerja BLU terutama untuk mengatasi kendala pada peningkatan kinerja pelayanan BLU Rumah Sakit yang juga dipengaruhi oleh motivasi pegawai. Hal ini sejalan dengan penelitian Dakota, dkk yang dipublikasikan dalam Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Tahun 2017 menunjukkan bahwa peningkatan pelayanan meningkat secara signifikan setelah implementasi kebijakan remunerasi.
Tentang Tarif BLU Rumah Sakit
Pola tarif BLU Rumah Sakit dimaksudkan sebagai acuan bagi Rumah Sakit yang telah menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum di lingkungan Kementerian Kesehatan dalam menyusun besaran tarif pada masing-masing Rumah Sakit. Pengaturan pola tarif BLU Rumah Sakit meliputi kegiatan yang dikenakan tarif, komponen tarif, pola perhitungan tarif, dan pengelolaan pendapatan BLU Rumah Sakit.
Tarif Layanan Badan Layanan Umum Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang Pada Kementerian Kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) NOMOR 156/PMK.05/2014. PMK ini sudah mempertimbangkan Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) No. 69 tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan dan PERMENKES No. 59 tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Dalam PMK tersebut, tarif kelas II pelayanan RSUP Kariadi diatur besarannya. Untuk menjamin kompetisi yang sehat, penetapan tarif kelas III dikenakan kepada pasien masyarakat umum paling tinggi sebesar 90%. Sedangkan Tarif Kelas I, tarif Kelas Utama, dan tarif Kelas VIP dikenakan kepada pasien masyarakat umum paling rendah sebesar 102% (seratus dua persen) dari tarif Kelas II.
Pada tahun 2015, penelitian yang dilakukan oleh Bambang Wibowo dan Mardia Nadjib menganalisis efisiensi rumah sakit di 4 rumah sakit kelas A pada kasus penanganan medis persalinan sectio caesarea. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberlakuan tarif pada RSUP Dr. Kariadi adalah yang paling efisien di antara rumah sakit lainnya. Perubahan cara pandang dan cara mengelola RS dan pasien ini mewajibkan pihak manajemen menerapkan kendali biaya dan mutu yang mengarah pada pelayanan yang berbiaya efektif. Pengendalian biaya dan mutu tersebut tidak hanya dilakukan pada sisi proses pelayanan, tetapi juga dilakukan pada sisi input seperti perencanaan dan pengadaan barang dan jasa.
Strategi Pengadaan Barang/Jasa Satker BLU Rumah Sakit
Data Kementerian Kesehatan tahun 2019 menunjukan bahwa Satker BLU rata-rata rumah sakit mengalokasikan pendapatannya sebesar 56% untuk kebutuhan belanja barang dan modal. Sedangkan 44% pendapatan BLU tersebut digunakan untuk kebutuhan pegawai. Alokasi barang dan modal tersebut akan menghasilkan peningkatan kualitas dan kapasitas layanan, sedangkan alokasi untuk pegawai akan meningkatkan motivasi dan produktivitas pegawai melalui remunerasi dan pengembangan sumber daya manusia.
Salah satu strategi yang dilakukan dalam pengelolaan aset ini adalah adanya fleksibilitas yang dimiliki oleh satker BLU untuk mengatur mekanisme pengadaan barang/jasa yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Salah satu yang ditempuh oleh Satker BLU rumah sakit yaitu melalui pengaturan konsolidasi pengadaan barang/jasa. Strategi ini menggabungkan beberapa paket pengadaan yang sejenis pada Satker BLU rumah sakit yang berbeda sehingga tercipta efisiensi baik waktu, SDM, dan biaya, kontrol mutu, standardisasi sarana dan prasarana alat kesehatan, dan dianggap mampu menekan kecurangan. Dari tahun ke tahun pengonsolidasian pengadaan barang/jasa tersebut terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2018, konsolidasi pengadaan dilakukan terhadap stent jantung, gas medis, gas LPG, dan limbah medis. Pada tahun 2019, konsolidasi pengadaan barang/jasa itu menambah cakupan regional dan cakupan barang/jasa.
Bukti nyata efisiensi yang terjadi yang disebabkan oleh konsolidasi pengadaan barang/jasa bisa dilihat dari pengadaan gas medis. Untuk pengadaan gas medis di RS Vertikal Kemenkes wilayah Sumatera, terdapat efisiensi sebesar 13,6% dari konsolidasi pengadaan gas medis tersebut. Begitu pula yang dilakukan rumah sakit vertikal Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang). Dari pembelian tabung gas medis yang sebelumnya sekitar Rp44.000, menjadi hanya Rp27.000. Konsolidasi tersebut dilakukan oleh dua rumah sakit pada 2018, yaitu RS dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten dan RS DR. Sardjito Yogyakarta. Efisiensinya 38,6%. Efisiensi juga ditunjukkan pada pengadaan alat impant orthopedi di rumah sakit vertikal Joglosemar sebesar 6,25-60,93%.
Perbandingan Harga Satuan Alat Impant Orthopedi Sebelum dan Sesudah Konsolidasi Pengadaan Barang dan Jasa
| NO | NAMA BARANG | HARGA SATUAN SEB.KONSOLIDASI (Rp) | HARGA SATUAN KONSOLIDASI (Rp) | % EFISIENSI |
| 1 | TKR PS | 22.000.000 – 24.420.000 | 20.020.000 | 18,01 |
| 20.369.000 | 16,58 | |||
| 18.700.000 | 23,42 | |||
| 18.414.000 | 24,59 | |||
| 2 | THR | 24.750.000 – 27.313.000 | 22.000.000 | 19,45 |
| 20.790.000 | 23,88 | |||
| 13.398.000 | 50,94 | |||
| 3 | Pedicle Screw Monoaxial | 1.760.000 | 1.650.000 | 6,25 |
| 4 | Anterior Cervical plate | 997.000 | 850.000 | 14,74 |
| 5 | Titanium Mesh | 2.816.142 | 1.100.000 | 60,93 |
Sumber: Kementerian Kesehatan
Efisiensi lebih besar ditunjukkan dalam pengadaan stent jantung. Efisiensi yang dihasilkan bahkan sebesar 69,30-83,18%. Begitu pula efisiensi dalam pengadaan alat kesehatan rumah sakit vertikal pada tahun 2019. Efisiensi terbesar ada pada pengadaan patient monitor sebesar 95%. Total efisiensi yang dihasilkan dari konsolidasi pengadaan alat kesehatan senilai Rp Rp32.632.848.155,-
Perbandingan Harga Satuan Alat Impant Orthopedi Sebelum dan Sesudah Konsolidasi Pengadaan Stent Jantung
| NO | NAMA BARANG | HARGA SATUAN SEB.KONSOLIDASI (Rp) | HARGA SATUAN KONSOLIDASI (Rp) | % Efisiensi |
| 1 | Stent Des | 7.750.000 – 10.750.000 | 3.300.000 – 3.786.750 | 69.30 |
| 2 | Stent BMS | 9.515.000 | 1.991.000 – 3.500.000 | 79,07 |
| 3 | Ballon | 8.000.066 | 1.345.000 – 1.760.000 | 83,18 |
Sumber: Kementerian Kesehatan
Ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan konsolidasi pengadaan barang/jasa. Pertama, komitmen pemimpin. Pimpinan berperan untuk membantu melepaskan ego yang masih ada di masing-masing rumah sakit yang dipimpinnya, seperti ego dalam berbagi informasi pengadaan barang dan jasa. Kedua, adanya kedekatan budaya. Adanya persamaan latar belakang budaya antara daerah dalam regional tertentu menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan pelaksanaan konsolidasi pengadaan ini. Ketiga, adanya kemauan menyepakati spesifikasi dan HPS. Keberhasilan konsolidasi pengadaan ini juga dipengaruhi oleh kemauan para rumah sakit peserta konsolidasi untuk menyepakati spesifikasi dan HPS pengadaan. Dalam hal ini, ego dari masing-masing dapat ditekan demi mewujudkan komunikasi efektif.
Strategi Optimalisasi Aset Satker BLU Rumah Sakit
Pelaksanaan pengelolaan aset Satker BLU RS berpedoman pada ketentuan PMK nomor 136.PMK.05/2016. Dalam pengelolaan asetnya, Satker BLU RS diharapkan dapat meningkatkan optimalisasi aset yang dimilikinya guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Saat ini, pengelolaan aset yang dapat dilakukan oleh Satker BLU Rumah Sakit adalah dalam bentuk Kerja Sama Operasional (KSO) dan Kerja Sama Manajemen (KSM).
Skema Pengelolaan Aset Satker BLU

Salah satu contoh KSO yang sering dilakukan adalah pada bidang radiologi. Rumah sakit membutuhkan dana yang besar untuk dapat memiliki peralatan radiologi seperti CT Scan. Pengadaan alat CT Scan dengan sistem KSO sangat menguntungkan bagi pihak RS karena tidak perlu melakukan investasi awal dan biaya maintenance yang relatif mahal dalam pengadaan pelayanan CT Scan tersebut.
Contoh lain KSO yang umumnya dilakukan oleh Satker BLU RS adalah seperti yang dilakukan oleh Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON). Untuk meningkatkan kualitas manajemen perparkiran yang tertib dan nyaman di lingkungan RSPON, dilakukanlah kerja sama pengelolaan parkir. RSPON memiliki gedung parkir dan melalui KSO dengan Mitra Jasa Pengelola Parkir, RSPON berupaya untuk lebih mengintensifkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Badan Layanan Umum (BLU) dari pendapatan jasa lainnya.
Strategi kerja sama operasional ini juga dilakukan dalam perihal laboratorium. Beberapa kerja sama laboratorium yang pernah dilakukan RS BLU antara lain KSO Laboratorium Patologi Klinik (laboratorum terintegrasi) RSUP Sanglah tahun 2015–2019, KSO Laboratorium Patologi Klinik (laboratorum terintegrasi) RSUP. H. Adam Malik tahun 2015–2019, dan KSO Laboratorium Patologi Klinik (laboratorum terintegrasi) RSUP. M. Hoesin Palembang tahun 2012–2017. Satu hal yang menjadi catatan penting dalam KSO Laboratorium ini adalah agar rumah sakit tidak sampai kehilangan kendali pada manajemen laboratorium.
Menuju BLU yang Mandiri
Untuk menuju BLU yang mandiri, penerapan PPK BLU dengan optimal harus dilakukan. Unit-unit yang sudah mendapat predikat sebagai Satker BLU harus memahami betul telah diberi beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh satuan kerja pada umumnya. Hal itu mulai dari BLU menganut pola anggaran fleksibilitas (flexible budget). Pola anggaran ini mengizinkan pemimpin BLU melakukan belanja lebih besar daripada yang ditetapkan dalam dokumen pelaksaanan anggaran. Besarnya ambang batas fleksibilitas anggaran tentunya ditetapkan terlebih dahulu dalam dokumen Rencana Bisnis Anggaran tahunan sebagai dokumen perencanaan dan penganggaran Satker BLU. Dalam mekanisme PPK-BLU, pendapatan yang berasal dari jasa layanan dapat dikelola secara langsung untuk membiayai kegiatan operasional.
BLU dapat memiliki saldo akhir tahun sebagai surplus kas. Surplus BLU terjadi apabila terdapat selisih lebih antara pendapatan operasional dengan pengeluaran rutin dalam satu tahun anggaran. Surplus kas tersebut akan menjadi Saldo Awal pada Tahun Anggran Berikkutnya. Pemimpin BLU dapat memanfaatkan saldo awal sebagai uang muka kerja sehingga dalam proses pelayanan publik tidak mengalami kekurangan sumber daya sebelum dokumen pelaksanaan anggaran dapat direalisasikan pada awal tahun.
Meskipun dikelola bukan untuk mencari keuntungan, Satker BLU diharuskan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat sama seperti halnya dengank orporasi guna memberikan layanan kepada masyarakat sesuai prinsip efisiensi dan produktifitas. Oleh karena itulah, penguatan kepemimpinan/leadership pimpinan Satker BLU harus dilakukan. Tanpa adanya kepemimpinan yang kuat, penerapan PPK BLU tidak akan optimal. Kepemimpinan yang kuat akan mendorong efisiensi, inovasi, dan produktivitas. Kepemimpinan ini pula yang akan memandu perubahan paradigma yang dimiliki para pegawai satker BLU menjadi Pegawai Instansi Pemerintah yang dapat menyelenggarakan layanan kepada masyarakat secara efisien dan produktif. Kepemimpinan ini pula yang akan menjadi kunci pengambilan kebijakan dalam hal kendali muda dan kendali biaya, penyusunan tarif, pengadaan barang/jasa, dan optimalisasi pemanfaatan aset yang ada.
Pada akhirnya, BLU yang mandiri menjadi bagian dari cara pandang Negara dalam menyelamatkan orang-orang sakit. Hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat, dan seperti kata Knute Nelson, hal yang paling menyenangkan di tengah masa sulit adalah kesehatan yang baik dan tidur yang cukup. Jangan sampai kekhawatiran Arthur Schopenhauer—yang terbesar dari kebodohan adalah mengorbankan kesehatan untuk jenis lain dari kebahagiaan—menjadi jamak. Ini menjadi kewajiban Negara dalam melindungi rakyatnya tanpa membeda-bedakan miskin atau kaya, semua dijamin setara.
Daftar Pustaka
Trisnantoro, Laksono. 2017. Memahami Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah Sakit. UGM Press. Yogyakarta.
Bambang Wibowo & Mardia Najib. ANALISIS EFISIENSI PADA SELISIH KLAIM INA-CBG DAN PENDAPATAN RUMAH SAKIT DI 4 RUMAH SAKIT KELAS A, STUDI KASUS PERSALINAN SECTIO CAESAREA. Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Dakota, dkk. 2017). IMPLEMENTASI KEBIJAKAN REMUNERASI DI RUMAH SAKIT PEMERINTAH dalam Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol. 6 No. 3 Tahun 2017.
Kementerian Kesehatan. 2015. RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. KARIADI :RENCANA STRATEGIS BISNIS TAHUN 2015 – 2019.
Kementerian Kesehatan. 2020. Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah: Ditjen Pelayanan Kesehatan 2019.
Kementerian Kesehatan. 2019. Presentasi Pengelolaan Badan Layanan Umum Rumah Sakit Vertikal. Ditjen Pelayanan Kesehatan/
Partakusuma, Lia G. 2014. Evaluasi Tata Kelola Rumah Sakit Badan Layanan Umum pada 4 Rumah Sakit Vertikal Kelas A di Jawa dan Bali. Jurnal Arsi.
Hartanto. LABORATORIUM RUMAH SAKIT MEMBANGUN KEUNGGULAN BERSAING (KOMPETITIVE ADVANTAGE) MELALUI KERJASAMA OPERASIONAL (KSO) DI ERA BPJS.
Indra, Rolly. 2017. ANALISIS SALDO KAS OPTIMAL BADAN LAYANAN UMUM: STUDI KASUS PADA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT dr. KARIADI. Jurnal ITREV.
Siringo-ringo, Alfiker. 2014. Mengembangkan Tata Kelola BLU.
Tama, Annafi Indra. 2018. KAJIAN KEMANDIRIAN KEUANGAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH. Jurnal Optimal.
[i] Layanan semi publik memiliki definisi yang beragam. Dalam tulisan ini layanan semi publik digunakan untuk menyebutkan layanan yang dapat diberikan kepada masyarakat baik oleh pemerintah maupun swasta.
[ii] Selanjutnya disebut Satker BLU