Simbolisme Haruki Murakami oleh Ardy Kresna Crenata

Simbolisme Haruki Murakami

Seorang perempuan menemukan sebuah batu berbentuk ginjal saat ia sedang berjalan sendirian menyusuri sungai di sebuah pegunungan. Ia seorang dokter penyakit dalam, sehingga ia bisa memastikan bentuk batu itu memang menyerupai ginjal saat ia menggenggamnya, menyentuh-nyentuhnya, merasakannya. Ia kemudian membawa batu itu bersamanya dan meletakkannya di meja kerjanya, sebagai “oleh-oleh” sekaligus penindih kertas-kertas dokumen. Besok harinya, tepat ketika ia memasuki ruang kerjanya itu, ia mendapati batu itu sudah tak di sana; tergeletak di tempat lain meski masih di ruangan tersebut.

Besok harinya lagi ia kembali mendapati hal yang sama, begitu juga besoknya dan besoknya lagi. Terus seperti itu. Ia yang semula melihatnya sebagai sesuatu yang ganjil dan tak masuk akal mulai mencoba menerimanya sebagai sesuatu yang nyata-meski-tak-terjelaskan. Lambat-laun ia mulai merasa batu berbentuk ginjal ini mengganggunya; perhatiannya terisap kuat oleh batu tersebut dan ia jadi merasa waktu dan energinya banyak berkurang dan ini mengacaukan ritme hidupnya. Di titik ini ia mulai mencoba menghubungkan kemunculan dan tingkah aneh batu berbentuk ginjal ini dengan realitas yang dijalaninya. Saat itu, ia sedang dalam sebuah hubungan gelap dengan seorang dokter bedah di rumah sakit yang sama, dan ia mulai berpikir hubungan tersebut tak lagi baik baginya.

Si narator memberitahu pembaca bahwa ketika si perempuan menemukan batu berbentuk ginjal itu bisa jadi ia sesungguhnya sudah mulai merasa terganggu oleh hal tersebut, hanya saja ia tak menyadarinya. Rasa bersalah di dalam dirinya muncul, bergerak di alam bawah sadarnya, baru kemudian ia menemukan batu berbentuk ginjal itu. Kelak ketika si perempuan melemparkan batu berbentuk ginjal itu ke laut dan besoknya ia mendapati batu itu terdiam tanpa dosa di meja kerjanya di dalam dirinya masih ada pertentangan yang kuat antara ia menginginkan hubungan gelapnya itu berakhir namun di sisi lain ia masih enggan melepaskan si dokter bedah. Lalu di akhir cerita, ketika si perempuan sudah memantapkan keputusannya untuk mengakhiri hubungan gelapnya dengan si dokter bedah itu, batu berbentuk ginjal tersebut tak lagi ditemukannya di meja kerjanya, tidak juga di tempat-tempat lain.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa apa yang dipikirkan dan dirasakan si perempuan terhadap hubungan gelapnya dengan si dokter bedah sangat mungkin berhubungan dengan kemunculan dan perilaku aneh batu berbentuk ginjal itu. Masalahnya, si narator, ataupun tokoh-tokoh dalam cerita, tak memberikan pernyataan yang tegas dan terang-benderang tentang keterhubungan ini.

Ini saya kira sesuatu yang menarik; sebuah permainan yang cerdik, dan menarik. Kedua hal itu bisa jadi berhubungan namun bisa jadi tidak sama sekali; tiadanya pernyataan kentara dari si narator tentang hal ini membuat dua kemungkinan tersebut terus saling tarik-menarik tanpa henti. Pembaca kemudian jadi seperti berada dalam sebuah ambiguitas, sebuah situasi di antara.

Seandainya memang kedua hal itu berhubungan, maka situasi batu berbentuk ginjal itu bisa dilihat sebagai simbol dari situasi hubungan gelap yang tengah dijalani si perempuan. Kemunculan batu berbentuk ginjal adalah simbol dari mulai tidak yakinnya ia dengan perselingkuhan yang dijalaninya; tingkah aneh si batu di ruang kerjanya, adalah simbol dari rasa bersalah yang terus mengganggunya; munculnya kembali batu itu di ruang tersebut meski si perempuan telah membuangnya, adalah simbol dari belum relanya ia mengakhiri perselingkuhannya; dan tiba-tiba lenyapnya batu itu, adalah simbol dari totalitas dan keputusan bulat si perempuan atas hubungan gelapnya.

Si simbol dan apa yang disimbolkan, bisa dilihat, dihadirkan dalam satu tubuh cerita, dan keduanya disandingkan dengan arah gerak yang sama dan seperti saling memengaruhi namun juga tidak. Simbolisme yang ada, pada akhirnya, begitu ambigu dan begitu di antara. Ia tidak terang-terangan merupa simbol namun di saat yang sama “takdir cerita” begitu kuat mengarahkan sugesti pembaca ke sana. Seperti inilah, barangkali, simbolisme Haruki Murakami. Sebuah simbolisme yang penuh ambiguitas dan tarik-menarik. Cerita yang sedari tadi saya bahas ini sendiri adalah “The Kidney-Shaped Stone that Moves Everyday”.

___

Di cerita berjudul “Yesterday”, seorang lelaki yang lahir dan tumbuh di Tokyo, pada satu titik hidupnya, memutuskan untuk menjadi seorang pengguna dialek Kansai. Sebagai informasi, Kansai adalah sebuah kawasan di Jepang dengan dialeknya yang khas; dialek ini, dalam arti tertentu, menunjukkan betapa si pengguna seseorang yang santai dan riang dan cair dan berselera humor tinggi, berbeda sekali dengan dialek Tokyo yang, dalam arti tertentu, nyaris kebalikannya—formal, kaku, umum. Di mata orang-orang Jepang adalah normal dan biasa saja seseorang yang lahir dan tumbuh di kawasan Kansai berubah menjadi seorang pengguna dialek Tokyo ketika ia berada dan hidup di Tokyo; semacam bagian dari penyesuaian yang tak terhindarkan. Tetapi situasi sebaliknya, tidak.

Si lelaki itu benar-benar berusaha keras menjadi seorang pengguna dialek Kansai. Ia mempelajari dialek Kansai dengan giat, mengoceh tentang hal-hal yang akan mengingatkan lawan bicaranya kepada Kansai, membuat nada bicara dan gestur dan tingkah kesehariannya memperkuat kesan tersebut, bahkan sampai mencoba menjalani kehidupan di Kansai. Hasilnya sempurna. Seseorang yang berhadapan dengannya tanpa pernah lebih dulu mengenalnya akan mengira ia berasal dari Kansai. Hanya jika ia sendiri yang mengatakan ia lahir dan tumbuh di Tokyo, baru seseorang itu menyadari dugaannya keliru.

Adapun mengapa lelaki itu sampai berusaha keras mengubah bahasa sehari-harinya, itu dikarenakan ia ingin menjadi sosok yang berbeda. Ia yang seorang pengguna dialek Tokyo adalah ia yang ingin dilupakannya, yang ia ingin sekali melarikan (dan membebaskan) diri darinya—ia dengan segala persoalan masa lalu dan masa kini dan masa depan yang kadung ada padanya. Lelaki ini tipe seorang jenius yang prestasinya di sekolah cemerlang namun pada satu titik ia tak lagi tertarik pada kecemerlangan semacam itu. Setiap bulan, ia pergi ke seorang psikolog hanya untuk mendapati psikolog itu memancingnya bercerita dan ia jadi kesal dan menilai si psikolog itu telah “melabelinya” tanpa pernah mengenalnya. Ia punya kegelisahan yang menjadi-jadi terkait hubungan percintaannya dengan pacarnya, bahwa ia tak bisa membayangkan dirinya dan perempuan itu berhubungan seks sebab ia telah berteman dengan si perempuan sedari kecil, sehingga lambat-laun ia berpikir akan baik jika mereka tak lagi bersama dan perempuan itu mengencani lelaki lain.

Si narator, seperti dalam cerita tentang batu berbentuk ginjal tadi, di sini pun tidak terang-terangan mengatakan bahwa dua hal tersebut berhubungan, bahwa kerja keras si lelaki untuk menjadi seorang pengguna dialek Kansai adalah simbol dari keinginan kuat si lelaki untuk menjadi sosok yang berbeda, untuk meninggalkan dirinya dengan segala persoalan yang ada padanya. Perlu ditambahkan, pacar lelaki itu adalah sesosok perempuan yang menyenangkan baik dari segi tampilan maupun pembawaan, sehingga sangatlah aneh seseorang yang adalah pacarnya justru berusaha melepaskan diri darinya. Sedikit-banyak, situasi ini mirip dengan anggapan betapa anehnya seorang pengguna dialek Tokyo memutuskan untuk menjadi seorang pengguna dialek Kansai. Bukan sesuatu yang umum. Katakanlah begitu.

Sampai di titik ini bisa dilihat bahwa kerja keras si lelaki untuk menjadi pengguna dialek Kansai adalah simbol dari keinginannya yang begitu kuat untuk menjadi sosok yang berbeda. Seperti di kasus batu berbentuk ginjal tadi, ini pun semacam simbolisme yang ambigu, sebuah simbolisme yang di antara. Dan ada yang lebih menarik lagi. Si tokoh lain yang dipasangkan sebagai teman si lelaki itu berada pada situasi sebaliknya; ia lahir dan tumbuh di Kansai tetapi kemudian ia memutuskan untuk menjadi seorang pengguna dialek Tokyo demi beberapa alasan yang intinya ia tidak menyukai situasi yang dialaminya dulu ketika ia masih seorang pengguna dialek Kansai. Dua sosok yang bertolak belakang, namun dipasangkan sebagai teman; dan bertemunya dua sosok inilah yang, harus diakui, menjadi awal dari perubahan jalan hidup si lelaki ke depannya. Ini sendiri bisa jadi sebuah simbol. Di dalam kehidupan, yang putih dan yang hitam kerap bertemu dan mereka justru “berteman”, melebur, bahkan menyatu. Dan perubahan setelahnya adalah sesuatu yang niscaya.

___

Di cerita berjudul “UFO in Kushiro”, simbolisme serupa pun ada. Seorang lelaki mendapati istrinya tak ada di rumah di hari keenam setelah gempa hebat melanda Kobe. Perempuan itu pulang ke rumah orangtuanya di Yamagata. Ia mengemas nyaris semua barang kepunyaannya, dan meninggalkan sebuah memo yang berisi informasi—juga perintah—soal tak perlunya si lelaki menyusul dan bahwa ia akan segera mengirimkan dokumen-dokumen perceraian. Sebelumnya, selama enam hari berturut-turut, perempuan itu selalu dilihat si lelaki mengamati tayangan-tayangan berita di televisi tentang gempa Kobe dengan tingkat konsentrasi tinggi; seakan-akan, selama seharian, perempuan itu tak melakukan apa pun lagi selain menonton tayangan-tayangan tersebut.

Gempa besar di Kobe, penayangan berita-beritanya di televisi, sikap perempuan itu yang ganjil terhadap tayangan-tayangan tersebut, dan kepergian—lebih tepatnya kepulangan—perempuan itu, seperti sebuah mata rantai yang unsur-unsurnya saling memengaruhi satu sama lain, tetapi tak bisa dipastikan begitu sebab si narator, lagi-lagi, tak memberikan pernyataan yang terang-benderang akan hal ini. Pembaca hanya dibuat menduga-duga. Pembaca berada di antara dan harus merelakan dirinya terjebak dalam tarik-menarik tiada akhir antara yang simbol dan yang nyata. Sebuah ambiguitas. Sebuah simbolisme yang ambigu.

Dengan kesedihan dan kekosongan melingkupinya, si lelaki memutuskan untuk “berlibur” ke Kushiro, sebuah kawasan di Hokkaido. Ia ke sana memenuhi permintaan seorang rekan kerjanya; ia membawa sebuah kotak yang kata rekan kerjanya itu harus diserahkannya kepada seseorang di Kushiro, seorang perempuan yang kelak mempertemukannya dengan seorang perempuan lain. Hokkaido adalah pulau di bagian atas Jepang, sebuah kawasan yang dingin, dan saat itu sedang musim dingin. Maka keberangkatan si lelaki ke Kushiro, tak bisa dimungkiri, seperti simbol dari apa yang tengah dialami si lelaki di dalam dirinya, di dalam hatinya, di dalam hidupnya. Ia baru saja berpisah dengan seorang perempuan yang telah mendampinginya bertahun-tahun. Ia sedang dalam keadaan kosong, mati, dingin. Dan begitulah situasi di Kushiro, saat itu.

Di Kushiro, ia menyerahkan kotak yang dibawanya itu; sebuah kotak yang sampai cerita berakhir pun tak bisa dipastikan apa isinya; pembaca dibuat menduga-duga dan ini bisa jadi sebuah aktivitas tanpa garis finis. Memang, dari seorang perempuan yang ditemui si lelaki di Kushiro, pembaca memperoleh semacam informasi bahwa sesuatu di dalam kotak itu adalah situasi yang tengah dialami si lelaki, bahwa di detik si lelaki menyerahkan kotak itu kepada si perempuan yang satunya lagi di detik itu pula ia menyerahkan situasinya, merelakan dirinya yang tengah bersedih dan dilanda kekosongan itu lenyap dan terlupakan, sehingga ia bisa mulai menjadi dirinya yang baru, mengisi kekosongan itu dan mengenyahkan kesedihannya. Ia dan si perempuan berada di sebuah love hotel, sebuah tempat yang akan dipilih seseorang ketika ia ingin bercinta dengan pasangannya. Tapi lelaki itu tak berpikir ke arah sana; ia bahkan tak bergairah sama sekali dan ketika ia dan si perempuan telah sama-sama telanjang pun mereka tak jadi bercinta karena ia tak merasa ia ingin (dan pantas) melakukannya. Sebuah simbol dari keragu-raguan. Sebuah simbol dari kegelisahan. Sebuah simbol dari kekosongan yang coba diisi namun tak juga terisi. Khas Haruki Murakami.

Sebelum si lelaki dan si perempuan berada di love hotel itu, mereka, juga satu perempuan lain, si perempuan yang kepadanya si lelaki menyerahkan kotak misterius itu, sempat mampir ke sebuah kedai mi. Itu sebuah kedai yang cukup luas dan hangat, dan ia ada di kawasan dingin di musim dingin. Untuk bisa sampai di sana, mereka menempuh perjalanan bermobil dari bandara, dengan sebuah mobil Subaru kecil. Hal-hal ini pun bisa dilihat sebagai simbol, dengan penafsiran kurang lebih seperti ini: bertolaknya si lelaki dari bandara adalah sebuah langkah awal ia mengatasi kesedihan dan kekosongannya; perjalanan bermobil yang tak begitu terasa nyaman, adalah situasi yang harus dihadapinya untuk bisa mengatasi kesedihan dan kekosongan itu; tibanya ia di kedai mi yang hangat, adalah buah awal, sesuatu positif, yang diperoleh si lelaki dalam proses penyembuhannya; bertolaknya si lelaki dari kedai mie yang hangat itu ke love hotel yang intim-privat, adalah titik kritis yang mau tak mau akan dihadapi si lelaki dalam upaya pembebasannya itu.

___

Demikianlah simbolisme Haruki Murakami. Ia sebuah simbolisme yang ambigu, yang menempatkan pembaca dalam sebuah situasi di antara, dan ia hadir dalam satu tubuh cerita yang sama dengan sesuatu yang disimbolkannya, dan di antara keduanya seperti terjadi sebuah interaksi tarik-menarik namun tak bisa dipastikan itu benar. Dan satu hal lagi: simbol-simbol itu terlihat juga sebagai unsur-unsur bawah sadar, sehingga pergerakannya tak ubahnya pergerakan alam bawah sadar; mereka bergerak dalam upaya mengemukakan sesuatu namun pembaca harus lebih dulu coba-coba menafsirkannya dengan menghubungkannya ke realitas di cerita barulah ia bisa (sedikit) memahaminya. Sebuah tubuh cerita dengan simbol dan realitas. Sebuah tubuh cerita dengan alam bawah sadar dan alam sadar. Seperti itulah simbolisme Haruki Murakami.(*)

—Bogor, 18 Nopember 2016

– Ardy Kresna Crenata, cerpenis dan esais –

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *