Review Kumcer Gumading Peksi Kundur

Gumading Peksi Kundur

Judul:               Gumading Peksi Kundur
Penulis:            Sanie B. Kuncoro
Tahun:             Maret 2020
Penerbit:         Maysanie Foundation
Tebal:              xiv + 258 halaman
ISBN:                978-623-7258-76-6

Pelajaran Hidup di Balik Tanda

Oleh Rizka Nur Laily Muallifa

Terbitnya kumpulan cerpen Gumading Peksi Kundur (Maysanie Foundation, Maret 2020) karya Sanie B. Kuncoro menjelma obat bagi kerinduan sejumlah pembaca karya-karya penulis bersangkutan di masa silam. Konon, Sanie ialah penulis ampuh sejak belia. Dulu, cerpennya sering muncul di Majalah Anita Cemerlang, Femina, Kartini, Pesona, dan sekian surat kabar edisi akhir pekan.

Saat menempuh studi di Solo, saya bertemu dan kemudian berkenalan dengan Sanie saat ia tidak lagi rajin menulis. Ia mungkin sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Meski begitu, ia tetap rajin berkumpul dengan teman-teman penulis di Solo. Membincangkan perkara hidup sehari-hari, pelesiran kuliner, serta buku dan film yang telah dan akan dirampungkan. Sanie mengalami masa berhenti menulis, tapi tidak berhenti membaca.

Gumading Peksi Kundur terbit untuk merayakan hari jadi Sanie pada 3 Maret 2020 lalu. Tidak tanggung-tanggung, dua puluh satu cerpen terhimpun menjadi buku yang cukup tebal. Menyertai penerbitan kumpulan cerpen itu, terbit pula Bertemu dan Bertamu (Bilik Literasi, 2020). Catatan pembacaan dan pertemanan atas karya-karya Sanie.

Suara Perempuan dalam Gumading Peksi Kundur

Sanie memiliki sesuatu yang unik tiap kali mengisahkan perempuan. Sebagian besar cerpen Sanie di buku terbarunya memang bertokoh perempuan. Tokoh-tokoh justru sering hadir dari peristiwa keseharian menjadi jalinan cerita yang memikat.

Cerita tentang perempuan-korban banyak dijumpai dalam cerpen-cerpen Sanie. Meski hal tersebut juga diangkat oleh banyak penulis lain, tapi Sanie berhasil mengolah tema umum itu dengan detail-detail yang khas. Misalnya, tentang perempuan yang nekat meninggalkan rumah meskipun ia tidak berhasil membawa serta bayi yang merupakan buah hati satu-satunya. Kendatipun sebagai ganjaran, sampai dewasa anaknya akan menganggap ia sebagai ibu tidak bertanggung jawab atau malah melupakannya sama sekali.

“Dia mendengar tangisanmu yang memanggil. Selamanya seruanmu terpatri dalam ingatan. Tak hanya patah hatinya, melainkan remuk. Namun dia memilih menjadi tiang batu. Langkahnya lurus tak berpaling. Dia tahu, sekali dia berpaling padamu maka tak sanggup lagi langkahnya berlanjut, melainkan terpenjara selamanya oleh belenggu ayahmu. Belenggu yang tak pernah kau tahu.” (hlm. 11).

Perempuan berpendirian tegak demi harkat martabatnya itu bisa juga dijumpai dalam sekian cerpen lain. Alkisah, ada seorang pembatik perempuan yang memilih jalan perceraian ketika suaminya hendak menikah lagi. Justru karena cinta perempuan itu tulus dan paripurna, ia menolak membagi cintanya. Meski setelah itu, ada yang terus menganga di bagian terdalam batinnya.

Hingga suatu hari, datanglah seorang lelaki beristri meminta ia membuatkan wastra batik terbaik yang akan dihadiahkan sebagai tanda mata pemikat hati perempuan lain. Peristiwa itu tidak bisa tidak membawa ingatannya pada nasib nahas rumah tangganya. Meski sempat gamang, keteguhan sikap lelaki yang bertamu beberapa waktu silam itu toh membuat ia membatik juga. Wastra tanda mata pesanan itu diberi nama Gumading Peksi Kundur. Gumading adalah warna kuning gading yang lembut.Sementara Peksi Kundur diartikan sebagai burung-burung yang pulang.

Wastra batik itu ia ciptakan justru untuk membuat lelaki pemesan merenungkan filosofinya. Apakah ia akan tegak pada nafsunya memikat perempuan lain atau berbalik haluan. Pembaca tidak diberi tahu. Gumading Peksi Kundur akan memiliki makna berlainan ketika dipersembahkan kepada dua orang berbeda.

“Dia bisa menjadi tanpa pamit untuk mengakhiri sesuatu. Tanda untuk melepas kepulangan menuju sarang bermula. Pada pihak lain, ia menjadi perlambang yang menandai kepulangan dari perjalanan panjang.  Adalah gabar sinawur yang menjadi isen-isen, menjadikan bermulanya sebuah musim baru. Taburan benih untuk menumbuhkan kehidupan baru meninggalkan apa yang telah terlalui. Warna kuning selembut gading retak adalah perlambang kasih sayang yang senantiasa tak sempurna. Namun selama tak patah, yang retak itu tetaplah berharga.” (hlm. 34-35).

Memetik Pelajaran Hidup

Selain banyak bertokohkan perempuan-korban, cerpen-cerpen Sanie dalam Gumading Peksi Kundur juga bertabur tanda atau kiasan. Banyak pelajaran hidup dari tanda-tanda yang dihadirkan Sanie dalam cerpen. Misalnya tentang pohon randu alas, padi, kembang pepaya, dan teh. Yang terakhir ini muncul berulang-ulang karena rupanya penulis memiliki ikatan personal dan emosional bertaut teh semenjak kanak-kanak dulu.

Cerpen berjudul Secangkir Teh memberi pengisahan cukup lengkap tentang makna teh bagi tiap-tiap anggota keluarga. Nenek selalu mengawali hari dengan menjerang air untuk penyeduh teh. Teh bagi nenek adalah pengganti susu, meskipun tidak sebanding kandungan gizinya tapi cukup mengenyangkan perut sampai siang hari.

Ayah menikmati teh sembari membincangkan apa saja kepada ibu dan kemudian anak perempuan satu-satunya. Sementara tokoh ibu menggemari teh yang telah dicampur dengan es beku. Konon, es teh itulah obat pendingin yang manjur bagi segala amarah ibu. Jika teh bertaut dengan makna-makna kebaikan pada diri nenek, ayah, dan ibu, lain halnya bagi tokoh aku. Tepatnya setelah ia mendapati pesan dari kontak bernama “kekasih” di ponsel suaminya.

“Barangkali setiap orang akan memiliki harapan berbeda pada secangkir teh masing-masing. Tapi ketika seduhan teh itu dilengkapi dengan serbuk warangan, tiada lagi harapan yang tersimpan selain satu hal: sebuah penyelesaian. Dan yang secangkir itu telah ditandaskan oleh suamiku, Melewati jalan licin kerongkongan menuju lambung.” (hlm. 111)

Sementara dalam cerpen berjudul Randu Alas, sang tokoh utama nekat mempertahankan tanah di dekat areal pemakaman. Pasalnya, tanah yang di atasnya berdiri menjulang pohon randu alas itu hendak dijadikan sebagai balai pertemuan warga. Demi mempertahankan kehidupan randu alas dari ancaman penebangan itulah ia menyerahkan sertifikat rumah pembuatan batik miliknya sebagai tanda tukar guling.

“Seperti daun-daun randu alas rela gugur demi berseminya kelopak bunga merah kesumba, demikianlah kau memilih kehilangan tanah lokasi rumah batikmu demi supaya randu alas itu tetap tumbuh di mana ia berakar. Kau tahu bahwa kau lebih sanggup kehilangan harta yang kau yakini datang dan pergi tanpa kekekalan, ketimbang kampung itu beserta sejarahnya kehilangan akar tumbuhnya. Randu alas itulah akar kampung tumbuhmu, juga dirimu.” (hlm. 23).

Selepas membaca cerpen-cerpen bertema keseharian yang memikat dan khas –yang pernah terpacak di sejumlah majalah dan harian edisi akhir pekan itu, pembaca melambungkan doa. Semoga Sanie menulis lagi. Tsah!


Rizka Nur Laily Muallifa. Reporter media daring dan penulis lepas. Tulisannya pernah tersiar di Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat, Solopos, Suara Merdeka, Koran Madura, Radar Bojonegoro, detik.com, alif.id, basabasi.co, ideide.id, langgar.co, dan beberapa lainnya.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *