Ms Ice Sandwich: Mieko Kawakami, Hasrat Seorang Bocah, dan Hal-Hal yang Tak Terjawab
oleh Wahid Kurniawan
Nama Kawakami Mieko terlebih dahulu saya kenal dari novelnya berjudul Heaven (Picador, 2021). Itu karya ketiga Kawakami yang terbit dalam bahasa Inggris setelah Breasts and Eggs (Picador, 2021) dan Ms. Ice Sandwich (Pushkin Press, 2017). Dari ketiga karya itu, novelanya yang kali pertama rilis ke publik internasional, yaitu Ms. Ice Sandwich justru menjadi karyanya yang terakhir saya baca. Sebagai karya debut, novela itu sebenarnya tidak terlalu membuat nama Kawakami melambung, mengingat karyanya yang hits justru novel “Breasts and Eggs”. Namun, novela ini tetap menarik, terutama bagi mereka yang ingin mengenal corak cerita Kawakami dan masih enggan membaca dua karya lainnya yang cukup panjang.
Mengingat jumlahnya hanya 60-an halaman, novela ini memang bisa dibaca sekali duduk. Kisahnya sendiri tidak kelewat berat, ditambah pula penggunaan bahasa yang sederhana. Bagi saya, dua kecenderungan itu sejalan dengan kisah dari novela sendiri. Bahwa kisah yang tak berat, diperlukan mengingat novela ini mengisahkan seorang bocah berusia enam tahun yang tertarik kepada seorang perempuan penjual roti lapis di sebuah minimarket. Dan bahwa penggunaan bahasa yang sederhana, diperlukan mengingat narator dari kisah ini adalah si bocah yang, tentu saja, kalau mengikuti logika nyata kita, mereka belum terlalu mampu merangkai kalimat-kalimat yang kompleks. Adapun soal kisahnya sendiri, lebih jauh lagi, novela ini menampilkan sisi lain dari kehidupan kanak-kanak yang cerewet, serba penasaran, tetapi masih terlingkupi batasan dan aturan.
Begini, di dalam kisah, bocah itu tak bernama. Ia hanya tinggal dengan ibunya yang membuka usaha salon dan nenek dari ayahnya yang menderita sakit serta tak kuasa pergi ke mana-mana. Hubungan dengan ibunya biasa saja, tetapi dengan sang nenek, si bocah lebih merasa nyaman sebab ia bisa menceritakan banyak hal kepadanya kendati ia tidak mendapat respons apa pun. Selain dua figur itu, lambat-laun, si bocah juga dekat dengan teman sekolahnya yang bernama Tutti (nama temannya itu diambil dari ejekan saat ia ketawan kentut di kelas). Si bocah tipe anak yang tak banyak bergaul, temannya hanya Tutti, dan ia memiliki hobi menggambar. Dari kehidupannya yang tampak biasa-biasa saja itu, ada satu hari saat ia melihat seseorang perempuan di minimarket yang mencuri hatinya. Apakah itu perasaan cinta pertamanya? Bagi saya, agak konyol menduga bahwa sosok perempuan itu menjadi cinta pertamanya mengingat ia masih kelewat muda dan, penggambarannya saat menjelaskan perempuan itu lebih tampak seperti kekaguman terhadap seseorang yang mencuri perhatiannya.
Sementara itu, sebenarnya, sosok perempuan itu pun tidak spesial-spesial amat. Ia hanya seorang penjaga stand roti lapis biasa, bicara seperlunya kepada pelanggan, dan yah, agak pendiam. Namun, entah bagaimana caranya, ada sesuatu yang membuat si bocah penasaran dan mencuri perhatiannya, terutama penampilannya yang unik dengan celak biru terang di matanya. Oleh sebab itu, tidak satu-dua kali si bocah pergi ke minimarket hanya demi melihat si perempuan dengan dalih membeli roti lapis. Kekaguman itu pula yang menjadikan si perempuan sebagai model dan inspirasi menggambar bagi si bocah. Saking kagumnya, si bocah senantiasa menceritakan tentang hari bertemunya ia dengan si perempuan kepada sang nenek. Si bocah bercerita sembari menggambar sketsa perempuan itu.
Awalnya, kisah ini memang terkesan datar-datar saja. Saya sendiri hampir menutup novela ini di halaman-halaman awal. Akan tetapi, ada keasyikan khusus begitu tiba pada satu adegan si bocah yang pergi menonton film tembak-tembakan di rumah temannya, Tutti. Si bocah sebenarnya tidak terlalu suka film tersebut, tetapi ia seolah antusias saat temannya memperagakan adegan tembak-tembakan dengan asyik dan ia mau tak mau ikut-ikutan juga. Hal lucu lainnya, begitu tiba saat si bocah pamit dan temannya bilang “El-Pacino!”, si bocah mengira itu salam perpisahan dan melambaikan tangan sambil mengucapkan kalimat serupa. Padahal, itu nama dari karakter film yang baru saja mereka tonton. Namun, nama itu justru terus dipakai oleh mereka, kesan bahwa itu salam perpisahan yang unik membuat mereka menggunakannya tiap kali berpisah.
Sejak adegan itu pula, novela ini seperti menampilkan belangnya. Ada beberapa hal yang membekas di benak saya setelah menyimak adegan-adegan selepas adegan nonton film itu. Salah satunya, adalah adegan yang menunjukkan ketidakmampuan si bocah sebagai seorang anak kecil. Dikisahkan, suatu hari Ms. Ice Sandwich diomeli pelanggan dengan kata-kata yang kasar, lalu disusul ia digosipi terkait penampilannya yang tidak menawan dan agak aneh itu. Mendapati hal itu, si bocah peduli dan ingin membantu, tetapi ia tidak berdaya dan tidak terlalu memahami apa yang terjadi. Maka malam harinya, ia menuliskan hal-hal yang didapati dengan, “Satu, semua orang bilang hal-hal buruk tentang Ms. Ice Sandwich. Dan itu semua tentang wajahnya. Dua, aku mendengar mereka mengatakan itu, tapi aku tidak bisa menyangkalnya. Dan itu terjadi kedua kalinya.”
Ketidakberdayaan itu, sayangnya, terus bertahan sampai akhir kisah. Si bocah digambarkan tidak mampu membantu Ms. Ice Sandwich kendati dalam hal sekecil menyanggah anggapan orang-orang atasnya. Namun, hal itu tidak menyurutkan kekaguman si bocah sebab ia tetap menjadikan Ms. Ice Sandwich sebagai karakter inspiratif yang digambar dalam sketsa-sketsa yang dibuatnya. Sayangnya lagi, ada momen perpisahan yang terjadi antara si bocah dengan perempuan itu. Momen ini berhubungan dengan kepergian Ms. Ice Sandwich keluar kota. Si bocah merasa sedih dan ingin mengucapkan selamat tinggal. Adegan saat ia menunggu di minimarket demi menyampaikan salam perpisahan itulah yang menjadi adegan lain yang mengharukan bagi saya.
Sebab, sebelum tiba pada keputusan itu, si bocah mengalami kebingungan terlebih dahulu mengingat setelah adegan kemarahan pelanggan itu, Ms. Ice Sandwich tidak pernah lagi terlihat di minimarket. Ke mana dia? Si bocah bertanya-tanya, kemudian ia beroleh jawaban kalau Ms. Ice Sandwich tidak bekerja lagi di sana, tetapi ia bisa menemuinya beberapa kemudian saat perempuan itu mengemasi barang-barangnya. Si bocah pun membulatkan tekad akan memberi salam perpisahan dan memberikan hasil sketsa-sketsanya. Lalu, apakah si bocah berhasil bertemu dengan Ms. Ice Sandwich dan dapat memberikan hasil sketsanya kepada perempuan itu?
Sepertinya, pertanyaan itu saya biarkan menggantung saja sebab alangkah baiknya kalau pembaca lain yang menemukan sendiri jawabannya. Yang pasti, sejak adegan itu didapati oleh saya, pengalaman membaca novela Kawakami ini tidak lagi menjadi parade narasi yang monoton dan datar. Rupanya ada emosi yang terbagikan dari novela ini. Yaitu, soal kepolosan seorang bocah yang baru memiliki hasrat akan seseorang atau sesuatu hal, tetapi terkendala batasan yang ia miliki sebagai seorang anak-anak. Apakah kepeduliannya itu sesuatu yang alami? Kalau iya, dan mungkin hampir semua anak-anak memiliki kecenderungan seperti yang ditampilkan bocah itu, betapa masa kanak-kanak sebenarnya tidak melulu berkaitan dengan kesenangan semata. Semesta yang dilihat anak-anak tidak hanya berhubungan dengan permainan, tetapi juga soal membagi rasa peduli atas seseorang atau sesuatu hal.
Menyadari hal itu dalam kisahnya, saya menutup karya tipis Kawakami Meiko ini dengan senyuman sekaligus pertanyaan: Seberapa jauh kita mengetahui tentang dunia kanak-kanak? Kisah di dalam novela ini memang ringan dan sederhana, tetapi bagi saya sendiri, dari kesederhanaanya itulah ia membentangkan hal-ihwal yang tak langsung bisa terjawab, bahkan oleh saya yang sudah menginjak usia dua puluhan ini. Begitu.
Tentang Penulis
Wahid Kurniawan, asal Tanjung Bintang, Lampung Selatan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia. Akun media sosial : IG; @karaage_wahid
2 Comments