Cerpen: Venesia

Cerpen ini menempati urutan 4 dalam lomba menulis cerpen bertema Perayaan Masa Depan yang diselenggarakan oleh Shira Media.

Venesia

K mematikan televisi. Bosan sudah ia dengan kalimat-kalimat dari para narasumber yang membincangkan tema “Bagaimana Nasib Indonesia 20 Tahun Mendatang”.

Semuanya klise. Tidak ada yang baru. Dua puluh tahun lalu, ia menonton acara yang sama pada jam yang sama dengan tema yang sama dan isi perbincangannya pun kurang lebih sama. Nasib Indonesia 20 Tahun Mendatang ditentukan oleh kepemimpinan yang baik dan benar. Lalu setiap narasumber mengajukan calon pemimpin yang mereka idam-idamkan, partai pengusungnya, dan bagaimana nanti pada pemilu, jangan sampai tergiur politik uang. Alamakjang!

Besok K harus berangkat ke kantor. Kantornya di Jakarta Pusat, sedangkan K tinggal di Bogor. Dulu, K naik KRL sampai ke Juanda. Namun sekarang, KRL hanya berhenti sampai Manggarai. Setelah itu, K harus berganti moda transportasi air.

Ya, Jakarta tenggelam.

Mimpi jadi Venesia baru itu akhirnya terlaksana 10 tahun lalu. Reklamasi di utara Jakarta membawa bencana tak terduga. Dimulai dengan gempa bumi yang tiba-tiba menurunkan permukaan tanah (yang tentu penjelasan ilmiahnya tak akan dijelaskan di dalam cerita ini), air laut berduyun-duyun datang memenuhi kota. Untungnya, kecepatan arus air tidak sama dengan kecepatan tsunami di Aceh. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Semua warga berhasil menyelamatkan diri.

Hebatnya, ketika air sudah tenang (baca: menggenang), warga Jakarta kembali lagi ke rumah-rumahnya dan menolak pindah.

“Kami sudah terbiasa dengan banjir, bahkan sebelum kami dilahirkan,” ucap Narasumber A.

“Kami tidak mau ke pengungsian. Di sana, nanti kami cuma makan mi instan. Kata Mama, tidak baik terlalu sering makan mi instan. Bahaya. Usus saya bisa keriting. Bukan cuma itu, kebanyakan makan mi bikin titit saya kecil!” ucap Narasumber B.

Sebagai pemerintah yang baik, kantor pemerintah tetap bertahan di ibukota, mengikuti pilihan rakyatnya. Rencana pemindahan ibukota ke Palangkaraya dibatalkan. Setelah masa konsolidasi dan adaptasi dengan keadaan air yang tidak kunjung surut, gedung-gedung dimodifikasi dengan sedemikian rupa sehingga bisa digunakan. Air bisa dikurung dalam wilayah tertentu (sejarah dan teknis mengenai perombakan gedung dan tata kelola air bisa disimak di Majalah Jakarta Vol. 6 Nomor III Tahun 2028).

Keesokan harinya, kereta sudah menunggu K di Stasiun Bogor. Pemandangan yang sama setiap hari kerja harus K saksikan begitu K masuk gerbong. Kepadatan yang sama. Orang-orang duduk memakai masker dan berpura-pura tidur agar tidak dipaksa menyerahkan tempat duduknya. Orang-orang berdiri dan langsung bermesra-mesraan dengan ponselnya. K paham alasan banyak orang lebih dekat ke ponsel. Ponsel-ponsel itu tidak pernah menolak disentuh, sedangkan para kekasih banyak maunya.

Dunia dalam 20 tahun tidak begitu banyak berubah. Karakternya. Budayanya. Teknologinya. Semua itu dipicu oleh kekolotan kepemimpinan Donald Trump di Amerika.

 

~

 

Turun di Manggarai, K harus mengantre untuk menaiki kapal. Di depannya, seorang perempuan tampak kepayahan memegang gulungan karton dan papan tulis mini. Perempuan itu berbadan mungil, rambutnya dikuncir, mengenakan kemeja kotak-kotak. Tidak ada yang istimewa.

Jiwa maskulin yang dimiliki K menghasilkan rasa iba. Ingin rasanya K menolong membawakan papan tulis mini yang lebih lebar dari lebar tubuh perempuan itu. Namun, di stasiun, segala hal bisa menjadi lebih sensitif. Tawaran pertolongan bisa dianggap seksis. Dalam KUHP yang baru direvisi 19 tahun yang lalu, seksisme termasuk kejahatan. Pidana umum. Sama sifatnya dengan pasal penghinaan presiden dan kumpul sejenis. Bisa diproses tanpa perlu menunggu adanya pelaporan.

Namun, K percaya takdir. Papan tulis itu jatuh dari dekapan si perempuan, merebah ke dekat kaki K. K tak melewatkan kesempatan itu. Ia memungut papan tulis itu dan segera menyerahkannya.

Perempuan itu tersenyum. Namun, ia tak berkata apa-apa.

K masih percaya takdir. Takdir yang ia percayai itu menempatkan K dan si perempuan dalam satu kapal. Duduk bersebelahan pula. Lebar papan tulis yang lebih lebar dari tubuh si perempuan menyebabkan ada bagian papan tulis yang memakan tempat di depan K. Mau tak mau, si perempuan kembali tersenyum, dan kali ini mengucapkan dua patah kata, “Maaf ya….”

“Tidak masalah,” jawab K.

Kapal mulai melaju pelan. Rasa iba K kini bercampur dengan rasa ingin tahu.

Hati-hati, K memulai percakapan.

“Kamu mau ke mana dengan papan tulis itu?” ucap K.

Perempuan itu menoleh ke K, mengamati K lebih dalam sebelum memutuskan menjawab, “Istana.”

“Istana Negara?”

“Iya, selain Istana Negara, ada istana apalagi di Jakarta?”

“Tamu presiden dong?”

“Tidak. Saya hanya akan berada di depan Istana Negara saja. Tidak masuk.”

Hari itu Kamis. K mengingat sesuatu. Aksi Kamisan. Tiga puluh tiga tahun yang lalu, seorang aktivis kemanusiaan mati dibunuh di atas pesawat. Ia diracun. Kematiannya penuh misteri dan tak pernah terungkap siapa dalang sesungguhnya atas pembunuhan tersebut. Dua atau tiga tahun kemudian, sekelompok orang memulai aksinya memprotes pemerintah dengan aksi diam setiap Kamis sore. Aksi itu rutin dilakukan hingga sekarang. Karena kawasan istana juga terdampak genangan, mereka sengaja menyewa perahu dan memarkirkan perahunya di tempat khusus yang sudah disediakan untuk demonstrasi, lalu melakukan aksinya dengan berdiri di atas kapal. K berpikir si perempuan ini adalah salah satu peserta aksi tersebut.

“Aku tak menyangka perempuan semuda kamu setegar itu untuk berada di depan Istana Negara…” ujar K.

“Maaf, bukannya saya marah atau apa, maksud kalimat Anda itu apa dengan kata perempuan dan semuda. Apakah perempuan dan semuda adalah sebuah ukuran ketegaran?”

“Oh, bukan maksud saya…. Maaf, ya?”

Kemudian hening.

Kapal melaju melalui rute yang sama dengan rute KRL seharusnya. Dari Manggarai ke Cikini, dari Cikini ke Gondangdia, lalu melintas langsung di Gambir sebelum berhenti di Juanda. Dari Juanda, K akan melanjutkan perjalanan dengan perahu yang lebih kecil menuju Budi Utomo.

Perempuan itu juga turun di Juanda. K baru sadar, ia belum tahu nama perempuan itu.

K sadar, satu hal yang berubah pada zaman ini adalah nama tak begitu penting. Orang-orang tak butuh tahu atau saling mengenal satu sama lain. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Kesibukan itulah yang membuat orang-orang memanggil dirinya hanya dengan K. Karena kebiasaan pemanggilan nama itu, kini K sendiri pun lupa nama aslinya. Ia tidak bisa mengecek namanya di KTP. Tepatnya, ia tidak lagi punya KTP. Sejak ada perubahan KTP menjadi KTP elektronik dua puluh tahunan lalu, K tidak kunjung menerima kartu identitasnya itu. Dua puluh tahunan, K merasa gagal mengurus identitasnya sendiri.

Jam dinding di pemberhentian kapal itu masih menunjukkan pukul delapan pagi kurang sedikit. K baru menyadari perempuan tadi tak mungkin ke aksi kamisan.

Semacam kesadaran menyambangi K. Dua puluh tahun lebih sudah K berada di Jakarta. Selama itu pula, K terjebak dalam rezim anti pikiran. K masih ingat betul mula-mula dari rezim itu adalah kewajiban izin ke Kementerian Dalam Negeri bila hendak melakukan penelitian. Sejak saat itu, tidak ada lagi penelitian yang independen. Tidak ada lagi akademisi yang independen. Mister R, yang dijuluki Bapak Logika Indonesia, dipenjara seumur hidup. Tiga tahun lalu ia meninggal dunia, dan tidak ada yang melayatinya. Banyak orang sudah lupa.

Ya, orang-orang zaman ini adalah orang-orang yang pandai melupakan.

Akademisi yang tidak independen (begitulah keyakinan K) mula-mula mengatakan bahwa vetsin (baca: micin) tidak berbahaya. Vetsin tidak ada hubungannya dengan menurunnya tingkat kecerdasan. Karena itu, orang-orang yang mula-mula terhina disebut generasi vetsin menjadi bangga atas julukan tersebut.

Kini, iklan vetsin di mana-mana.

Klasifikasi generasi menjadi:

  1. Baby Boomers. Kelahiran 1960 ke bawah.
  2. Generasi X. Kelahiran 1961-1980.
  3. Generasi Y/Generasi Milenial. Kelahiran 1981-2000.
  4. Generasi Z. Kelahiran 2001-2010.
  5. Generasi Alpha. Kelahiran 2001-2020.
  6. Generasi Beta. Kelahiran 2021-sekarang.
  7. Generasi Vetsin—tidak terikat dengan tahun kelahiran. Setiap orang berhak menjadi Generasi Vetsin, dengan ciri utama tidak merasa makanan enak kalau tanpa dibubuhi vetsin.

Tokoh kita, K, termasuk generasi milineal. Generasi milineal seperti fosil dinosaurus pada zaman sekarang. Sebagai generasi milenial, K sangat membenci vetsin. Ia selalu teringat pesan ibunya, bahwa vetsin bikin bodoh. Vetsin juga bikin orang jadi banci.

K merasa pedih mengingat kejadian dua puluh tahun lalu. Tepat setelah kejadian tenggelamnya Jakarta, Pemerintah juga memasukkan pasal penghinaan terhadap vetsin dalam delik pidana umum dalam KUHP. Ibu tokoh kita yang tersayang termasuk yang diciduk gara-gara menuliskan ketidaksukaannya terhadap vetsin.

            (Sayangnya, dalam cerita ini kita tidak akan membahas lebih panjang tentang tokoh kita, K, karena hanya akan bikin pembaca bosan).

            Sesampainya di kantor, K segera menyalakan televisi. Barangkali ada bahasan yang lebih menarik dari Bagaimana Indonesia 20 Tahun Mendatang?

Mula-mula K menyimak rangkuman berita sepakbola. K sudah melakukan hal itu sepanjang hidupnya. Sepakbola tetap digemari mayoritas manusia. Tiba pada berita bola nasional, Persija kembali harus mengakui keunggulan lawannya, Sriwijaya FC. Meski bermain sebagai tuan rumah, Persija tidak benar-benar bermain sebagai tuan rumah. Tapi, K tidak heran. Persija sudah kehilangan markasnya, bahkan sebelum Jakarta tenggelam.

Keasikan K menyaksikan berita bola itu tiba-tiba harus terganggu. Breaking News (catatan: pada masa ini, breaking news berarti semua stasiun televisi menayangkan berita yang sama tanpa terkecuali). Seorang perempuan baru saja ditangkap aparat keamanan di depan istana negara. Ia dengan tegar mengangkat papan tulis yang lebih lebar dari tubuhnya. Karton-karton ia kambangkan di sekitar kapalnya. Tulisan itu sekilas tak bermasalah, “Selamatkan generasi kami dari vetsin!” (Ditulis dengan spidol warna merah).

Setelah terpampang wajahnya secara jelas, K baru menyadari perempuan itu perempuan yang ditemuinya tadi. K pun menyaksikan berita itu sampai habis dan hasilnya, ia hanya merasa kesal. Sampai akhir, tak sekali pun, pembawa berita menyebutkan nama perempuan itu.

Pasti karena perempuan itu punya nasib yang sama dengannya, kartu identitas barunya belum jadi-jadi juga!

 

(2018)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *