Seorang Insinyur di Puncak Bukit
“Ya. Sejuta jembatan akan melintasi sungai-sungai
dan lembah ini. Tangan kita akan menyambungkan
rel-rel kereta api dalam perut gunung. Langkah besi
akan mempersingkat jarak antara mimpi dan kenyataan.
Saatnya sudah tiba kita menantang matahari
untuk meletakkan petaruh yang penghabisan
Bahwa Masadepan adalah Esokhari, atau sejarah
akan meninggalkan kita untuk selama-lamanya.”
Demikian katamu, insinyur muda. Saya pun siap
di sampingmu; karena ada bukit-bukit batu yang tak kaulihat
jurang wasangka, kepicikan, tebing-tebing karang
yang hanya dapat diledakkan dengan kata-kata.
1969
Sumber: Nyanyian Tanah Air (Grasindo, Jakarta, 2000)
Sang Penyair
Sepi telah memanggilku untuk mengembara
di batas kini dan nanti, malam dan pagi;
mendengar bintang bernyanyi, bulan bermimpi.
Sunyi memanggilku berangkat seorang diri:
Melintas cakrawala dan masuk ke negeri asing
untuk menabur kata dari kandungan kalbu:
Benih-benih pengalaman berkecambah dalam gelap
di seberang fajar, wilayah belum berkabar.
Hening membuka ruang serba makna
yang lenyap dari hingar dunia;
bagai titik embun yang mengendap di udara
setetes demi setetes jatuh menyegarkan rohmu.
1987-1989
Sumber: Nyanyian Tanah Air (Grasindo, 2000)
Berulang Kali
Depan cermin dahsyat Sejarah, tak sehelai kain
dapat menutup ketelanjangan kita
Makanan bubuk
segala pakaian kebesaran dan topeng sandiwara!
Namun berulangkali kita rebut peran para dewa
Sambil menyumbat telinga dengan cumbu
dari mulut sendiri, kita ludahi nisan para leluhur
yang dari Kerajaan Maut berseru senantiasa.
Berulangkali menolak wajah sendiri
kita pukul kaca jernih Sejarah
berantakan. Lalu dengan buta-tuli dan luka-luka sempoyongan
tunggang-langgang ke arah Masadepan.
1963
Sumber: Horison, Thn. V, No. 6, Juni 1970
Bandung
1
Ada seribu satu alasan untuk meninggalkan rumah
: Padang terbuka di kaki langit atau biru laut
Gelombang demi gelombang membuka cakrawala.
Lalu kau pun berkata: Alangkah pengapnya kota!
Saatnya tiba menghapus resah dan masa lalu
: Menghapus kota dari peta hidupmu. Saatnya tiba
Melupakan batas-batas dan jadi warga dunia!
Tak ada kota, katamu, bumilah tempat tinggalku.
Sampai di suatu saat, di suatu tempat di tanah asing
Seseorang menyebut nama itu, nama kota itu
Bagai ujung belati suatu tusukan menembus ulu hati
Kau pun mengaduh dan mengerti arti kata rindu.
2
Para pengembara berkata: Kita ini warga kemanusiaan
Mengapa kau mengurung dirimu dalam sebuah kota?
Negeri-negeri sudah kehilangan batasnya dan langit
Dibentangkan bagi semua sayap, bagi semua harap.
Di negeri asing pun hutannya hijau dan senyum gadis
Sama-sama kesumba. Bentang layar yang lebih lebar
Julang anjung yang lebih akbar! Dermaga berjuluran
Dari segala pelabuhan, menjanjikan petualangan.
Tinggalkan kota dan masa lalu! Kata mereka. Tetapi
Kemarin akan terbawa dalam esok hari dan kau
Tak mungkin melarikan diri dari dirimu sendiri
Dari kota yang jalannya uratmu, udaranya nafasmu.
Sumber: Nyanyian Tanah Air (Grasindo, 2000)\

Surat Bertanggal 17 Agustus 1946
Kami sambut fajar kami dengan cara tersendiri:
Tenggorok perunggu serak memaki-maki angkasa hitam
yang gemetar atas bumi karat dan rongsokan
tempat tulang-tulang abad lampau rapuh oleh asin air mata.
Hari ini pemuda-pemuda mengganti hati mereka dengan baja
Agar bisa tidur berbantal batu dan berselimut angin
Sedang bagi gadis-gadis kami hadiahkan mawar api
Kembang di ujung senapan, bau mesiu alangkah wangi!
Dengar! Lidah-lidah api memanggil di malam sepi,
berdentam, berdesing!
Kami pun ke luar, membajak Tanah Air dengan sangkur telanjang
Menyiramnya dengan darah, memupuknya dengan serpihan daging,
karena langit hanya menghujankan api dan besi, api dan besi.
1965
Sumber: Nyanyian Tanah Air (Grasindo, 2000)
2 Comments