LUKISAN NASIONALISME DI DADA SEORANG IBU
ibu terus tersenyum, di antara kepul asap tungku
antara gerak pelan tangan mungil yang menyorong kayu
ia menyimpan restu dan nawaitu—kandil kecil bersumbu serat bungsil
dinyalakan di mimbar dadanya yang liat bata untuk kamar pusaka
yang bernama Indonesia:
“jayalah selalu kamar surga yang melindungiku
dari tikam cuaca dan rajam petaka,” ucap ibu dengan
lipat bibir semringah, upaya meliput apa yang pecah dengan hati yang tabah
usai ujung benang yang kusut, telaten ia tata kembali dengan jari yang suci
mengeriput elegan di lubang jarum sulam—titipan mendiang pahlawan
setusuk akan merupa renda, setusuk biar jadi gambar bunga di gorden merah putih
di kamar pusaka yang ibu sebut Indonesia.
“aku yakin Indonesia akan baik-baik saja,” ucapnya kemudian, dalam linang peluh
yang membutir, jatuh ke sisa minyak goreng di lepek kusam—tempat
bertahun mewadahi harapan, “duh! kenapa kau jatuh ke minyak ini?
apa kau tidak tahu hari ini minyak harus diambil di surga?” kesalnya sebentar,
tapi lalu ia kembali tersenyum, untuk suatu rasa yang lebih merona dari segala bunga
karena semua yang dianggap luka dibasuh mengering oleh rasa merdeka
itulah sebabnya ibu tetap terus tersenyum
meski hanya dengan kandil kecil bersumbu serat bungsil
dalam mimbar dadanya, yang dinyalakan di kamar pusaka tercintanya
yang ia sebut Indonesia.
Rumah Filzaibel, Mei 2022
DARI JAKARTA KE KALIMANTAN
ibu kota lama dengan keriput wajah tuanya
di garis sintas bertemu batas
gigil dan gempil dalam segumpil dakhil
—denyut hidup dan nadi sejarah di dalamnya
segera dilipat waktu pada kenangan tak berpintu
; berlalulah jejak dan rindu,
matahari karam dalam biografi masa lalu
dan segala yang dahulu
telah purna menyusu kepada ibu
ibu kota baru dalam solek belia
di depan datar cermin milenial
yang memantulkan seribu macam banyangan
menuntut dada menaburi petak-petaknya
dengan benih cita dan cinta
—di depan roda zaman yang berputar menuruti hukum gravitasi
ada bentang jalan banyak cabang
banyak kemungkinan
untuk ditempuh hanya dengan satu keyakinan.
Sumenep, Mei 2022
KITA MERANGKAK SAMBIL BERSORAK
Di Mandalika, setelah hujan merampung jejaknya
pada garis telapak tangan seorang pawang wanita
beribu warta menatah buana—ada yang beda dalam diri kita
untuk banyak anggukan yang runut pada ucap iya
di balik beberapa yang mungkin mengernyitkan dahi
dalam bayangan nisbi dan alibi
ada yang bilang kita masih bayi yang belajar merangkak
tapi meski bayi, kita sudah sering bersorak
pada degup yang bukan jantung
pada letup yang melahirkan hidup
—semua yang hanyut menghilir ke muaraku dan muaramu
tak lepas dari garis hulu para pendahulu
yang ada kalanya mencintai alam dengan cara tak bisa dipandang
sebagaimana pawang hujan mengikat tali persahabatan
dengan awan—sejauh harapan masih bisa ditumbuhkan
dari yang selain hujan.
Gapura Timur, Mei 2022
A. Warits Rovi, lahir di Sumenep, 20 Juli 1988, karya-karyanya dimuat di Kompas, Tempo. Jawa Pos, MAJAS, dll. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok dan Tongkat Kayu” (Basabasi Yogyakarta, 2018). “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi Yogyakarta, 2020). Buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesepian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” terpilih sebagai pemenang II di Pekan Literasi Bank Indonesia, 2020. Juara I Lomba Cipta Puisi Nasional Tulis.me, 2021. Juara I Lomba Cipta Puisi Hari Bumi tingkat nasional FAM 2017. Juara II Lomba Cipta Cerpen ICLaw Green Pen Award 2019. Juara II Lomba Cipta Cerpen Remaja tingkat nasional FAM 2016, dll. Juara II Lomba Cipta Cerpen nongkrong.co, 2021. Kini aktif di Komunitas SEMENJAK. Berdomisili di Dusun Dik-kodik RT. 007 RW. 002 Desa Gapura Timur, Kec. Gapura, Kab. Sumenep.
Puisi ini diikutsertakan dalam lomba menulis puisi. Silakan kirimkan karyamu!