Motor Terbang

Baiklah, sekarang aku mengerti bagaimana seharusnya cerita ini dimulai. Percaya atau tidak, itu terserahmu.

Kemarin, aku melihat dua benda melayang di langit Mantar. Ketika semua orang terpaku pada pemandangan puncak Rinjani yang diselimuti cahaya keemasan, aku menoleh ke arah sebaliknya. Di balik bukit, dua benda naik pelan-pelan. Aku pikir ada yang salah dengan mataku. Kupicingkan mata, dan lebih jelas dua benda itu seperti sepeda motor.

Secara literal, melayang berbeda dengan terbang. Aku pernah melakukan percobaan telur melayang di dalam gelas. Mula-mula tuang air hingga setengah penuh, lalu beri garam secukupnya, aduk hingga larut. Tuangkan lagi air hingga memenuhi gelas. Baru masukkan sebutir telur ke dalamnya. Telur akan melayang tepat di tengah gelas. Melayang adalah soal massa jenis. Air garam memiliki massa jenis yang berbeda dengan air biasa. Sementara terbang adalah soal aerodinamika.

Aku ingin teriak, tetapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku menoleh ke arah yang lain, mencari teman-temanku, tetapi aku melihat pemandangan lain yang tak ingin kusaksikan. Nacinta tengah memeluk mesra Pangestu. Masing-masing satu tangan mereka memegang tongsis dan membiarkan latar belakang matahari terbenam mendoakan kisah cinta yang tengah mereka jalin.

Hatiku seperti ditusuk-tusuk cahaya senja membayangkan betapa sebenarnya aku mencintai pacar sahabatku sendiri. Dan rasa sakit itu menyingkirkan ribuan pertanyaan tentang dua benda yang kulihat itu.

“Jangan sampai ada barang yang ketinggalan!” seru Komandan Sajidin.

Aku mengemasi barang-barangku dengan payah. Entahlah, kenapa menyusun baju-baju kotor ke dalam tas selalu lebih sulit. Tas lebih menggelembung dan melihat keadaan itu aku semakin emosi dengan menjejalkan secara paksa segala yang belum kumasukkan.

Nacinta dengan cekatan membantu Pangestu membereskan barang-barangnya. Melihat hal itu, aku semakin cemburu.
Menuju Mantar, kami naik motor beramai-ramai dari Sumbawa Besar, menempuh jarak kurang lebih 120 km. Kemudian motor kami titipkan di rumah warga sebelum menyewa mobil yang secara khusus membawa penumpang naik ke Mantar dengan sudut elevasi jalan lebih dari 45 derajat. Ditambah lagi jalannya tidak mulus, berbatu-batu, dan tidak memiliki pelindung di bahu jalan. Sekali terpeleset, salah mengegas, kita bisa langsung terjun bebas ke jurang-jurang. Sekarang, pulang berarti perjalanan akan begitu menukik. Aku bayangkan kata menukik itu seperti burung elang yang sedang terbang tiba-tiba melihat seekor ayam, kemudian menyambarnya.

“Pernahkah burung-burung terbang bertabrakan?” Tercetus begitu saja pertanyaan itu kepada Randal Patisamba. Randal Patisamba menatapku heran.

“Pernahkah pesawat-pesawat terbang bertabrakan?” Aku ganti pertanyaanku.

“Belum. Belum kudengar tuh pesawat bertabrakan. Kecuali perang… atau pengemudinya mabuk mungkin?” jawab Randal sekenanya.

“Pengemudi? Pilot maksudmu?”
“Ya lah, pengemudi pesawat disebut pilot, pengemudi kapal laut disebut nakhoda, pengemudi kereta disebut masinis, pengemudi mobil disebut sopir. Sama-sama pengemudi.”
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa pesawat-pesawat tidak bertabrakan?”
“Kenapa ya?” Karena langit luas, pesawat sedikit… mungkin.”
“Bahkan dalam jalan yang sepi, mobil-motor bisa bertabrakan?”
“Nah itu, karena di langit tak ada jalan.”

Di langit tak ada jalan. Jalan-jalan raya di Indonesia kebanyakan tidak layak. Sepanjang Sumbawa Besar-Sumbawa Barat saja jalan-jalan rusak. Padahal setiap tahun ada perbaikan jalan, tetapi setiap tahun pula jalan itu rusak kembali. Aku pernah bertemu seorang kontraktor yang berdalih jalanan rusak karena penganggarannya tidak mencukupi. Jalan di Alas misalnya, sangat tidak stabil dan membutuhkan konstruksi jalan lebih dalam dan hal itu perlu biaya yang lebih. Namun, APBN terbatas dengan target sekian kilometer pengerjaan. Mau tidak mau, para kontraktor menyanggupi dengan pengerjaan yang minimalis.

Jalan-jalan yang rusak itu berbahaya. Jalan-jalan yang bergelombang, apalagi berlubang, tidak bersahabat dengan kecepatan kendaraan. Suatu sore, aku pernah bermotor di Lombok Timur dengan temanku. Hari hujan, kami jalan dengan kecepatan yang cukup hati-hati. Di tengah jalan, kami hampir saja mengalami kecelakaan. Motor yang kami kendarai mengenai lubang sehingga sempat oleng. Apalagi jalanan teramat licin. Untunglah, keseimbangan temanku itu cukup kokoh. Ketika motor hilang keseimbangan, ia tidak panik dan dapat mengendalikannya. Kubayangkan jika aku jatuh, kepalaku akan pecah karena aku tak memakai helm. Syukurlah hal itu tidak terjadi. Hanya ban motor depan yang pecah dan kami harus menuntun motor itu bergantian hinga sampai ke bengkel.

Sejak saat itu aku berjanji akan selalu memakai helm. Aku tak dapat membayangkan lubang-lubang di jalanan dapat dengan mudah mencabut nyawa seseorang.
Sementara lubang di dadaku tidak tahu kapan akan mencabut nyawaku.
“Apa yang kamu pikirkan, Phi?” tanya Randal Patisamba.
“Kau pernah kecelakaan?” tanyaku.
“Ya. Sampai patah rahang.”
“Apakah patah rahang lebih sakit dari patah hati?”
“Aku tidak pernah patah hati. Aku tak mau patah hati. Tapi aku lebih tak ingin patah rahang lagi.”

Aku juga tak bisa membayangkan bagaimana rasanya patah rahang. Dia bercerita panjang lebar mengenai kondisinya saat sebelum operasi dan hal itu membuatku ngilu.

“Yang sulit bukanlah menahan sakit tak terperi dari rahangku… meski itu sangat sakit sekali… melainkan betapa lama aku harus menunggu kejelasan statusku. Bayangkan, pertama, pihak jaminan kesehatan harus mendapat cukup bukti kalau aku benar-benar kecelakaan. Setelah itu, aku harus menunggu dokter spesialis tulang satu-satunya datang untuk menilai kondisiku. Tiga hari aku hanya diberi obat penahan rasa sakit. Tiga hari aku diberi harapan akan segera operasi. Namun, ketika dokter datang, ia menyatakan tak sanggup mengoperasiku. Aku harus dirujuk ke Mataram. Dan aku harus menunggu jadwal ambulans yang bisa mengantarku ke Mataram. Di Mataram pun, rakyat miskin dengan jaminan kesehatan sepertiku harus dibuat menunggu jadwal operasi. Kamu tahu, Phi… perasaan menunggu dan diabaikan itu lebih menyakitkan dari sakit patah rahang ini!”

Aku mencium emosi dari kalimat Randal. Dan tak bisa kubayangkan deritanya.

Kalau aku jadi dia, mungkin aku sudah kapok naik motor. Trauma. Tetapi pekerjaannya sebagai asisten penyuluh pertanian membuatnya harus menjadi biker sejati. Tidak mungkin ke Tepal dengan mobil. Tidak mungkin ke Batu Rotok dengan mobil. Ke Mantar pun aku membonceng Randal. Randal bahkan tidak naik ke Mantar dengan mobil yang disiapkan. Ia mendaki terjal jalan dengan motor kesayangannya sendirian.

Pengalaman seseorang bermotor tidak menjamin keselamatannya di jalan. Ada tangan lain yang berperan. Tangan takdir.
Tangan takdir yang sama membuatku bertanya-tanya tentang cinta. Nacinta mengenalku lebih dulu, menangis di depanku lebih dulu, dan bercerita banyak di depanku lebih dulu, tetapi aku hanya dianggapnya sebagai kakak, tak lebih. Sementara seseorang yang baru datang, tak berinisiatif banyak, dapat langsung meyakinkan dirinya bahwa seseorang itulah yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Kenapa jantung kita dapat berdetak lebih cepat pada beberapa situasi?

Teman-teman Adventurous Sumbawa mulai menaiki mobil berbak terbuka satu per satu. Tampak pemandangan Pangestu menarik tangan Nacinta. Dan itu lebih menyakitkan ketimbang kegagalan untuk menyaksikan pemandangan awan berarak di bawah kami. Ya, dini hari tadi, aku sudah bangun pukul 3 dan memberanikan diri di dalam kepungan dingin demi menanti sensasi berada di atas awan. Begitulah julukan Mantar, Negeri di Atas Awan. Tapi sekitar pukul 4, angin bertiup kencang dan mengusir awan-awan di bawah kami hingga menjauh. Alhasil, ruang di depan kami menjadi hampa dengan beberapa lampu menyala saja. Untungnya, matahari terbit dengan latar Tambora menghasilkan penghiburan yang cukup menyenangkan.

~

Kami bersepakat untuk rehat sejenak di Rhee nanti. Jagung-jagung Rhee yang berwarna putih dan berasa sangat manis menunggu untuk kami santap.

Tidak tahu siapa yang memulai, tiba-tiba saja kami sudah terlibat kebut-kebutan. Randal Patisamba dengan pengalamannya mulai memacu motor dan berhasil mendahului semua motor di depan kami. Aku sebenarnya takut dengan kendaraan yang melaju lebih dari 80 km/jam, tetapi entahlah, aku merasa aman bersama Randal.

Medan di Sumbawa Barat memang sangat indah dan menarik untuk kebut-kebutan. Kalau pemerintah Indonesia hendak mengadakan Moto GP, sirkuitnya akan sangat seru bila di sini. Kubayangkan Valentino Rossi akan menggeber motornya, dengan trek penuh tikungan, itu akan menjadi favorit Rossi. Di Bukit Cinta, pemandangan laut dan pulau-pulau kecil di sekitar Poto Tano menjadi lukisan sempurna yang dilukis Tuhan.

Satu motor kemudian menyalip kami. Aku mengenali mereka, Pangestu dan Nacinta.

Pasti di belakang sana, Komandan Sajidin tengah marah-marah melihat keadaan ini. Ia paling menekankan keselamatan. Di laut, di darat, ia selalu hati-hati, penuh perhitungan, karena rasa tanggung jawabnya sebagai pemimpin rombongan.

Tikungan-tikungan ini mengingatkanku pada Sitinjau Laut. Perjalanan dari Padang menuju Solok selalu harus melalui Sitinjau.

Aku menoleh ke kanan, menengadah, dan tergetar diriku melihat pemandangan yang kusaksikan. Dua benda melayang di langit. Kali ini mereka berada di atas awan.

“UFO!” sontak aku berteriak.

“Cupu!” Satu teriakan lain terdengar sekelebat. Satu motor lain mendahului kami dan mengejar Pangestu.

“UFO siapa yang cupu?” tanya Randal Patisamba yang tak paham situasi. Dia sangat fokus dengan jalanan yang curam dan menikung.

Tak mau mengganggu konsentrasinya, aku cari lagi dua objek melayang tadi. Awan-awan menggumpal di langit. Aku yakin tidak salah lihat dan terus mencari keberadaan mereka.

Memperhatikan lebih seksama, aku melihat keanehan-keanehan lain dari awan yang ada. Aku paham betul mengenai pareidolia, keadaan psikologis seseorang untuk melihat kemiripan sebuah objek berdasarkan preferensi yang dimilikinya. Tetapi ini sungguh aneh untuk disebut kebetulan ataupun pareidolia. Satu awan berbentuk seperti pedang. Satu awan seperti seseorang sedang tertawa. Awan yang lain menampilkan bentuk orang mengenakan jubah. Dan di antara awan-awan itu, dua objek melayang itu kembali terlihat.

“Randal, Randal! Kau lihat itu!?” Randal memperlambat lajunya dan menepi di bahu jalan. “Itu!” tunjukku ke arah langit.
Randal mendongak. “Apa? Awan?”
“Kau tak melihat hal yang aneh dari itu?”
Belum sempat Randal menjawab, terdengar bunyi rem berdecit disusul bunyi benturan keras di sekitar kami. Jalan di bawah-depan kami menampilkan pemandangan yang mengerikan. Dua motor di depan kami terguling. Pangestu membuka helmnya dan berjalan menuju sosok perempuan yang tergeletak tak berdaya. Tak jauh dari situ, sesuatu berwarna merah menggenang di sekitar tubuh seseorang. Aku tahu itu darah.

Di langit, pemandangan benda melayang sudah tak ada. Awan-awan pareidolia menjadi lebih mengerikan. Awan-awan berbentuk makhluk berjubah dan makhluk tertawa itu kini seperti langsung menatap padaku.

Saat kuceritakan hal ini kepadamu, mungkin kau akan menertawaiku, menganggapku gila, tetapi pertimbangkanlah satu hal ini, bahwa barangkali aku dapat melihat pertanda. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini…. ya, alam akan memberi pertanda atasnya.

(2015)

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *