Belitung dan Tuan Laskar Pelangi

Setiap orang menyebut Belitung, pastilah yang terbersit pertama kali di pikirannya adalah Andrea Hirata atau Laskar Pelangi.

Tapi ini cerita yang berbeda. Awalnya, Zane mengetagku pada sebuah postingan seorang teman. Namanya Genta. Genta baru pulang liburan dari Belitung. Di foto tersebut, batu-batu besar terpampang indah dan unik. “Uda, kapan-kapan kita ke sini yuk…” kata Zane waktu itu.

Beberapa hari kemudian, kebetulan aku membuka twitter. Di sana seseorang yang kufollow meretweet sebuah informasi lomba. Hadiahnya ke Belitung. Dua buah tiket pesawat gratis pulang pergi dan hotel dua malam. Temanya persahabatan. Singkat cerita aku mengirimkan sebuah cerpen berjudul Katak Bunuh Diri dan berhasil memenangkan lomba tersebut.

Panitia pun menghubungi kami dan ditanya kapan mau berangkat. Beruntung aku sedang liburan UTS, tanggal 30 Mei-1 Juni pun kuputuskan sebagai tanggal liburan.

Bicara Belitung, aku sebenarnya punya kenangan tersendiri. Dulu, sebelum Bangka dan Belitung menjadi provinsi, mereka tergabung ke dalam Provinsi Sumatra Selatan. Aku sendiri berasal dari Kabupaten Banyuasin di provinsi yang sama. Dan dulu, Banyuasin masih tergabung ke dalam Kab. Musi Banyuasin. Jadi, sebenarnya ada ikatan kedaerahan di antara Belitung dan aku meski secara bahasa dan adat, bisa dikatakan tiap kabupaten di Sumatra Selatan itu memiliki perbedaan yang mencolok.

Ketika SD, aku pernah mewakili Kab. Musi Banyuasin dalam lomba Matematika tingkat provinsi. Wakil dari Belitung turut serta. Saat itu, Belitung punya profil sebagai daerah kaya. Maklum, ada pertambangan timah yang merebak di sana. Sebelum akhirnya harga timah jatuh dan tambang-tambang timah di Belitung bangkrut. Bekas-bekas tambang timah itu pun kukenali dari atas pesawat. Ada air yang menggenang di lubang-lubang di pulau Belitung.

11391360_963439503700593_4227767473131866877_n

 

Secara pekerjaan, aku pun sangat mungkin ditempatkan di Belitung. Mengingat ada pameo, selama ada KPPN di kotamu, selama itu pula kita mungkin bertemu. Ya, ada KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) di Belitung. Bisa jadi suatu saat nanti aku ditempatkan di sini. Hal yang pertama kutanyakan kepada sopir travel adalah, “Di mana KPPN-nya?”

Ternyata KPPN berada tak jauh dari hotel tempat kami menginap. Kami menginap di Maxone Belstar Belitung selama dua malam. Awalnya terjadi masalah di sana. Namaku tak terdaftar, atau belum terbooking. Aku pun menunggu selama kurang lebih setengah jam untuk mendapat konfirmasi. Untungnya pihak hotel begitu ramah dan bekerja sama. Mereka menjelaskan terjadi kesalahpahaman antara pihak tiket.com dengan pihak hotel. Voucher menginapnya belum dibookingkan oleh pihak hotel dan sebenarnya voucher tidak berlaku untuk weekend. Tapi atas keramahan pihak hotel, kami tetap bisa menginap di satu-satunya kamar yang belum dipesan.

10409300_963494230361787_7400298514888992642_n

 

Dari hotel yang relatif baru berdiri itu, aku beranjak mencari sewaan motor. Aku tak kesulitan untuk mengelilingi kota Belitung yang memang hanya segitu-segitu saja. Aku pun memilih makan siang di warung-warung khas Belitung yang berada di sekitaran hotel. Meski menu yang kupesan biasa, seperti ayam dan kangkung, tapi bumbu yang digunakan lebih khas. Aku pun teringat pada rasa makanan di Sumbawa. Barangkali bumbu yang digunakan oleh masyarakat pinggir laut itu mirip-mirip, ya?

Tujuan pertama, karena masih lelah berangkat dini hari dari Bandung, aku pun ke Tanjung Pendam. Pantai ini hanya selemparan batu dari pusat kota Belitung. Katanya, matahari terbenam sempurna di pantai ini. Garis pantainya yang panjang dan adanya penjual makanan yang banyak menjadi daya tarik lainnya. Namun sayang, pantainya tidak begitu bersih. Bahkan ada bau yang menguar di pantainya. Akhirnya aku dan Zane hanya memesan kelapa muda dan duduk menanti senja. Matahari terbenam urung terlihat karena ada awan menggumpal besar menutupi matahari.

Pulang dari Tanjung Pendam, kami memutuskan makan mie atep yang terkenal itu. Semua teman, ketika aku bilang mau ke Belitung, merekomendasikan mie satu ini. Namun, sungguh, aku tak doyan. Zane yang doyan. Aku pun menemani Zane saja makan mie sambil makan kerupuk ikan tenggiri.

Malam itu kami tidur dengan nyenyak, menikmati fasilitas hotel yang ber-AC dan berkasur yang begitu nyaman.

~

Hari kedua, kami menyewa mobil.

Kami pun pergi ke pantai Tanjung Tinggi. Kurang lebih satu jam perjalanan ke sana. Tapi waktu terbayar tuntas dengan pemandangan yang disajikan. Di depan, ada penanda bahwa tempat ini adalah tempat pengambilan gambar Laskar Pelangi. Sayangnya, hal penting seperti ini malah rusak. Entah sengaja dirusakan. Kacanya ada yang pecah.

11351298_962827887095088_2967652674704126946_n

Aku segera menobatkan Tanjung Tinggi sebagai salah satu pantai terbaik yang pernah kukunjungi. Batu-batu besar yang konon sudah ada sejak zaman Jura begitu eksotis. Aku terpukau dan sempat beberapa menit tak bisa berkata-kata melihatnya. Pemandangan itu dipadukan dengan pasir yang putih dan garis pantai yang panjang, apalagi jarak antara pesisir ke tempat yang dalam begitu jauh, sehingga seperti ada kolam renang yang diciptakan oleh alam di pantai ini. Gelombangnya pelan dan ikan-ikan berwarna-warni tampak di pinggir pantai.

11377106_962828017095075_1219974743362268306_n 11137093_962827853761758_7036521187454854124_n 11350453_962827783761765_4652486444753242690_n

 

Selepas puas bermain di pantai, sampai gerimis turun, kami menyempatkan diri ke Tanjung Kelayang. Ada keinginan untuk menyeberang ke pulau-pulau seperti pulau Garuda ataupun pulang Lengkuas, namun karena si kecil, kami memutuskan untuk tak menyeberang. Kami pun kembali ke Tanjung Tinggi untuk makan sup ikan kuah kuning dan ikan baronang bakar. Harganya sih lumayan, meski tak semahal di Jimbaran. Tapi kami makan sampai puas di sana.

Bakda itu, aku mengantar Zane pulang ke hotel karena dia kelelahan. Aku melanjutkan perjalanan bersama sopir ke danau kaolin.

11295576_963277720383438_5034034442934518508_n 11391258_963277700383440_7709746558569040984_n

 

Ketika tiba di sini, ada sekelompok ibu-ibu yang sedang memandangi danau ini. Dan berdebat kenapa airnya begitu biru. Satu ibu yang ngotot dan tak mau kalah berkata ini tejadi hanya karena pantulan dari langit. Di situ aku tertawa.

Sebenarnya danau ini tak tepat disebut danau. Aku lebih suka menyebutnya kedukan. Di Banyuasin banyak. Bedanya, di banyuasin kedukannya tidak berwarna biru tapi cokelat dan hijau karena tanahnya cok
elat berlumpur. Di Belitung, kandungan kaolin yang membuat warna ini tercipta begitu kontras.

Aku lupa nama tujuanku setelah danau kaolin. Tujuan kami berada di dalam hutan. Namun kami kecele. Begitu mau masuk hutan, ada palang. Tidak boleh masuk karena jalan rusak.

11055309_962838570427353_8881430905986414251_n

Acara keesokan harinya, ya sesi mencari oleh-oleh. Zane mencari souvenir, mencari makanan khas Belitung. Sementara aku hanya tertarik pada benda ini. Mutiara. Mutiara alam Belitung ini khas. Maklum, di Sumbawa aku sempat jadi penjual mutiara dan mengoleksi beberapa yang memiliki keunikan.

Sebenarnya kurang rasanya liburan kali ini. Hanya saja karena nggak sendirian, jadi ruang untuk eksplorasi pun terbatas. Yang penting, barangkali adalah kebersamaannya. Sudah lama kami tak liburan bersama.

Terima kasih nulisbuku.com dan tiket.com!

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *