Melihat Peradaban Lewat Ekowisata di Sumedang

Apa yang kamu ketahui dari Sumedang? Jika pertanyaan seperti itu muncul, mungkin kebanyakan orang akan menjawab Ali Sadikin, tahu, dan UNPAD. Ali Sadikin, sosok yang dianggap sebagai gubernur Jakarta terbaik dalam sejarah itu lahir di Sumedang. Tahu—siapa yang tidak tahu Tahu Sumedang yang keberadaannya sudah menasional, ada di mana-mana, dan digemari sedemikian rupa? Lalu UNPAD, Universitas Padjadjaran. Meski tidak sedikit orang yang mengira UNPAD ada di Bandung, kampus utamanya ada di Jatinangor yang secara administratif berada di Kabupaten Sumedang.

Namun, bagi penggemar sejarah sepertiku, aku akan menyebut satu hal lain: Gunung Tampomas. Gunung dengan ketinggian 1684 mdpl itu kental dengan sejarah dan mitos.

Sumber: Liputan 6

Adalah Prabu Sokawayana yang pertama kali menapakkan kaki di Gunung Tampomas. Ia adalah putra dari Prabu Guru Haji Adji Putih yang merupakan pendiri Kerajaan Tembong Agung (678 M). Tokoh-tokoh ini merupakan sebagian dari tokoh sentral dalam Kisah Sumedang dengan berbagai versi, yang menjadi cikal bakal berdirinya Sumedang Larang, sebuah kerajaan Islam yang diperkirakan berpusat di Tatar Pasundan pada abad ke-8 M, dan menjadi Negara berdaulat pada abad ke-16 M.

Masih banyak kisah lain terkait Gunung Tampomas. Misalnya, dulu nama gunung tersebut adalah Gunung Gede. Saat hendak meletus pada abad ke-18, Pangeran Sumedang mendaki gunung tersebut dan menancapkan kujang emas miliknya ke kawah agar penduduk sekitar selamat dari bencana. Karena itulah, namanya berubah menjadi Tampomas yang dalam bahasa Sunda berate menerima emas.

Dengan berbagai kisah itu, Gunung Tampomas menjadi magnet tersendiri bagi pendaki. Apalagi keindahan dari atas sana tidak terperanai. Panorama hamparan kota Sumedang bias dilihat dari puncak.

Pendakian gunung semacam itu menjadi daya tarik wisata. Tidak hanya keindahan alam, tetapi terdapat beberapa situs yang bisa dikunjungi. Ada tapak kaki yang dipercaya sebagai tapak kaki Prabu Siliwangi yang merupakan raja kerajaan Padjadjaran. Ada juga makam keramat Ranggahadi yang merupakan kerabat dari Prabu Siliwangi. Selain itu, ada situs Batu Kasur yang dianggap sebagai tempat tidur Prabu Siliwangi. Hal ini menegaskan bahwa Gunung Tampomas juga memiliki potensi wisata spiritual.

Sebagai taman wisata alam (TWA), Tampomas juga memiliki keanekaragaman hayati. Mulai dari kukang Jawa hingga beraneka rupa burung. Pernah suatu ketika aku menjelajah taman nasional Way Kambas bersama dengan teman-teman dari Biodiversity Warriors. Keanekaragaman hayati ternyata menjadi magnet tersendiri. Bila dibarengi dengan wacana edukasi, dalam kurikulum hutan dan keanekaragaman hayati di Indonesia, Tampomas bisa menjadi salah satu tujuan utama.

Air Terjun di Sumedang

Dan dalam wisata alam, aku pribadi selalu tertarik dengan air terjun. Sebab, air terjun mengingatkan pada satu prinsip penting dalam kehidupan. Guru IPA-ku waktu SD pernah mengajarkan soal energi. Ia memberi analogi energi potensial adalah air yang berada di atas air terjun yang cenderung lebih tenang. Begitu jatuh, energi tersebut berubah menjadi energi kinetik. Deras dan menggerakkan dinamo sebelum berubah menjadi bentuk energi lain seperti energi listrik.

Hukum kekekalan energi. Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, hanya bisa diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.

Karena itulah aku percaya, setiap manusia diberi energi potensial yang sama. Tergantung seberapa banyak gerak yang kita lakukan, itulah yang menentukan seberapa besar dan berarti pencapaian kita nanti.

Setiap kulihat air terjun, aku merasakan gairah itu. Dan di Sumedang, terdapat beberapa air terjun yang aduhai.

Dalam bahasa Sunda, air terjun disebut sebagai curug. Setidaknya ada 5 curug yang bisa dikunjungi di Sumedang yang sudah terkenal di masyarakat.

Pertama adalah Curug Sindulang atau Cinulang. Ketinggiannya mencapai 50 meter. Air terjun ini bertipe ganda atau kembar berdampingan. Ia berada pada aliran Sungai Citarik yang hulunya di kawasan Gunung Kareumbi.

Curug Cigorobog. Sumber: Kompas

Lalu ada juga Curug Cigorobog. Curug Cigorobog lebih cocok untuk wisata keluarga karena aliran airnya yang tidak terlalu deras. Air yang berasal dari aliran sungai Cihonje ini pun begitu jernih. Akses masuk ke curug ini pun tidak sulit. Dari alun-alun Sumedang, kita menuju kawasan Desa Citengah lalu menuju ke arah perkebunan the Margawindu.

Bagi penggemar trekking, Curug Sabuk wajib menjadi pilihan utama. Letaknya berada di kawasan hutan Gunung Kareumbi. Curug Sabuk ini terdiri dari beberapa air terjun yang berbeda baik ketinggian maupun debit airnya. Paling tinggi memiliki ketinggian sekitar 60 meter yang berdampingan. Medan yang dilalui pun sangat menantang. Mulai dari persawahan, hutan pinus, kebun salak, dan menyeberangi sungai, serta jalanan yang menanjak dan menurun. Indah dan seru sekali.

Ada juga Curug Buud. Curug ini hanya sekitar 5 meter, tetapi lebarnya 35 meter.  Letaknya tidak begitu jauh dari jalan raya di Desa Sukatani. Curug Buud berada di pertemuaan dua sungai yaitu Sungai Cipicung dan Sungai Cikandung. Curug Buud akan terlihat sangat indah pada musim hujan.

Nah, di Tampomas sendiri ada Curug Ciputrawangi atau juga dikenal dengan nama Curug Narimbang. Hati-hati bila mengunjungi curug ini karena hewan-hewan liar seperti landak dan babi hutan kerap terlihat di sepanjang perjalanan menuju Curug Ciputrawangi.

Air dan Peradaban

Pusat peradaban selalu berada di dekat air. Tercatat dalam peradaban manusia, pusat-pusat peradaban selalu tidak berada jauh dari air. 

Mesopotamia yang dipercaya sebagai peradaban manusia tertua di dunia, tumbuh dan berkembang di Kawasan Hilal Subur yang dialiri oleh 2 sungai, yakni Sungai Eufrat dan Sungai Tigris. Kedua sungai tersebut dimanfaatkan untuk irigasi pertanian hingga berlebihnya stok pangan tercatat pada masa itu. Peradaban ini menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan besar seperti Babylonia.

Mesir Kuno yang mampu membangun Piramida dekat dengan Sungai Nil. Di Asia Selatan, tumbuh peradaban India Kuno di sekitar aliran Sungai Indus. Di dataran China, peradaban tumbuh dari lembah Sungai Yangtze atau Sungai Kuning yang membangun kebudayaan Neopolitik tertua.

Sungai-sungai pun mengaliri wilayah Sumedang. Salah satunya Sungai Cihonje. Sungai ini sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu.  Sungai yang awalnya hanya dipakai mandi dan tempat mencuci pakaian oleh warga setempat itu mendadak menjadi tempat wisata baru.

Saya jatuh saat River Tubing. Kemanan itu penting.

Wisata River Tubing memang sangat menarik dikembangkan di Sungai Cihonje. Hal itu juga pernah dilakukan di Sungai Pusur, Klaten. Hanya yang perlu dipastikan adalah keamanannya. Para petugas yang mengawal perlu terlatih dan mampu mengenali risiko. Jangan sampai musibah seperti susur sungai di sebuah daerah beberapa waktu lalu terjadi akibat kelalaian sang penjaga dalam membaca alam.

Lebih lanjut, jika Pemerintah setempat pandai memanfaatkan momentum, hal tersebut sebenarnya bisa sekaligus untuk mengedukasi warga untuk pentingnya menjaga kebersihan sungai. Bukan hanya tentang tidak boleh membuang sampah sembarangan, tetapi juga tidak buang air besar/kecil di sungai. Bersama pihak terkait, bisa dilaksanakan sosialisasi dan pembangunan sanitasi air bersih bagi masyarakat setempat. Satu kali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui.

Selain itu, ada Sungai Cikandung adalah sungai yang memiliki mata air dari kaki Gunung Tampomas di desa Nyalindung Kecamatan Cimalaka, dan mengalir melewati beberapa kecamatan yaitu Buahdua, Surian, Tanjungmedar, Tanjungkerta, dan bermuara di sungai Cipunagara, Kabupaten Subang. Ada banyak sekali potensi wisata yang berada di sekitar Sungai Cikandung. Djuwendah, dkk. (2018) mendata potensi tersebut, mulai dari air terjun (di antaranya Curug Buud dan Curug Ciputrawangi yang sudah disebutkan di atas), mata air/danau, hutan wisata/wana wisata, pemandian air panas, dan wisata pertanian.

Sumber: Djuwendah, dkk. (2018)

Sungai lain yang juga patut menjadi perhatian adalah Sungai Cimanuk. Sungai Cimanuk ini menjadi sumber dari Waduk Jatigede.

Waduk Jatigede merupakan waduk kedua terbesar setelah Jatiluhur dengan luas areal mencapai 4.896,22 ha. Areal yang akan terkena genangan air mencapai 3.224,78 ha dan bangunan fasilitas seluas 1.200 ha yang mengenangi 4 kecamatan yaitu Kecamatan Jatigede mencapai 760.55 ha, Jatinunggal berkisar 239.89 ha, Wado berkisar 459.23 ha dan Kecamatan Darmaraja mencapai 1575.67 ha.

Sumber: Pegi-pegi

Keberadaan Sungai Cimanuk dan Waduk Jatigede juga menyimpan potensi wisata bertajuk ekowisata yang baik. Pada dasarnya, ekowisata merupakan kegiatan pariwisata yang diarahkan guna memadukan pembangunan ekonomi dan membangkitkan pendanaan untuk usaha pelestarian sumber daya sebagai atraksinya. Sustainabilitas alam itu yang perlu dijaga.

Menurut Fandeli (2020), pengalaman di  negara-negara  Afrika menunjukkan bahwa pengembangan ekowisata di kawasan pertanian dan kehutanan dapat memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat seperti yang ditemukan di Kruger National Park di Afrika Selatan,  Karena itulah, kolaborasi dari berbagai pihak untuk menciptakan konsep ekowisata yang lebih baik dan tidak latah penting dilakukan.  

Peta ekowisata itu sudah dimulai dari Gunung Tampomas yang menjadi napak tilas atau perjalanan spiritual atas Kisah Sumedang. Dari sana, turun ke kaki-kakinya melihat keanekaragaman hayati yang ada hingga menyusuri curug demi curug yang menawarkan kesejukan. Setelah itu, titik selanjutnya adalah Waduk Jatigede ini.

Wisata tirta seperti perahu di waduk tersebut perlu dibersamai dengan keamanan yang memadai. Tempat-tempat pemancingan dengan kegiatan-kegiatan rutin seperti lomba memancing perlu dilakukan.

Sebagai pelengkap atas panorama yang sudah dianugerahkan Tuhan, perlu pula digali potensi sosial budaya dan edukasi yang tersedia di kawasan waduk Jatigede di antaranya potensi legenda atau mitos, keberadaan situs benda cagar budaya peninggala kerajaan Tembong Agung dan Kerajaan Sumedang Larang serta perilaku masyarakat sekitar waduk yang bermata pencaharian sebagai petani yang memiliki kearifan lokal seperti kesenian Tarawangsa, Tayub, Rengkong dan upacara ruwat bumi. Di situ juga, kuliner-kuliner Sumedang diperkenalkan. Bukan cuma tahu. Sumedang memiliki banyak kuliner yang enak. Misalnya saja Soto Bangko.

Coope (1993) mengatakan bahwa sebuah wilayah memiliki daya tarik pariwisata bila memiliki 4A. Apa saja itu? A yang pertama adalah Attraction (Atraksi) yang merupakan komponen yang signifikan yang di dalamnya terdapat keunikan tersendiri untuk menarik wisatawan berkunjung ke suatu daya tarik wisata tersebut. A yang kedua adalah Amenities (Fasilitas) atau amenitas yang merupakan segala macam sarana dan prasarana yang diperlukan oleh wisatawan selama berada di daerah tujuan wisata. A yang ketiga adalah Accessibility (Aksesibilitas) yang merupakan hal yang paling penting dalam sebuah kegiatan pariwisata. Segala macam transportasi umum ataupun jasa transportasi menjadi akses penting dalam pariwisata. Dan A yang keempat adalah Ancilliary (Pelayanan Tambahan) yang sudah harus disedikan oleh Pemerintah daerah dari suatu daerah tujuan wisata baik untuk wisatawan maupun untuk pelaku pariwisata.

A yang pertama tidak terbantahkan dimiliki oleh Sumedang dari atas gunung hingga ke ujung sungai. Dari mitos dan legenda hingga ke kuliner yang mampir di lidah. Sementara, kita percata ketiga A yang lain pelan-pelan dibangun dan disempurnakan untuk menunjang apa-apa yang sudah diberikan Tuhan.

(2020)

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *