Lomba Menulis Puisi: Menafsir “Mata Penyair” Subagio Sastrowardoyo

Mata Puisi adalah Majalah Puisi Digital. Untuk berlangganan majalah ini, kita hanya perlu berdonasi 25 ribu rupiah per edisi. Saat ini, majalah ini sudah terbit dua kali. Pengelolanya Hasan Aspahani.

Lomba menafsir puisi dalam bentuk puisi ini sangat menarik. Kita menciptakan puisi baru sebagai respons atas puisi Subagio Sastrowardoyo, Mata Penyair. Sebenarnya, ikut lomba ini sama saja gratia karena 25 ribu sebagai syarat adalah donasi dan kita mendapatkan Mata Puisi Edisi No. 3.

Mata Penyair

Subagio Sastrowardoyo (1924-1995)

       Ketika terbuka jendela, terdengar hirukpikuk
kota. “Apa saja yang sudah kuberikan padamu,” kata
penyair, “kecuali nyawaku ini yang teraniaya.”
       Rakyat yang miskin merangsak kemuka. “Kami ingin
matamu!” teriak mereka. “Kami ingin matamu, yang bisa
merobah butir pasir yang tercecer dari karung menjadi
emas di jalan. Beri matamu, matamu!”
       Ada yang masih mau membela penyair itu. “Ingat,
tanpa mata penyair menjadi buta!”
       Tetapi rakyat yang putus asa tidak peduli. Mereka
renggut mata penyair dari lubang matanya, dan lewat
kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya.


Tetapi pasir yang tercecer tidak menjadi emas. Mereka
menjadi kecewa dan merebus dan melahap kedua bola
mata itu. Dan tidak terjadi apa-apa.
       Penyair yang buta itu duduk di jendela dan tertawa
menghadap ke kota. Tanpa mata dilihatnya semua begitu
indahnya. Begitu indahnya!

Sumber: Horison, No. 7, Thn. XXVII, Juli 1993

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *