Show, not tell. Sering kita mendengar ungkapan demikian. Cerita yang baik seharusnya show, bukan tell. Salah satu makna show ini adalah keberhasilan membangun setting/latar.
Latar menjadi hal pertama yang harus dibangun. Sebab sebuah cerita yang baik tak mungkin terjadi di mana saja, dan kapan saja. Cerita menjadi unik, berkesan, ketika ia terjadi pada ruang dan waktu tertentu. Hal inilah yang menuntun kita pada ungkapan selanjutnya, bahwa fiksi berbeda dengan kenyataan. Fiksi harus masuk akal, sementara kenyataan seringkali tak masuk akal.
Inilah yang dinamakan unsur plausibilitas. Kemungkinan terjadinya suatu adegan. Misal, saya membuat adegan makan bubur ayam sepulang dari kantor, malam hari, di Kepri. Adegan tersebut sulit terjadi karena makan bubur ayam malam-malam bukan budaya Kepri. Hal tersebut mungkin terjadi jika kota yang kita pilih adalah Jakarta atau Bandung yang banyak penjual bubur ayam hingga tengah malam.
Kita perlu melakukan riset yang cukup atas kondisi geografi, demografi, sejarah, kebudayaan, dan segala hal yang terkait. Kelemahan pada latar akan mementahkan cerita yang kita buat.
Hal penting berikutnya adalah karakter. Boleh jadi, karakter adalah hal paling penting yang membuat sebuah cerita menjadi menarik atau tidak. Ada ungkapan bahwa karakterlah yang menentukan plot, a character is a plot.
Para penulis harus bersungguh-sungguh membuat tokohnya hidup. Tokoh tersebut (homofictus) haruslah ekstrem positif atau ekstrem negatif. Kalau dia baik, ya buatlah dia sangat baik seperti tokoh Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta. Jika dia jahat, buatlah dia jahat seperti umm, siapa ya, Rita Repulsa kali ya.
Pada intinya ada beberapa rumusan mengenai cara membuat karakter. Pertama, hindari stereotip atau karakter yang mudah ditebak. Ia harus unik. Kedua, karakter tersebut memiliki kedalaman. Caranya, beri dia masa lalu, dan jangan lupa tambahkan masa depannya. Masa lalu akan membuat pembaca percaya kenapa si tokoh bisa menjadi seperti sekarang, dan masa depan akan menuntun si tokoh kepada tujuan dan konflik yang mungkin bisa tercipta. Ketiga, tambahkan preferensi si tokoh pada banyak hal, semisal ia lebih suka minum teh dari kopi, punya alergi terhadap asap rokok, beserta alasannya.
Pada umumnya, penokohan memiliki beberapa peran. Pertama, ada protagonis. Protagonis tidak melulu orang yang baik. Protagonis adalah tokoh utama yang memiliki tujuan. Bisa jadi dia jahat. Kedua, ada antagonis. Antagonis pun bukan berarti tokoh yang jahat. Antagonis adalah tokoh yang menghalangi protagonis mencapai tujuannya. Sidekick adalah orang terdekat dari tokoh utama. Biasanya dia gendut. Orang gendut wajib hadir dalam cerita. Hehe. Terakhir, ada mentor. Pola ini sering muncul pada komik Shonen. Naruto memiliki Jiraiya sebagai mentor. Wiro Sableng juga ding, punya Shinto Gendeng sebagai mentornya.
Hal penting ketiga adalah PLOT. Plot berbeda dengan alur. Jika alur adalah jalannya roda, plot adalah hal yang membuat roda berputar. Plot juga berkaitan dengan konflik, tanggapan dan perubahan yang dialami karakter terhadap konflik, serta cara penyelesaian konflik. Plot yang baik dimulai dengan deskripsi karakter yang baik. Maka ada ungkapan, a plot is a character.
Keempat, yang paling sering dibahas, tapi tak kalah penting: TEMA. Apa sih yang hendak dibicarakan dalam cerita? Inilah yang membuat cerita menjadi penting atau tidak penting. Namun, menyasar pentingnya sebuah cerita, justru dapat merusak karakter. Kita harus berhati-hati agar tidak terjadi pendangkalan pada karakter kita agar cerita tidak menjadi tell.
Kelima, hal yang membuat setiap penulis menjadi otentik—gaya bercerita. Kita pelan-pelan harusnya bisa menemukan gaya menulis kita sendiri. Diksi kita sendiri. Usaha mengepigoni penulis lain sah-sah saja dilakukan di awal, asalkan usaha itu dilakukan untuk menemukan karakter kita sendiri.
saya sering merasa kebingungan dengan banyaknya teori tentang penulisan. Kelima poin yang disebutkan di sini sangat membantu saya untuk lebih fokus dan terarah dalam mengembangkan cerita. Saya terutama tertarik pada bagian tentang pengembangan karakter. Ternyata, karakter yang kuat adalah kunci utama untuk membuat cerita menjadi hidup dan membekas di hati pembaca.
Terima kasih tuk tips menulis fiksinya.
Btw, riset tuh penting banget. Kayak soal bubur, bubur tuh bukan budaya Kepri.
Lebih masuk akal makan sate kerang saos nanas di sana. Hehehe.
Kebetulan gw suka banget menulis terutama fiksi dan artikel ini sangat membantu banget
Molly sendiri dah lama banget gak bikin cerpen. Seringnya feature tapi pake gaya cerpen. Wkwk.. sama gak ya poin2 pentingnya?
Saya masih suka kesulitan menulis fiksi. Padahal zaman sekolah, suka dengan pelajaran mengarang. Kayaknya harus konsisten latihan lagi ya
Sebenarnya Show, not tell ini susah2 gampang. Kita harus riset, juga menajamkan panca indra. Menemukan gaya bercerita juga harus sering latihan. Bagaimana memilih diksi, hingga menemukan karakter diri sendiri nantinya.
5 unsur penting di atas memang wajib diterapkan saat menulis cerita fiksi. Termasuk cerita fiksi anak. Dan poin pertama itu memang sebagai penulis ita jangan hanya menunjukkan sesuatu kepada pembaca, tapi bagusnya menjelaskan.
Gaya menulis otentik ini mungkin memang sulit ya, tetapi memang harus terbiasa juga dengn latihan dan banyak menulis, biar makin tegas otentik style sendiri seperti apa
Setuju dengan 5 hal penting dalam penulisan cerita fiksi karena bikin cerita semakin mudah dicerna dan semakin bernas
Saya termasuk yang harus banyak belajar untuk menulis cerita fiksi ini. Bikinya susah-susah gampang, perlu kreatifitas, kejelian dan daya imajinasi yang luar biasa untuk mengaplikasikan show don’t tell dan itu butuh effort yang luar biasa
Sampai saat ini, saya belum bisa menulis cerita fiksi. Pernah sih nyoba, tapi hasilnya gak banget. Akhirnya dipendam sendiri aja. Menurut saya yang paling sulit menulis cerita fiksi itu adalah menemukan diksi yang pas.
Langsung fokus pada kalimat pernyataan tentang antagonis. Wah selama ini saya selalu anggap orang jahat ya antagonis, ternyata ada pernyataan yang lebih halus dan positif yaitu tokoh yang menghalangi protagonis mencapai tujuan, wih ini sudut pandang yang keren menurutku
Menulis fiksi emang nggak semudah menulia non fiksi, sih. Karena menulis fiksi itu dibutuhkan daya hayal yang kuat dan harus bisa berimajinasi, begitu kata mentor saya.
Menulis cerita fiksi penuh dengan tantangan. Bahkan buat cerita pendek flash fiction yang 100 kata saja harus muter otak. Makanya suka salut dengan penulis novel yang bisa bikin cerita dan dikemas dengan baik.