Kesalahan E-Budgeting dalam Perspektif Hukum Keuangan Negara  

Jauh-jauh hari, Jensen & Meckling (1976) memapankan Teori Keagenan. Teori ini mencoba menjawab masalah keagenan yang terjadi karena pihak-pihak  yang saling bekerja sama cenderung mempunyai tujuan yang berbeda.

Hubungan keagenan itu sendiri muncul ketika salah satu pihak ditunjuk sebagai agen yang bertindak atas nama atau perwakilan bagi pihak lain (principal) yang merupakan pemilik entitas. Masalah keagenan kemudian terjadi saat keinginan antara agen dan principal berlawanan. Agen memiliki kecenderungan untuk menguntungkan dirinya sendiri sehingga principal ingin memverifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu dengan tepat. Masalah selanjutnya adalah pembagian dalam menanggung risiko yang timbul kemudian.

Dalam konteks perusahaan, agen adalah direksi (yang menjalankan perusahaan) dan principal adalah para pemegang saham. Dalam konteks negara demokrasi, agen adalah Pemerintah (eksekutif), sedangkan principal adalah rakyat (yang katakanlah diwakili oleh para wakil rakyat).

Implikasi dari Teori Keagenan tersebut kemudian melahirkan pelaporan dan evaluasi anggaran lewat Laporan Keuangan Pemerintah dan auditnya. Pelaporan dan evaluasi anggaran tersebut adalah tahap akhir dari siklus anggaran yang menurut Mardiasmo dimulai dari persiapan, ratifikasi, dan implementasi yang berujung pada pelaporan dan evaluasi.

Namun, hari-hari belakangan, setelah kesalahan dalam persiapan anggaran melalui e-budgeting di DKI Jakarta, cara pandang terhadap tahap demi tahap tersebut menjadi bias karena semua tahap dicampur bak gado-gado (tetapi versi tidak sehat). Orang-orang riuh menjustifikasi A, B, dan C, pada permasalahan yang sebetulnya bisa diurai dengan sederhana.

E-Budgeting sebagai sebuah sistem

Apakah yang dimaksud dengan E-Budgeting? Apakah karena prosesnya menggunakan alat elektronik? Apakah karena kemudian penganggarannya bisa dilihat lewat media elektronik?

Seharusnya tidak. Elektronifikasi adalah manakala variabel-variabel yang bersifat tetap yang dibutuhkan tidak lagi dimasukkan secara manual. Ia telah menjadi database tersendiri yang kemudian secara otomatis bias digunakan. Salah satu variabel yang dibutuhkan itu misalnya, standar biaya. Maka, dalam prosesnya, petugas e-budgeting seharusnya hanya perlu memasukkan jumlah (kuantitas) barang yang dibutuhkan.

Meski e-budgeting yang ada saat ini belum seperti itu, ia harus dipuji sebagai bagian dari transparansi/keterbukaan informasi kepada publik. Pada dasarnya, dengan kaca mata itu, hal yang ditampilkan tentu sebisa mungkin tanpa kesalahan. Niat untuk transparan itu tak mungkin jadi menelanjangi diri sendiri.

Kesalahan dalam tahap persiapan anggaran itu tentu saja tidak bias dinilai sebagai fraud. Sebab, kerugian negara belum terjadi. Korupsi dalam perspektif keuangan negara adalah ketika kerugian negara terjadi—bukan potensi. Ranah tersebut berada ketika implementasi/pelaksanaan anggaran. Kesalahan tersebut menjadi kesalahan administratif. Namun, jika ditemukan mens rea berupa hubungan dengan pihak penyedia barang, atau ada perbuatan melawan hukum, yang bisa dibuktikan dengan audit trail, sengaja mengubah harga satuan—itu bisa menjadi fraud.

Dalam tahap ratifikasi, pembahasan dengan dewan, idealnya yang dibahas tidak sampai ke rincian, tetapi hanya sampai ke kegiatan. Sebab, penganggaran kita berbasis kinerja. Maka, dewan boleh bertanya sampai membandingkan perencanaan kegiatan dengan prioritas dan kerangka yang telah disepakati sebelumnya. Dalam pelaporan dan evaluasi kemudianlah baru dilihat, apakah kegiatan tersebut telah mencapai outcome-nya, dan apakah rincian biaya yang digunakan untuk melakukan kegiatan tersebut sudah sesuai melalui alat yang namanya audit keuangan.

Lalu kenapa kesalahan yang di luar akal bisa terjadi?

Bottom-up. Bukan top-down. Begitulah seharusnya proses penganggaran terjadi. Ide kegiatan ditampung dari entitas terkecil. Jika di kantor, ide bermula dari pelaksana dalam rapat seksi. Kemudian kepala seksi rapat dengan kepala kantornya. Dalam pemerintahan daerah, usulan itu malah dimulai dari rembug RW.

Meski bottom-up, usulan itu dikelilingi dan ditahan dari atas oleh  frasa seperti mandatory spending—belanja yang diamanatkan undang-undang seperti 20% untuk fungsi pendidikan dan 5% untuk fungsi kesehatan, belanja mengikat seperti belanja pegawai, dan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas.

Sayangnya kemudian, kita harus mengakui kapasitas sumber daya manusia yang ada. Sehingga kadang-kadang, dalam perencanaan anggaran mula-mula, prosesnya tidak terjadi secara ideal. Penganggaran berbasis kinerja kemudian diterjemahkan menjadi karena tahun ini harus lebih baik dari tahun lalu, anggaran pun harus lebih besar dari tahun lalu. Ditetapkanlah angka tertentu sebagai ancang-ancang nilai anggaran. Kemudian angka itu dibagikan secara proporsional kepada entitas di bawahnya.

Maka, yang coba dituju terlebih dahulu adalah pemenuhan angka itu. Yang penting, nominal anggarannya disahkan dulu. Setelah itu, barulah dilakukan revisi yang menjadi domain Kuasa Pengguna Anggaran (dalam level kegiatan) atau hingga ke revisi DIPA (dalam hal APBN). Proses seperti itu disadari atau tidak, menjadi budaya.

Langkah selanjutnya

Penting sekali bagi kita untuk meletakkan kacamata yang tepat saat melihat bagian tertentu dari anggaran. Sampai hari ini pun, barangkali, banyak yang belum paham, yang namanya anggaran (APBN/APBD) itu berarti belum ada wujud uangnya. Anggaran itu punya sisi penerimaan yang juga harus digenjot agar dapat membiayai belanja.

Selanjutnya, penganggaran berbasis kinerja berarti menyaratkan ketercapaian outcome. Bukan soal per item bendanya saja yang dilihat—tetapi lebih kepada apakah kegiatan yang sudah direncanakan dapat berjalan dan mencapai tujuannya dalam hal memberikan manfaat kepada masyarakat.

Bukan berarti proses pengawasan dalam persiapan penganggaran melalui e-budgeting tidak penting. Sangat mendesak, aplikasi tersebut dipagari dengan standar biaya. Masyarakat kemudian ikut melakukan pengawasan jika ada item-item yang tidak masuk akal sebagai langkah pencegahan. Namun, tidak melulu, serta-merta, kesalahan dalam hal itu diidentikkan dengan korupsi. Sebab korupsi dalam kacamata keuangan Negara harus memenuhi tiga unsur: telah terjadi pelanggaran hukum (proses bisnis), telah terjadi kerugian Negara, dan didapati adanya mens rea (motif).

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *