Cara Menulis Paragraf Pembuka Tulisan Nonfiksi

Pada dasarnya, cara menulis paragraf pembuka tulisan nonfiksi tidak jauh berbeda dengan cara menulis paragraf pembuka pada cerita pendek. Tulisan berikut ini saya kopas mentah-mentah dari blog Monilando, teman seangkatan yang sama-sama suka menulis di Kementerian Keuangan. Silakan berselancar di blognya. Tulisannya kece-kece juga.


Paragraf pembuka adalah segalanya. Pembaca kerap kali memutuskan untuk membaca atau tidak sebuah tulisan berdasarkan paragraf pembukanya. Tulisan panjang bisa jadi menarik lantaran memiliki paragraf pembuka yang memikat.

Nah, bagaimana cara membuat paragraf pertama tulisan esai yang mampu memikat hati pembaca? Ngomong-ngomong, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya.

Beruntung, saya mendapatkan tips membuat paragraf pembuka yang memikat dari Heru Sang Amurwabumi, penulis emerging Indonesia di Ubud Writers and Readers Festival 2019. Berikut ringkasannya :

Pertama, bukalah paragraf dengan melempar perumpamaan

Contohnya seperti tulisan pembuka esai Jawa Pos berjudul “Nirdawat dan Budi Darma : Sebuah Catatan Pribadi” karya Leila S. Chudori.

Andaikata Nirdawat adalah seorang kritikus sastra.

Demikian Budi Darma mengajak pembaca berimajinasi. Dia menggambarkan Nirdawat sebagai seorang kritikus sastra‖ yang suka membaca karya sastra dan selalu jengkel membaca karya yang buruk. Tetapi, Nirdawat akan lebih bergidik lagi pada kedangkalan pendapat kritikus, karena sekali lagi “musuh Nirdawat adalah kedangkalan”. Bagi Nirdawat, salah satu problem dari kedangkalan kritik sastra di Indonesia adalah “koncoisme”.

Kedua, bukalah paragraf dengan menyajikan data faktual

Berikut pembuka esai Jawa Pos berjudul “Penganiayaan Keturunan Asia di Amerika” yang ditulis oleh Prof. Budi Darma.

Jauh sebelum Biden menjadi wakil presiden Barack Obama, publik Amerika sudah tahu bahwa dia sangat antirasialisme. Dan Donald Trump juga paham bahwa dalam konvensi Partai Demokrat untuk memunculkan calon presiden dalam pilpres 3 November 2020, besar kemungkinan Biden akan mengalahkan saingan-saingannya dari Partai Demokrat.

Dengan gaya demagog tulen, Trump berkali-kali menyatakan bahwa konvensi ini adalah paling gelap, penuh kemarahan, dan suram dalam sejarah Amerika. Dan Trump, sebagai orang kulit putih yang sangat rasis, berusaha membalik fakta bahwa jika Biden menang, rasisme akan merajalela.

Cara membuat paragraf pembuka yang menarik hati pembaca juga saya temukan di buku “Inilah Esai” yang ditulis oleh Muhidin M. Dahlan.

Berikut delapan gaya membuka esai :

Pertama, mengetuk dengan kutipan

Membuka esai dengan kutipan sudah tua usianya. Kutipan bisa berupa kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung. Kutipan yang dituliskan adalah kutipan yang relevan dengan esai yang dibuat.

Misalnya, paragraf pembuka tulisan Karlina Supelli berjudul “Sebuah Warisan Tanpa Wasiat” yang dimuat Kompas pada 2 Februari 2001 berikut :

All sorrows can be born if you put them into a story or tell a story about them. Kalimat Isak Dinesen di atas dikutip oleh Hannah Arrendt dalam bukunya yang terkenal, The Human Condition (1958).

Kedua, membuka esai dengan menampilkan peristiwa dan kronik

Jika Anda menemukan tanggal penting, taruhlah di paragraf awal esai. Contohnya, pembuka tulisan S. Supomo berjudul “Men-Jawa-Kan Mahabharata” dalam Sadar: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, 2009.

14 Oktober 996 adalah tanggal yang sangat penting, kalau bukan yang terpenting, dalam sejarah terjemahan karya asing di Indonesia. Pada hari itu, untuk pertama kalinya berlangsung acara pembacaan Wirataparwa, buku pertama yang dapat diselesaikan dalam suatu proyek penerjemahan…

Ketiga, mulailah dengan cerita, dengan kisah

Hampir semua orang menyukai cerita. Berikut contoh paragraf yang diawali dengan kisah.

Orang dari Barat itu berkata kepada saya: “Tuan datang dari bangsa yang lebih tua, sejarah yang lebih jauh.” Dan saya pun tersenyum sopan: “hmmm … hmmmm….”

(Goenawan Mohamad, “nabi adam di pulau jawa” dalam Catatan Pinggir I, 1982)

Keempat, mengolah biodata dasar seperti tanggal dan tempat lahir

Misalnya pada paragraf pembuka tulisan Kuntowijoyo yang berjudul “Muslim Tanpa Masjid” dalam Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik.

Generasi baru Muslim telah lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui saudara-saudaranya. Kelahirannya bahkan tidak terdengar oleh Muslim yang lain. Tangisnya kalah keras oleh gemuruh teriakan-teriakan reformasi. Tanggal kelahirannya ialah 21 Mei 1998, yaitu ketika dengan terharu karena gembira kita menyaksikan bahwa pada tanggal itu para mahasiswa Muslim yang menduduki gedung MPR/DPR serentak mengadakan sujud syukur begitu mendengar bahwa Soeharto lengser.

Kelima, mengajukan sejumlah pertanyaan

Ada dua keuntungan membuka esai dengan pertanyaan yakni kita langsung ke jantung masalah dan kedua, dengan bertanya maka paragraf selanjutnya terasa “lebih ringan” karena berfokus pada pertanyaan pada paragraf pertama.

Contohnya:

Musim hujan interpelasi telah datang. Ketika masih harus mengurus interpelasi soal Resolusi Dewan Keamanan PBB tentang perluasan sanksi atas Iran, pemerintah saat ini mesti menghadapi interpelasi lain. Sejumlah cukup besar anggota DPR melayangkan interpelasi soal penanganan luapan lumpur Lapindo. Lalu, sejumlah anggota DPR juga mulai menggalang interpelasi soal kisruh minyak goreng.

Bagaimana kita memahami “radikalisasi” DPR ini? Apakah tengah terjadi penguatan oposisi dalam lembaga legislatif? Apakah peta politik kita sedang berubah dan pemerintah makin terpinggirkan oleh arus oposisi yang makin kuat, luas, dan besar?

(Eep Saefulloh Fatah, “interpelasi dan Oposisi Musiman”, Tempo, No. 18 Thn XXXVI, 25 Juni-1 Juli 2007)

Keenam, menyapa si Yang Mulia

Frasa “Yang Mulia” merupakan cara yang umum untuk membuka esai-pidato di forum-forum tertentu yang “sakral” atau esai-pledoi yang dibacakan di sebuah ruang pengadilan.

Contohnya :

Saudara ketua yang terhormat,

Pengadilan yang mulia,

Lebih dahulu saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya memberikan duplik atas replik saudara Jaksa.

(H.B. Jassin, “Imajinasi di Depan Hukum Pengadilan” dalam Pledoi Sastra: Kontrovesi Cerpen Langit Makin Mendung Ki Pandjikusmin)

Ketujuh, membuka esai dengan teori, metode, istilah kunci

Misalnya, paragraf pembuka dalam tulisan Kuntowijoyo yang berjudul “Strukturalisme Transedental” dalam Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik.

Tujuan tulisan ini sederhana saja: Mencari sebuah metode yang tepat guna menerapkan tes (Al-Quran dan As-Sunah) yang merujuk ke gejala-gejala sosial lima belas abad yang lalu di Arab pada konteks sosial masa kini dan di sini.

Kedelapan, membuka esai dengan paparan umum dan serangkaian pernyataan

Sah-sah saja membuka esai dengan paparan umum dan pernyataan. Misalnya paragraf pembuka esai Nurcholis Madjid berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan.

Dorongan untuk membahas masalah tersebut dalam judul ialah konstatasi bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychological striking force dalam perjuangannya.

Manakah cara membuat paragraf pembuka favoritmu?

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *