Seperti yang kita ketahui bersama, ada 4 kemampuan berbahasa, yakni menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. Keempat hal tersebut seharusnya berurutan. Dua hal pertama adalah dasarnya. Namun, dua hal terakhir kadang terjadi anomali. Ada orang yang mampu lancar berbicara, namun mengaku tak bisa menulis.
Segalanya terkait dengan kebiasaan. Apakah kita sudah membiasakan diri menyimak, membaca, menulis, dan berbicara? Coba tanyakan kepada diri kita masing-masing seberapa sering kita melakukan hal-hal itu?
Eka Kurniawan, penulis Indonesia pertama yang menjadi nominee The Man Booker Prize, pernah menulis di blognya: ia menulis minimal dua jam sehari. Dua jam dalam satu hari itu ia sediakan khusus di depan layar, tidak peduli seberapa banyak ia berhasil menciptakan sesuatu. Kadang satu paragraf, kadang satu kalimat! (Tentu, kenyataannya, boleh saja diselingi sambil meriset secara kualitatif tulisan kita)
Stephen King juga pernah bilang, kalau kita merasa tidak punya waktu untuk membaca, kita juga tak akan punya waktu menulis. Nah, pertanyaannya adalah, pernahkah kita menargetkan diri membaca sekian buku dalam setahun? Saya, ya! Target saya 50 buku dalam setahun. Tentu buku yang tematik. Buku sastra. Buku yang menambah pengetahuan kita. Buku yang sudah difilter. Karena buku seperti makanan. Kalau salah makan, kita bisa sakit perut. Kalau tak bergizi, kita tak akan bertumbuh kembang. Apakah target saya tercapai? Kadang-kadang tidak juga.
Poinnya adalah seangkuh-angkuhnya penulis, ia harus punya kerendahan hati di hadapan ilmu pengetahuan. Sama halnya seperti seorang pencinta alam tidak boleh sombong di hadapan alam. Keinginan untuk belajar dan terus belajar, mencoba sesuatu yang baru itu harus tetap dijaga. Puas dengan karya yang sudah pernah diciptakan sesungguhnya adalah kematian bagi seorang penulis.
Nah, sekarang bagaimana dengan teman kita yang mampu lancar berbicara, namun merasa tidak bisa menulis? Ada caranya.
Pada dasarnya, menulis itu adalah menggambar suara. Saya paling benci dengan banyak teori menulis. Siapa pun seharusnya hanya perlu menyadari suaranya sendiri. Bagaimana kamu bicara dengan orang lain? Atau bagaimana suara hatimu berbisik padamu? Kamu hanya harus mengenali itu. Jika kamu berhasil, kamu akan memiliki gaya ucap yang khas. Caramu menyusun kalimat, menghentikan kalimat akan menjadi caramu. Tinggal nanti kamu perlu mengingat kembali fungsi-fungsi tanda baca, diksi yang tepat, kalimat efektif dan efisien, agar apa yang kamu maksud itu sesuai dengan kaedah bahasa.
Cara mengenali suara itu juga bisa dengan menggunakan alat bantu. Ya, rekam suaramu. Misal, kamu mau menulis mengenai inflasi. Bicaralah dengan kaca atau seseorang sambil merekam ucapanmu sendiri. Lalu, putar rekaman itu, dan tuliskan. Sesederhana itu ‘kan?
Tapi, nanti tulisan saya jelek?
Hal ini paling sering saya dengar dari mereka yang mau menulis. Takut tulisannya jelek. Bro, Sis, sesungguhnya tak ada yang berharap tulisanmu bagus. Jadi, jangan takut jelek.
Saya selalu bilang, setiap tulisan itu bagus. Setidaknya bagus untuk dirinya sendiri. Lama-kelamaan kita akan sadar bagaimana cara memperbaiki tulisan kita. Itu butuh proses.
Seorang bayi tidak serta merta bisa berjalan. Apakah para orang tua mengejek anak mereka karena masih merangkak?
Toh, jelek itu bukan aib. Ingat kata Patrick, “Aku jelek, dan aku bangga!”
Sesungguhnya, tak ada alasan untuk tak menulis. Setidaknya, tulislah sebuah status setiap hari.