Simphoni
Simphoni (1957) : 37–39
“Aku tidak bermain bagi babi-babi!”
gerutu Beethoven.
Kita yang berdiri di tengah abad
di bilang dua puluh
dan menyangka harijadi
telah tertinggal jauh
makin samar:
mana asal, mana kejadian
mana jumlah, mana kadar
makin samar:
mana mulia, mana hina
mana kemajuan, mana kemunduran.
Katakanlah,
adakah kemajuan
kalau kita lebih banyak mendirikan
bank dan ruang gudang
dari kuil atau masjid
kalau kita lebih menimbang kasih orang
dengan uang dari hati
kalau kita lebih percaya kepada barang
dari bayang — Atau kemunduran? —
Katakanlah
mana lebih mulia:
kepala atau kaki
sifat ilahi atau alat kelamin
Semua melata di bidang demokrasi.
Mana lebih dulu:
Tuhan atau aku
Dia tak terbayang
kalau aku tak berangan.
Tuhan dan aku saling berdahulu
seperti ayam dengan telur
Siapa dulu?
Siapa manusia pertama:
Adam, Kayumerz atau Manu
Kitab mana yang harus dipercayai:
Quran, Avesta atau Weda Hindu.
Kapan dunia ini bermula:
di Firdaus, di Walhalla atau Jambudwipa.
Mengapa tidak di sini, di waktu ini
dan lahir seorang adam di setiap detik dan tempat
dan terdengar Kalam Tuhan di setiap sudut di darat?
Aku juga adam
yang terusir dari firdaus
karena dosa, karena kelemahan
karena goda perempuan.
Dunia berhenti dan
bermula lagi.
Mana lebih kekal:
Tubuh atau nyawa
Mana lebih haram:
Benda atau cita
Mana lebih keramat:
Angka atau makna
Makna itu keramat
karena tersimpan di hakikat.
Juga angka.
Meski jarang lagi
yang gemetar melihat angka
gasal: tiga, tujuh
atau tiga belas
yang tersurat pada dada
tanda jasad.
Angka ganjil, angka keramat.
Ganjil seperti letak empu
terselit di antara jari.
Ganjil seperti puncak gereja
yang menunjuk ke arah mega.
Penglihatan ini makin samar.
Makin samar.
Baca juga: Sajak Subagio Sastrowardoyo
Daerah Perbatasan
Daerah Perbatasan (1970) : 19–21
I
Kita selalu berada di daerah perbatasan
antara menang dan mati. Tak boleh lagi
ada kebimbangan memilih keputusan:
Adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.
Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,
Juga kehormatan bagi manusia
dan keturunan. Atau kita menyerah saja
kepada kehinaan dan hidup tak berarti.
Lebih baik mati. Mati lebih mulia
dan kekal daripada seribu tahun
terbelenggu dalam penyesalan.
Karena itu kita tetap di pos penjagaan
atau menyusup di lorong-lorong kota pedalaman
dengan pestol di pinggang dan bedil di tangan.
(Sepagi tadi sudah jatuh korban.) Hidup
menuntut pertaruhan, dan kematian hanya
menjamin kita menang. Tetapkan hati.
Tak boleh lagi ada kebimbangan
di tengah kelaliman terus mengancam.
Taruhannya hanya mati.
II
Kita telah banyak kehilangan :
waktu dan harta, kenangan dan teman setia
selama perjuangan ini. Apa yang kita capai:
Kemerdekaan buat bangsa, harga diri dan
hilangnya ketakutan kepada kesulitan.
Kita telah tahu apa artinya menderita
di tengah kelaparan dan putus asa. Kematian
hanya tantangan terakir yang sedia kita hadapi
demi kemenangan ini. Percayalah:
Buat kebahagiaan bersama
tak ada korban yang cukup berharga. Tapi
dalam kebebasan ini masih tinggal keresahan
yang tak kunjung berhenti: apa yang menanti
di hari esok: kedamaian atau pembunuhan
lagi. Begitu banyak kita mengalami kegagalan
dalam membangun hari depan: pendidikan
tak selesai, cita-cita pribadi hancur
dalam kekacauan bertempur, cinta yang putus
hanya oleh hilangnya pertalian. Tak ada yang terus
bisa berlangsung. Tak ada kepastian yang bertahan
Kita telah kehilangan kepercayaan kepada keabadian.
Semua hanya sementara: cinta kita, kesetiaan kita.
Kita hidup di tengah kesementaraan segala. Di luar
rumah terus menunggu seekor serigala.
III
Waktu peluru pertama meledak
Tak ada lagi hari minggu atau malam istirahat.
Tangan penuh kerja dan mata berjaga
mengawasi pantai dan langit yang hamil oleh kianat.
Mulut dan bumi berdiam diri. Satunya suara
hanya teriak nyawa yang lepas dari tubuh luka,
atau jerit hati mendendam mau membalas
kematian.
Harap berjaga. Kita memasuki daerah perang.
Kalau peluru pertama meledak
Kita harus paling dulu menyerang
dan mati atau menang.
Mintalah pamit kepada anak dan keluarga
dan bilang: Tak ada lagi waktu buat cinta
dan bersenang. Kita simpan kesenian dan
budaya di hari tua. Kita mengangkat senjata
selagi muda
dan mati atau menang.
(Tanpa Judul)
Daerah Perbatasan (1970) : 40
Kalau aku kembali ke kamarmu — mencumbu,
adalah karena aku rindu kepastian-kepastian
Pernahkah kau merasakan keinginan
untuk menggosokkan tubuh ke bumi
dan menciumnya lagi dan lagi?
Sebab tinggal hanya pasir ini dan pohon
dan perempuan (yang di ranjang menanti)
yang mengandung kepastian-kepastian
Keadaan jagat makin gawat:
Kau dengar semalam geretak gugusan bintang
bertabrakan? Itu
adalah tanda permulaan kehancuran
Bukalah kamar dan
jangan aku tolak!
Aduh, dan beri aku kepastian-kepastian
(Tanpa Judul)
Daerah Perbatasan (1970) : 44
Semua harus kita lihat dengan mata
di balik peristiwa, atau di pintu
di mana pernikahan berlaku, atau
pencekikan, barangkali
Dunia kita terima lewat cerita
yang ditinggalkan moyang di bumi
Hak milik hanya mata
memandang curiga
kepada muka dan berita
Manis, buka baju sebelum bercumbu,
Kita harus lihat dengan mata, semua
(Tanpa Judul)
Daerah Perbatasan (1970) : 45
Kau harus melewati lorong-lorong
menyinggahi rumah
dan merenungi mua-muka yang dikenal,
Sebab sekali waktu kau akan kembali
ke tempat ini — bermata rabun,
barangkali juga dengan tongkat
berpapah dari pintu ke pintu —
dan mencoba lagi mengingat
nomer rumah dan nama tetangga
sedang kenangan hanya melekat
pada perkenalan yang tergamit pada jari.
Asal saja ada angan-angan
tentang apa yang dijumpa.
Hanya ini yang dipunya: sepetak dunia
mungkin, satu pesegi.
Pembicaraan
Daerah Perbatasan (1970) : 55, 56, 58
I
Di mana berakir pembicaraan? Di ruang
dalam atau jauh di larut malam atau
waktu duduk belunjur menanti api mati di tepi tungku
Apakah tanda pembicaraan? Puntung
rokok yang belum habis dihisap atau sisa kopi di cangkir atau
suara tamu terakhir yang meninggalkan ambang pintu
Apakah hasil pembicaraan? Pertengkaran
mulut atau bual sombong sekedar membenarkan perbuatan atau
omong kosong mengisi waktu tak menentu
Ah, baik diam dan merasakan keramahan
pada tangan yang menjabat dan mata merindu
Dalam keheningan
detik waktu adalah pilu yang
menggores dalam kalbu
II
Kau harus memberi lagi
sebuah cermin dari kaca
di mana aku bisa melihat muka
atau bawa aku ke tepi kolam di kebun belakang
atau cukup matahari
yang menjatuhkan bayang hitamku di atas pasir
kau lantas berpaling dan bilang:
kita berdua di halaman
Sungguh, aku membutuhkan kawan
pada subuh hari
dan melalui kabut
menyambut tangan:
jangan takut!
atau suara
yang meyakinkan diri
aku tak sendiri
IV
Berdiri di balik dinding
kau menanti
tapi tak perawan lagi
tapi sebagai bidadari
bersayap
Aku bertiarap dengan tubuh luka
dari berkelahi. Mukamu tua.
Kau menyambut tanganku dan berkata:
— Kita telah banyak melihat dan mengalami,
Lewat dosa hanya kita bisa dewasa —
Dan kauantar aku ke kamar penganten
dengan hiasan bunga di kelambu
dan tilam biru bau kenanga
Kita capek dan bergulingan
sehingga lupa penyesalan
Hari mekar dan bercahaya:
Yang ada hanya sorga. Neraka
adalah rasa pahit di mulut
waktu bangun pagi
Juga Waktu
Daerah Perbatasan (1970) : 63
Kita tak pernah memiliki
Rumah yang kita diami semusim
telah dituntut kembali
Dan tanah yang kita pijak
makin larut dalam pasang laut
Sedang kesetiaan yang dijanjikan kekasih
berhenti pada kianat
Dan nyawa ini sendiri
terancam setiap saat
Tak ada yang kita punya
Yang kita bisa hanya
membekaskan telapak kaki,
dalam, sangat dalam,
ke pasir,
Lalu cepat lari sebelum
semuanya berakir
Semuanya luput
Juga waktu
Di Pojok Jalan
Daerah Perbatasan (1970) : 66
Bahwa kita hidup adalah perjanjian
dengan bumi: bahwa kita akan setia
kepada istri, dan kepada anak
merasa sayang. Kita bersatu dengan awan,
dengan bunga dan binatang. Kepada
tanah terikat dengan kebaktian dan tekat.
Perjanjian diikrarkan dengan darah
dinihari, di daerah perbatasan
antara lahir dan mati.
Amat sederhana: di pojok jalan
manusia kurus menangkup bunuh diri.
Dan Kematian Makin Akrab
Daerah Perbatasan (1970) : 69–70
(Sebuah Nyanyian Kabung)
Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali —
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti — mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga : — Matiku muda —
Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya.
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana.
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa — itu bahasa
semesta yang dimengerti —
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin.
— Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih
juga angan-angan dan selera
keisengan —
Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
— Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit —
Tentang Subagio Sastrowardoyo
Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur. Setelah menamatkan studi pada jurusan sastra timur di Universitas Gajah Mada, ia memperdalam pengetahuannya pada Department of Comparative Literature Universitas Yale di Amerika Serikat.
Kariernya dalam bidang seni dimulai pada zaman revolusi dengan menyanyi dan melukis. Baru tahun limapuluhan ia mulai menulis cerita pendek, sajak, dan esai. Karya Subagio yang berbentuk kumpulan puisi, yaitu Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Keroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979) yang kemudian terbit kembali di bawah judul Hari dan Hara (1982), Simfoni Dua (1989), serta Dan Kematian Makin Akrab (1995). Kumpulan cerpennya berjudul Kejantanan di Sumbing (1965). Kumpulan esai, yaitu Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Sosok Pribadi dalam Sajak (1980), Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989).
One Comment