PTN BH dalam Sudut Pandang Keuangan Negara

Jadi, hari ini tuh aku ikut FGD Keuangan Negara dengan tema PTN BH. Meski tidak lama di Probiskum, ya adalah sepukul-dua pukul pemahaman mengenai Hukum Keuangan Negara. Dan di FGD itu aku gelisah karena ada ucapan bahwa lahirnya PTN BH tidak terlepas dari reformasi Keuangan Negara yang ditandai dengan lahirnya paket UU Keuangan Negara yakni UU 17 2003, UU 1 2004, dan UU 15 2004. Tentu saja ini ngaco!

Sebelum kenapanya, kita harus kembali ke basic, ke alam pikir, ke filosofi Hukum Keuangan Negara. Bahwa Hukum Keuangan Negara itu sub Tata Negara, dan karena itu kita harus kembali ke UUD 1945.

Di Pasal 23 UUD 1945, adalah Hal Keuangan. Bahwa apa-apa yang menjadi tujuan bernegara yang ada di pembukaan UUD 1945 itu sebagai hak dan kewajibannya tertuang di dalam APBN. Jadi APBN/Keuangan Negara itu jangan dipandang sebagai uang semata, melainkan soal hak dan kewajiban. Nah, tujuan-tujuan itu pun dimanifestasi menjadi “fungsi” di dalam APBN. Maka kita kenal ada fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial.

Apa maknanya? Bahwa dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut ya ditetapkan dalam APBN dan harus tunduk pada Hal Keuangan Negara yang kemudian diatur khusus dalam UU Keuangan Negara.

Jika ada institusi/aturan lain yang mendorong dana pendidikan dikeluarkan dari APBN, artinya itu adalah pengkhianatan terhadap hak dan kewajiban pendidikan, atau sebuah rasa tidak malu atas pengakuan bahwa Negara tidak mampu mendanai pendidikan bangsanya.

Keuangan Negara (dalam arti luas) itu terbagi menjadi kekayaan yang tidak dipisahkan (APBN) dan kekayaan yang dipisahkan (BUMN). Apa sih maksudnya kekayaan yang dipisahkan itu? Negara dalam hak dan kewajiban itu ingin melakukan suatu tugas pelayanan yang memiliki fleksibilitas dalam tata kelolanya, dengan cara memisahkan kekayaannya melalui investasi/penanaman modal negara (PMN) oleh Menteri Keuangan atas persetujuan Legislatif ke badan hukum.

Nah, yang bikin aku mengernyit adalah status PTN BH disebut sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, kecuali tanah. Dengan alur pikir Keuangan Negara, bagaimana caranya PTN BH bisa disebut sebagai kekayaan negara yang dipisahkan (dengan pengecualian tanah)? Apakah ada PMN? Ternyata hal tersebut merupakan amanat UU 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Kok bisa UU Perguruan Tinggi “mengatur” Hal Keuangan, yang di dalam Pasal 23 UUD 1945 diamanatkan harus diatur khusus (yakni dalam paket UU Keuangan Negara)?

Terlebih dalam perjalannya, Keuangan PTN BH yang masih mengharapkan adanya kemandirian (otonomi) yang luas dalam bidang keuangan sebagai badan hukum mandiri yang telah melakukan pemisahan kekayaannya, yang untungnya harapan PTN BH tersebut dihadapkan kepada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 48/PUU-XI/2013 tanggal 18 September 2014 yang menyatakan menolak permohonan pemohon atas uji materi Pasal 2 huruf g dan huruf i UU 17/2003. Artinya, kekayaan negara yang dipisahkan pada PTN BH termasuk ke dalam ruang lingkup keuangan negara.

Alam Pikir soal pendidikan yang fleksibel itu sebenarnya sudah termaktub dalam UU 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di sanalah lahir konsep Badan Layanan Umum, yang sebenarnya turun dari fungsi-fungsi APBN tadi (yang waktu kelahirannya sebenarnya hanya mencakup 2+1 fungsi, yakni Kesehatan dan Pendidikan, dan lainnya–yang kini berkembang jadi banyak rumpun).

Apa sih semangat BLU? Ialah percepatan dengan adanya fleksibilitas dalam mengelola aset, mengelola penerimaannya agar lebih berkembang. Pengelolaan keuangan BLU sebenarnya sudah memisahkan sumber dana belanja berdasarkan jenis biayanya. Sumber dana penerimaannya (PNBP) digunakan untuk kegiatan operasional sedangkan RM yang berasal dari APBN digunakan untuk investasi/ekspansi namun untuk belanja pegawai, barang, maupun modal dapat menggunakan sumber dana belanja RM maupun sumber dana dari PNBP. Sekilas membingungkan, tapi ini karena tujuan BLU adalah pelayanan. Dalam hal pendidikan, semangatnya ya untuk menyediakan biaya pendidikan tinggi yang murah. Karena itu sebelum mandiri betul, sah apabila BLU Pendidikan masih banyak memakai RM baik untuk belanja pegawai, barang, dan modal. Jika perlahan menuju mandiri ya baru RM tersebut pelan-pelan bisa dikurangi. Yang penting semangatnya adalah tetap pendidikan tingginya murah dan semakin berkualitas.

Nah, dalam FGD tersebut, saya bingung ketika terbaca bahwa BLU kurang fleksibilitas dalam pengelolaan aset, bla bla. Jika ada praktiknya seperti itu, aturan teknisnya seperti itu, ya itu yang harus dirumuskan bersama untuk kebijakan yang lebih baik. Filosofi pembentukannya ya nggak kayak gitu, Bos!

Sebenarnya, masih banyak kegelisahan terkait data-data keuangan Univ transformasi menjadi PTN BH itu debatable. Sebagaimana salah satu kriteria untuk menjadi PTN BH itu kemandirian finansial…. bagaimana kok ada universitas disebut mandiri finansial padahal PNBP-nya masih sekitar 10% dari biaya operasional? Kalau disuruh kreatif dalam memunculkan unit bisnis untuk sumber pembiayaan anggaran kampusnya, lalu kenyataannya masih jauh dari target, ya satu-satunya cara “paling mudah” untuk menaikkan penerimaan adalah dengan…. yak, menaikkan UKT! Dan itulah yang terjadi sekarang sehingga lekat dan identik, perubahan status menjadi PTN BH = kenaikan UKT!

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *