Bercermin pada Natsuo Kirino

 

Aku harus berterima kasih kepada Ardy Kresna Crenata karena suatu hari dia menyebut Natsuo Kirino di statusnya. Tidak lama setelah itu, aku pulang ke Palembang, dan melihat satu buku masih terbungkus plastik tergeletak di atas meja. Buku itu kakakku yang beli. Judulnya Grotesque. Pengarangnya Natsuo Kirino.

Grotesque bicara lebih dari perempuan. Grotesque juga bicara lebih dari hierarki sosial. Grotesque menunjukkan kepadaku bahwa kebahagiaan memiliki makna yang unik. Ketika selesai membaca novel ini, salah satu pertanyaan yang muncul di benakku adalah siapakah di antara tokoh-tokohnya yang merasa paling bahagia?

Aku jadi ingat masa laluku. Ketika aku duduk di bangku Sekolah Dasar, tepatnya kenaikan kelas 4 SD, hidupku berubah. Kala itu ada tes satu kecamatan untuk menentukan siapa saja yang masuk ke kelas unggulan. Tesnya tertulis. Sebelumnya di kelas 3, aku selalu menduduki peringkat III selama 3 caturwulan berturut-turut. Di atasku ada Mega, anak tentara pindahan dari Jakarta yang sepertinya sudah mengenyam pendidikan lebih baik. Juga Mursal, yang selalu menduduki peringkat II. Tapi tak disangka, pada tes itu, nilaiku terbaik se-Kecamatan.

Aku bukanlah murid yang menonjol di kelas. Aku menyadari aku cukup cerdas, tetapi aku tidak pernah aktif di kelas. Aku tidak pernah maju atau pun menunjukkan tangan ketika guru bertanya. Aku diam saja di bangkuku, dan mencoret-coreti buku tulisku itu.

Aku dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah. Di sana sudah ada pejabat dari Dinas Pendidikan. Kepala Sekolahku bertanya, “Kamu anaknya siapa?” Aku menjawab nama Bapakku. Dan ia manggut-manggut dan berkata, “Pantas saja. Bibitnya sudah unggul.”

Hari itu, di awal kelas 4 SD, aku memahami makna kalimat tersebut dan menanggungnya di pundakku seakan-akan aku hidup di bawah nama orang tuaku. Di sisi lain, saat itu aku sudah berpikir, suatu hari aku harus keluar dari bayang-bayang orang tuaku.

Grotesque juga bicara itu. Pendidikan dan orang tua. Keluarga-keluarga kaya memasukkan anak-anaknya di sekolah berkualitas sejak sekolah dasar untuk menempuh hidup yang lebih baik. Di luar itu, keluarga lain begitu bangga ketika pada masa sekolah menengah, sekolah lanjutan, ada anaknya yang berhasil masuk ke dalam sistem tersebut. Satu strata terbentuk dari jenjang pendidikan. Mereka yang berpendidikan di sekolah yang bagus akan lebih mungkin mendapat pekerjaan yang lebih baik. Dan nilai manusia ditentukan dari situ.

Itulah yang ada di benak Kazue Sato. Ia berusaha mati-matian untuk masuk ke dalam sistem. Ketika sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan papan atas G, ia justru bekerja sampingan sebagai pelacur demi targetnya mendapatkan tabungan 10 juta yen sebelum umur 40 tahun. Dengan demikian, ia bisa menghabiskan sisa hidupnya dalam kenyamanan dan melepaskan diri dari bayang-bayang keluarganya. Ya, sejak kematian ayahnya, lulusan universitas Tokoyo, yang menerapkan strata pendidikan secara ketat, ia menjadi tulang punggung keluarga dan menganggap keluarganya sebagai beban penghidupan.

Jalan hidup Kazue juga tak terlepas dari peran Yuriko. Ketika Kazue melihatnya di masa sekolah, kecantikannya yang luar biasa (sampai-sampai disebut Monster) membuat Kazue terpana. Bahkan nama jalanannya adalah Yuri. Diambil dari Yuriko. Betapa terkejutnya ketika suatu malam ia melihat Yuriko yang bak siang dan malam dengannya itu juga menjadi pelacur jalanan dengan lapisan lemak yang menumpuk. Kecantikannya memudar dimakan usia.

Lalu, apakah Yuriko tidak bahagia dengan jalan hidupnya? Dalam bersitan pemikiran sang tokoh utama, Yuriko memanglah perempuan yang tak bisa tanpa air. Sejak keperawanannya hilang oleh pamannya sendiri, ia begitu menyukai seks. Dengan seks, ia bisa berada di atas laki-laki. Itu yang ada di benak Kazue juga. Dengan seks pula, Yuriko bebas dari segala hierarki sosial yang ada. Ia bisa bercinta dengan ia siapa saja. Ia juga bisa bercinta demi tiga juta yen atau pun tiga ribu yen.

Beda lagi dengan Mitsuru yang menjadi murid terpintar di sekolah. Ia harus menyewa tempat tinggal di tempat yang lebih mewah, membayar mahal untuk itu, padahal ibunya adalah pemilik bar. Meski dari sisi akademis ia mendapatkan semua yang diinginkan, ia kemudian terjebak dalam aliran keagamaan tertentu demi hierarki yang lebih tinggi. Andai, ia tetap berpuas diri pada apa yang telah diraihnya, mungkin ia akan jadi dokter selamanya. Tapi, apakah Mitsuru tidak bahagia setelah dua tahun dipenjara dan menyaksikan suaminya dihukum seumur hidup?

Keengganan Mitsuru yang lahir dan punya ibu di distrik P, sebuah tempat non-elite, juga menjadi pertanyaan bagi Zhang, pembunuh Yuriko. Zhang yang lahir sebagai anak dusun selalu bertanya, apakah hidup kita ditentukan dari tempat lahir kita?

Kini, giliran aku yang berpikir tentang sebuah dalil yang mengatakan semua bayi itu suci dan tidak berdosa. Orang tualah yang menentukan mereka Islam, Yahudi, Nasrani atau Majusi. Apakah itu juga berarti orang tuanya juga yang menentukan strata hidup anaknya? Seorang anak yang dilahirkan di keluarga kaya akan menikmati kemewahan dan status sosial yang diberikan ayahnya. Tetapi anak yang dilahirkan di keluarga miskin, akan hidup di atas kemiskinan itu. Tentu sangat sedikit orang tidak berada yang bisa menaikkan status hidupnya. Begitu pun sangat sedikit orang yang sudah kaya dan terhormat mendadak bisa turun menjadi melarat.

Hidup seperti ini menggangguku. Sepanjang membaca Grotesque, aku begitu gelisah dan tak dapat tak berpikir, bagaimana hidup seperti ini ada?

PS:
Sampai terakhir, aku tak tahu nama tokoh utamanya. Siapa nama kakak Yuriko?
Apakah dengan demikian, Natsuo Kirino hendak berkata diri kita yang bercerita tidak pernah penting dari apa-apa yang ada di dalam cerita?

 

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *