Goblin dan Siwa: Mengenali Ketuhanan

 

Siwa
Novel Siwa

Aku akan kembali sebagai hujan. Aku akan menemuimu lagi sebagai salju pertama. Aku akan berdoa kepada Yang Kuasa agar aku bisa melakukan semua hal itu.

~ Kim Shin

Kalimat itulah yang dikatakan Kim Shin (diperankan Gong Yoo) dalam drama Goblin, A Lonely God kepada Ji Eun Tak manakala ia akan lenyap setelah 900 tahun hidup di dunia.

Sebelum menjadi Goblin, Kim Shin adalah seorang jenderal yang disegani. Ia selalu memenangkan perang. Kedigdayaannya ternyata menjadi pedang bermata dua karena Sang Raja malah menjadi takut kalah pamor. Kim Shin yang sangat setia pada rajanya itu malah harus dihukum, dan menyaksikan seluruh keluarganya dibantai oleh penguasa. Ia ditikam pedang pemberian rajanya sendiri. Ketika ia sekarat ia berdialog sungguh dengan Yang Kuasa. Kim Shin yang seharusnya mati malah tidak mati, tidak dapat mati. Ia menjadi abadi, dengan pedang tertancap di jantungnya. Ia baru akan mati ketika ada yang dapat melihat dan mencabut pedang itu. Keabadian bagi Kim Shin bukan berarti kebahagiaan, melainkan kutukan, karena selama 900 tahun ia mengingat semua kenangan pedih yang ia rasakan, melihat orang datang dan pergi dalam hidupnya menemui maut.

Goblin
Kim Shin

Senada dengan itu, pada cerita yang berbeda, hiduplah seorang Siwa. Ia manusia biasa, pemimpin dari sebuah suku di pedalaman Tibet. Hidup membawanya ke Meluha, sebuah negeri berwangsa Surya yang penduduknya memiliki umur yang panjang, dengan tatanan hidup yang rapi dan tertata. Umur panjang mereka dikarenakan mereka meminum Somras, minuman ajaib, yang juga disuguhkan kepada Siwa dan teman-temannya. Yang terjadi adalah, leher Siwa menjadi berwarna nila. Karena itu ia dipanggil Sang Nilakantha, Sang Penyelamat yang akan memimpin kebaikan melawan kejahatan.

Baik Kim Shin maupun Siwa bermula dari manusia biasa.

Sebagai Goblin, Kim Shin memiliki keistimewaan. Kadang-kadang ia dapat mengabulkan permintaan. Bukan sembarang permintaan, melainkan permintaan yang sungguh-sungguh. Ia akan mendengar semua itu dan memenuhinya. Kebijaksanaan Goblin ini membuatnya juga disebut sebagai dewa. Tapi bukan ia satu-satunya dewa di drama itu. Tokoh lain ada yang disebut dengan deity dan almightyDeity merujuk ke Dewata. Almighty merujuk kepada Yang Kuasa.

Sementara itu, begitu sampai di Meluha, Siwa mulai mempertanyakan banyak hal tentang dunia ini. Kebaikan dan kejahatan. Kebenaran dan kesalahan. Ia berjumpa dengan beberapa brahmana, dan berdialog dengan mereka. Awalnya, banyak hal tak masuk akal baginya. Ia diajarkan tentang keseimbangan alam, bahwa kebaikan dan kejahatan memang diciptakan berpasangan secara seimbang. Tatanan yang ada di Meluha pun ia gugat. Ia memenuhi takdirnya untuk melengkapi kebijakan Sri Rama, menjadi seorang dewa… bahkan Mahadewa.

Dialog dengan basudewa pun sangat menarik. Dialog tersebut terjadi di alam mimpi. Siwa ditanya, apakah warna daun? Siwa yang sangat logis menjawab daun itu berwarna hijau. Namun, sang basudewa mengatakan tentang cahaya. Cahaya berwarna putih karena beberapa spektrum yang menyatu. Ketika terkena titik-titik air… spektrum yang menyatu itu kembali terlihat. Itulah pelangi. Ketika cahaya jatuh pada sebuah benda, maka sebenarnya batu itu menyerap cahaya. Ketidakmampuan benda dalam menyerap spektrum cahaya akan menampilkan warna spektrum tersebut. Jadi, apakah daun berwarna hijau atau karena ia tak dapat memiliki hijau di dirinya?

Siwa pun menerima takdir itu. Ia akan menjadi Mahadewa, menyeimbangkan dunia ini.

Lalu apa hubungannya Goblin dan Siwa dalam perspektif ketuhanan? Pada titik ini, saya menyadari, pada dasarnya Tuhan itu satu di semua ajaran. Tidak ada agama atau ajaran yang menyembah banyak Tuhan. Allah, Sang Hyang Tunggal, Almighty, Yahweh, Alah… apapun sebutannya, Sang Maha Kuasa itu ada di atas segalanya. Bahkan Einstein mengatakan, ada sesuatu yang menciptakan segala ini, meski dia tak tahu apa.

Hara hara Mahadewa. Setiap orang adalah Mahadewa, kata Siwa. Manunggaling kawulo nan Gusti, kata Siti Jenar. Aku Tuhan, kata Yesus ketika penyaliban. Jika Tuhan meliputi seluruh alam semesta, bagian dari alam semesta itu adalah diriNya juga… dan ada kalanya, suatu kesadaran tentang itu datang baik dari sisi subjek maupun objeknya. Makanya, bahkan ketika seorang pencinta sedang khusuk dalam cintanya, ia akan melihat wujud Tuhan pada orang yang dicintainya.

Rumitkah?

 

 

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *