Keuangan Negara dan Suatu Maksud

Beberapa waktu lalu, publik terhenyak manakala Tom Lembong dijadikan tersangka korupsi impor gula oleh kejaksanaan. Aku sempat berkomentar sedikit di X, sebelum kuhapus karena…. banyak karenanya. Tapi sebelum dihapus, ada yang membalas cuitanku dan “memamerkan” pengetahuannya tentang Keuangan Negara (alias mengoreksi cuitanku).

Orang yang mengenalku di dunia kerja juga banyak yang tidak tahu bahwa aku sempat ditempatkan di unit Proses Bisnis dan Hukum Keuangan Negara (Probiskum) di DSP. Mereka tahunya selama aku di DSP, ya aku hanya di Litbang. Namun karena suatu masalah dengan atasan (YTTA), aku akhirnya minta dipindahkan dan Probiskum menjadi tujuanku selanjutnya.

Ya, di Probiskum inilah sumber utama ilmu Hukum Keuangan Negara. Sebab saat itu, Kasubditnya Pak Syakran, murid langsung dari otak dibalik UU Keuangan Negara, Pak Siswo Sujanto. Beliau bolak-balik “dipakai” sebagai ahli hukum keuangan negara dalam berbagai kasus. Dan dari situ aku belajar banyak hal.

Baca Dulu: PTN BH dalam Sudut Pandang Keuangan Negara

Namun, ada banyak penyesalan setelah pergi dari Probiskum. Pada hari pertama aku masuk ke Probiskum, beliau memanggilku dan bertanya apa yang bisa kulakukan di sini. Tentu saja aku bingung. Soalnya, aku tidak punya latar belakang hukum. Aku juga belum memahami utuh UU Keuangan Negara dan turunannya. Beliau kemudian mengatakan, “Tulis saja, Dik!” (Beliau memanggil “Dik” kepada semua staf).

2019 berlalu, kemudian kita tahu, Covid-19 datang. Beliau mengambil inisiatif “merumahkan” pegawainya. Kami dilarang datang kecuali ada hal penting. Instuksinya itu terjadi sebelum instruksi resmi untuk WFH dari kantor pusat, karena menurut beliau, hukum tertinggi itu adalah keselamatan rakyat… jadi ya, keselamatan pegawai selalu diutamakan oleh beliau.

Berbagai kegiatan dilakukan secara daring, dan tetap saja rasanya upgrade ilmuku sangat terbatas. Biasanya para staf mendampingi setiap ada pemanggilan ahli, namun karena online, itu yang tidak kualami. Percayalah, menghadiri persidangan suatu kasus, itu bisa dapat ilmu yang banyak sekali dengan pemahaman yang filosofis maupun praktikal.

Singkat kata, aku lulus beasiswa tugas belajar, dan saat kembali aku bertemu dengan Pak Syakran lagi, dan dia bertanya, “Ada ide apa, Dik, untuk Probiskum kita?”

Tololnya aku yang saat itu baru kembali bekerja berkata, “Sebentar, Pak, masih penyesuaian dulu.” Padahal di kepalaku ada ide dan aku hanya tidak percaya diri mengungkapkannya. Aku ingin sekali mendokumentasikan setiap kasus yang pernah melibatkan Probiskum dan merinci wisdom-nya untuk kemudian dijadikan pelajaran bagi insan perbendaharaan.

Nah, ketika Tom Lembong dijadikan tersangka, sebenarnya tidak sulit untuk menjelaskannya dari sudut pandang Hukum Keuangan Negara. Banyak orang bertanya, apakah boleh Tom Lembong dijadikan tersangka korupsi? Jawabannya boleh. Ada 2 unsur yang harus dipenuhi di situ. Pertama, terjadi kerugian keuangan negara. Siapa yang menentukannya? Penyidik, biasanya setelah berkonsultasi dengan ahli hukum kerugian negara untuk menentukan di mana titik kerugian keuangan negaranya. Kedua, adanya perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum itu bisa melanggar SOP, atau membuat aturan yang bertentangan dengan aturan di atasnya atau dengan filosofi GCG (karena filosofi di atas hukum).

Nah, kalau salah satu dari hal tersebut gugur, ya tidak bisa disebut korupsi. Di persidangan, ya utamanya dua hal itu yang harus dibuktikan. Kayaknya mudah ya, tapi yang ribet. Akan ada adu ahli tentang titik kerugian keuangan negara. Dalam kasus Tom, kerugian keuangan negara versi Kejaksaan juga debatable sih sebenarnya. Selain itu, sisi perbuatan melawan hukumnya juga sangat bisa dipertanyakan. Pengen banget sebenarnya nulis apa, kenapa, dan bagaimananya, tapi…. banyak tapinya. Yang berseliweran sudah banyak.

Pertanyaan yang sering ditanyakan masyarakat kedua, “Kan nggak ada bukti aliran dananya?” Ya, kalau ini aku setuju bahwa aliran dana itu persoalan berikutnya. Frasanya pun “…atau memperkaya orang lain”, jadi sebenarnya tidak butuh amat. Kalau bisa ditemukan, ya itu hanya akan jadi alat penambah hukuman. Bahkan konstruksi hukumnya adalah, “kelalaian yang menyebabkan terjadinya pidana adalah… pidana.”

Makanya, berat banget jadi pejabat tuh. Nggak cukup baik dan bersih. Tapi juga harus kompeten. Eh, nggak cukup juga. Harus punya circle birokrasi yang baik juga. Kalau nggak, lalai sedikit, didorong ke jurang. Dan dalam politik, lumrah, memasang jebakan betmen di mana-mana, agar nanti ketika tiba saatnya sebagai lawan politik, hasil dari jebakan-jebakan yang sudah dipasang itu bisa digunakan untuk menyerang lawannya. Begitu anu ya!

Akhir kata, apalah tulisan ini, semoga bisa konsisten mengikuti tantangan ISB Community untuk rutin menulis organik di blog. Tulisan ini dengan tema mengisi blank spot: bagaimana kontribusi kamu saat mengisi celah keilmuan yang belum banyak diangkat dan cenderung terabaikan. Boleh dari bidang apapun. Nah, apakah Keuangan Negara boleh terus kita angkat?

Tapi apa berani… Hehe.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *