Cerita ini milik seorang teman dari temanku.
Ada seorang tokoh fiksi yang dekat dengan penulisnya bercerita bahwa ia ingin segala sesuatu sudah siap di meja makan pada jam makan siang. Bagaimanapun caranya, walau 1 jam lagi dunia kiamat, orang-orang ribut di luar mencari cara menyelematkan diri, atau satu per satu masyarakat melakukan bunuh diri ketimbang melihat ada sebuah meteor besar menyentuh permukaan bumi, menimbulkan ledakan berjuta kali lipat dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, dan yang selamat dari ledakan itu tinggal menunggu maut dan kepunahan seperti dinosaurus di masa lampau, tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa dan tidak boleh dilakukan oleh lelaki. Itulah alasan Tuhan mencabut satu tulang rusuk dari dada lelaki kemudian menciptakan perempuan.
Aku tidak pernah mendengar cerita seaneh itu sejak sebuah cerita lain mengatakan ada lelaki tua yang bisa bicara dengan kucing. Setiap kali lelaki itu membuka payung, hujan akan turun. Bukan hanya titik-titik air yang turun, kadang-kadang juga ikan sarden dan bahkan lintah.
Teman dari temanku itu—aku tidak tahu apakah dia seorang penulis, tapi keputusannya untuk menceritakan hal itu kepada temanku menunjukkan cerita ini adalah sesuatu yang penting. “Apa kau sependapat dengan temanku yang bilang kalau yah, para perempuan seharusnya pandai memasak?” tanya temanku itu sambil masih memegang ponselnya. Ia tidak menatapku sama sekali dalam pertanyaan itu. Aku merasa sedikit tersinggung dan tidak segera menjawab dan sengaja mengetukkan jari-jariku di meja kaca, mencoba menyusun nada yang asal-asalan agar ia mengerti ponsel sialan itu tidak bisa menggantikan pertemuan macam apapun.
“Apakah tokoh fiksi, perempuan, juga harus pandai memasak?” Kali ini ia menegakkan kepalanya, lurus, menatap mataku dan aku merasa benar, dalam tatapan mata kita bisa melihat banyak hal. Terlepas ia menggunakan kontak lensa, yang berwarna cokelat, bulat, dan lama-lama terlihat mengerikan, aku banyak melihat keputusasaan dari dalam matanya itu.
Aku merasa teman dari temanku itu bukan sekadar teman biasa. Aku diam-diam memberanikan diri untuk bertanya hal lain, bukan menjawab pertanyaannya untuk menjawab rasa penasaranku. “Kau mencintai temanmu itu?”
Ada bunyi gemuruh di langit menembus dinding kaca tempat kami duduk sekarang ini. Aku mengalihkan pandangaku sebentar ke luar. Awan hitam bernaung di sana. Klakson-klakson menjerit hampir bersamaan ketika ada seorang lelaki yang menyeberang begitu saja, berlari, menutupi kepalanya dengan tasnya, tidak di tempat penyeberangan yang seharusnya.
Aku kembali menatap temanku itu lagi. Dia belum selesai menyiapkan jawabannya. Aku tidak tahu kenapa harus selama itu menyiapkan sebuah jawaban yang hanya terdiri dari satu kata. Aku agak curiga, jangan-jangan temanku juga punya bakat menjadi seorang penulis. Penulis yang baik tentu penulis yang pandai bertele-tele.
“Apa kau tertarik dengan kehidupan pribadiku?” Tuh kan. Dia mengelak-tidak mengelak. Dia mengambil gelas kopinya yang masih mengepulkan asap panas. Asap itu punya aroma khusus yang membuatku mual. Meski berbeda sebab, mual tetaplah mual. Mual karena berada di bis tak ber-ac yang sumpek dijejali penumpang adalah mual yang sama dengan aroma asap kopi.
“Aku tidak tertarik dengan kehidupanmu. Tetapi bagaimana bila kubilang, aku tertarik dengan pribadimu?”
Aku pikir pertanyaanku dapat membuatnya sedikit terkejut atau gelagapan, salah tingkah. Tapi dengan tenang ia menjawab, “Aku sudah biasa menerima rayuan.”
Menatap gelas kopinya, aku teringat gelas air putihku yang hangat. Ia tidak memesan apapun untuk pertemuan makan siang pertama kami. Aku memesan kwetiau dan banana split dan mengingat-ingat bentuk sebuah pisang adakalanya mirip dengan sebuah senyuman. Monyet-monyet menyukai pisang karena mengira itu buah yang ramah. Tapi bukan berarti aku mengamini Charles Darwin atau bukan juga dengan membantah Darwin berarti aku setuju dengan Landmark. Aku hanya menyukai pisang, apalagi jika disertai dengan es krim.
“Tentang tokoh fiksi itu…” aku mengembalikan arah pembicaraan pada topik mula-mula. “Dia lelaki yang bagaimana?”
“Nah, itu, aku juga tidak tahu persisnya, menurutku dia seorang yang egois…”
“Egois?”
“Iya betul. Temanku bilang, kadang-kadang dia merasa tokoh fiksinya itu tidak mau diberi karakter yang sesuai dengan isi kepala temanku. Dia suka berontak. Termasuk dalam cerita ini. Bayangkan, dia ingin perempuan tunduk di bawah kaki para lelaki.”
“Jadi dia seorang maskulin sejati atau antifeminisme begitu?”
“Tidak tahu juga, ya… dia tidak melarang istrinya bekerja asalkan setiap jam makan, terutama makan siang, meja makan harus sudah tersiapkan segala sesuatunya. Semua makanan yang dia suka harus ada di sana. Itu menggelikan, bukan?”
“Memangnya apa makanan kesukaannya?”
“Apa ya? Umm… sebentar aku ingat-ingat dulu.”
Lalu temanku itu tampak berpikir serius. Dia mengernyitkan alisnya, menaikkan bola matanya satu bergantian. Aku pun membayangkan bola lampu di sisi atas kepalanya. Aku tidak peduli benar apakah bola lampu itu ditemukan Thomas Alfa Edison atau sebenarnya ia mencurinya dari Tesla. Hanya aku merasa penasaran siapa orang pertama yang memetaforakan ingatan, ide, solusi, dengan bola lampu. Di situ kadang aku merasa geli sendiri jika setiap bola lampu butuh listrik untuk menyala, dan setiap aliran listrik harus dibayar setiap bulannya, dan setiap tahun kenaikan tarif dasar listrik bisa terjadi, berapa banyak uang yang harus dibayar untuk memasang bola lampu imajiner itu di atas kepala manusia. Barangkali juga karena sadar hal itu, bola lampu itu tidak sering-sering menyala sebagai upaya penghematan. Namun sehemat-hematnya, setidak begitu seringnya bola lampu itu menyala, abodemennya juga tetap harus dibayar.
“Ah iya, sayur bayam. Dia suka sayur bayam!” teriak temanku kencang-kencang. Semua pelanggan kafe yang lain menoleh ke arah kami.
“Hush, jangan ndeso kamu. Pelan-pelan saja ngomongnya.”
“Ya tapi ini kan ekspresiku. Ini barangkali persis seperti ketika Newton kejatuhan apel dan menemukan hukum gravitasi. Senang. Ketemu. Kau sih tak pernah mengalami hal-hal semenarik menemukan ingatan.”
Aku tidak bermaksud mengganggu kesumringahan temanku itu tatkala kukatakan padanya bahwa Newton dan apel itu cuma mitos. Kenyataannya, butuh sekitar 20 tahun bagi Newton untuk merumuskan Hukum Gravitasi.
“Kamu pernah dengar teori 10.000 jam?” tanyaku untuk membuatnya tak bersungut-sungut lagi. “Begini, untuk mahir dalam sesuatu, seseorang harus berlatih minimal 10.000 jam dalam 10 tahun. Di bidang apa saja. Aku pikir jika seseorang sudah berlatih berpikir dalam 10.000 jam, selanjutnya orang itu tak akan kesulitan lagi untuk berpikir.”
“Kau menyinggungku?” tanyanya masih dengan nada yang marah.
“Tidak, bukan begitu. Walau ada iyanya juga sih. Kalau kita terbiasa mengingat sesuatu, sudah 10.000 jam mengingat-ingat sesuatu, selanjutnya, kita tak perlu mengingat-ingat untuk mengingat sesuatu itu. Kalau temanmu sudah menulis 10.000 jam, aku yakin juga, ia tidak perlu khawatir tokoh fiksinya berontak kepadanya. Dan kalau istri tokoh fiksi itu sudah berlatih 10.000 jam untuk bisa memasak, maka ia akan bisa memasak dan mampu menyiapkan meja makan dan seluruh isinya dengan cepat.” Aku cukup puas menciptakan kesimpulan ini.
“Tapi itu tidak menjawab pertanyaanku. Kau ini bodoh, ya?”
Aku tidak percaya pada responnya. Padahal aku sudah berusaha terlihat pintar dengan mengatakan teori-teori itu.
“Pertanyaanku adalah, apakah setiap perempuan harus pandai memasak dan apakah setiap tokoh fiksi, perempuan, juga harus pandai memasak? Aku sengaja membedakan keduanya, perempuan dan tokoh fiksi perempuan karena aku pikir ya, mungkin, keduanya punya realitas yang berbeda… meski aku tidak tahu juga apa fiksi pantas disebut realitas.”
“Itu hal yang menarik, aku juga bertanya-tanya, apakah tokoh fiksi mampu membedakan realitas dan bukan realitas?”
“Kau ini… tolong jawab saja pertanyaanku tadi. Sebentar lagi jam makan siang ini akan berakhir dan aku harus kembali ke kantorku.”
“Jika aku menjawab pertanyaanmu, apakah kita masih akan bertemu lagi? Aku tidak tahu kenapa, aku punya perasaan, jika aku menjawabnya, apapun jawabanku, kamu tidak akan mau menemui aku lagi.”
Pesananku itu, kwetiau dan banana split, juga belum datang. Ketika melihat daftar menu, pada saat kami baru bertemu, ia menertawakanku karena memesan masakan yang menurutnya masakan Cina di restoran Padang. Tapi itu bukan salahku karena bukan aku yang mencantumkan kwetiau sebagai salah satu menu.
Yang terpenting dari manusia adalah waktu, tapi sudah setengah jam lebih kuhamburkan waktu untuk pertanyaannya. Aku yakin pertanyaan dan jawaban itu tidak penting bagiku karena keduanya bisa dihilangkan dari seratus juta lebih daftar alasan kenapa aku harus bertemu dengannya.
“Sepertinya aku kenal dengan temanmu itu…” kataku lagi. “Dia pasti seseorang yang gendut dan kurang ajar. Dia selalu berpikir setiap cerita harus memiliki akhir yang bahagia, bagaimanapun peliknya alur yang dia ciptakan.”
Temanku itu tampak keheran-heranan mendengar kalimatku barusan. Dia yang baru saja menghabiskan isi gelas kopinya, merapikan jaket yang dikenakannya, dan memasang topi di kepalanya—topi bertuliskan Ketika Fiksi Tak Cukup Lagi—kembali menatapku lekat.
“Apa maksud kalimatmu itu?” Nadanya agak memaksa.
“Kamu tahu Popeye? Aku menontonnya waktu kecil. Jadi aku suka bayam. Itu kebenaran, tapi temanmu berbohong tentang satu hal atau justru dia tidak bisa membaca perasaan tokoh fiksinya sendiri. Semua yang disangkakannya itu keliru. Aku tidak pernah menuntut seperti itu.” Aku menghentikan kalimatku dan kuingat istriku di rumah yang sedang menangis karena aku. Sungguh sial, perutku yang kelaparan belum juga terisi siang ini. Aku tidak tahu apakah temanku itu mengerti yang kubicarakan atau tidak. Ketika dia masih tampak mencerna kalimat-kalimatku, aku berdiri, dan memegarkan payung yang kubawa dari rumah. “Seharusnya jika aku penulisnya, aku akan segera menurunkan hujan dengan sangat deras. Itu akan tampak menggetirkan. Setidaknya itu dapat menutupi betapa menggetirkannya seorang tokoh fiksi yang tidak mampu membedakan realitas dan bukan realitas….”