Cerpen Haruki Murakami: Syahrazad

SETIAP kali mereka bersetubuh, dia mendongengi Habara kisah yang aneh dan mencekam sesudahnya. Seperti Ratu Syahrazad dalam “Seribu Satu Malam.” Meskipun, tentu saja, Habara tidak seperti sang raja, dia tidak berniat untuk memenggal kepala sang ratu keesokan harinya. (Yang pasti wanita itu tidak pernah tinggal dengan Habara sampai pagi.) Dia mendongengi Habara karena keinginan Syahrazad sendiri, sebab menurut dugaan Habara, wanita itu menikmati meringkuk di tempat tidur dan ngobrol dengan seorang pria saat mereka berada pada kelesuan, saat-saat intim setelah bercinta. Dan ada kemungkinan juga, karena dia ingin menghibur Habara, yang hanya bisa menghabiskan setiap harinya terkurung dalam ruangan.

Oleh karenanya, Habara menjuluki wanita itu Syahrazad. Dia tidak pernah memanggilnya langsung dengan nama itu, tapi hanya Habara pakai untuk menyebut wanita itu dalam buku harian kecilnya. “Syahrazad datang hari ini,” dia mencatatnya dengan bolpoin. Kemudian Habara akan merekam inti cerita hari itu dengan sederhana, dan dengan samar untuk membingungkan siapa saja yang mungkin bakal membaca buku hariannya.

Habara tidak tahu apakah ceritanya benar, rekaan, atau sebagian benar dan sebagian rekaan. Dia tidak punya cara untuk mengetahui. Realitas dan anggapan, observasi dan imajinasi murni tampak campur aduk bersama-sama dalam tiap narasinya. Oleh karena itu Habara menikmati kisah-kisahnya layaknya seorang bocah, tanpa harus terlalu mempertanyakan kebenarannya. Pada akhirnya tak ada beda, mau itu bohong atau benar-benar terjadi, atau tambal sulam yang rumit dari keduanya, terus kenapa?

Bagaimana pun, Syahrazad sudah memberi hadiah lewat ceritanya yang menyentuh hati. Tidak peduli apa jenis ceritanya, dia selalu membuatnya jadi istimewa. Suaranya, pengaturan temponya, alurnya, semua sempurna. Dia menarik perhatian pendengarnya, menggodanya, mendorongnya untuk merenungkan dan berspekulasi, dan kemudian, pada akhirnya, memberi pendengarnya tepat apa yang dia inginkan. Karena terpesona, Habara mampu melupakan realitas yang mengelilinginya, meski hanya untuk sesaat. Seperti papan tulis yang dilap dengan kain basah, ia terhapus dari kekhawatiran, dari beragam kenangan tak menyenangkan. Harus minta apa lagi? Pada titik dalam hidupnya ini, melupakan adalah sesuatu yang Habara inginkan lebih dari apa pun.

Syahrazad berusia tiga puluh lima, empat tahun lebih tua dari Habara, dan merupakan seorang ibu rumah tangga dengan dua anak di sekolah dasar (meskipun dia juga seorang perawat terdaftar dan sesekali dipanggil untuk suatu pekerjaan). Suaminya adalah tipikal seorang pekerja kantoran. Rumah mereka berjarak dua puluh menit berkendara dari rumah Habara. Semua informasi pribadi tadi (atau hampir semua) Syahrazad sendiri yang memberitahukannya. Habara tidak punya cara untuk memverifikasi semua itu, tapi juga ia tak punya alasan untuk meragukannya. Syahrazad tidak pernah mengungkapkan namanya. “Kau tak butuh-butuh amat buat mengetahuinya, kan?” tanya Syahrazad. Sebaliknya Syahrazad pun tak pernah memanggil Habara dengan namanya langsung, meskipun tentu saja dia sudah tahu. Syahrazad sangat merahasiakan namanya, seolah-olah itu sesuatu yang mendatangkan kesialan atau hal tak pantas kalau sampai nama aslinya bocor keluar melewati bibirnya.

Di permukaan, setidaknya, Syahrazad yang ini tak memiliki kesamaan dengan si ratu cantik dalam “Seribu Satu Malam.” Wanita ini dalam perjalanan menuju usia menengah dan sudah muncul timbunan lemak di rahang dan timbul garis keriput di sudut matanya. Gaya rambutnya, makeup-nya, dan gaya berpakaiannya memang tidak serampangan, namun tidak juga cukup bagus untuk menerima suatu pujian. Penampilannya memang cukup menarik, tapi wajahnya tidak terlalu cantik, sehingga kesan yang ditinggalkannya serasa kabur. Akibatnya, orang-orang yang berjalan di sampingnya, atau yang berbagi lift dengannya, mungkin cuma memperhatikan dirinya sekilas. Sepuluh tahun sebelumnya, ia mungkin seorang wanita muda yang ceria dan menarik, bahkan mungkin sebaliknya. Di beberapa titik, bagaimana pun, tirai telah jatuh di bagian hidupnya dan tampaknya tidak mungkin ditarik ulur kembali.

Syahrazad mengunjungi Habara dua kali seminggu. Harinya tidak tetap, tapi dia tidak pernah datang pada akhir pekan. Tidak diragukan lagi dia memakai hari itu untuk menghabiskan waktu dengan keluarganya. Dia selalu menelepon satu jam sebelum tiba. Dia membeli bahan makanan di supermarket terdekat dan mengangkutnya dalam mobil sedannya, Mazda biru kecil. Model lama, ada penyok di bumper belakang dan roda-rodanya hitam dengan lumur yang melekat. Parkir di tempat yang disediakan depan rumah, Syahrazad akan membawa barang belanjaan tadi menuju pintu depan lalu membunyikan bel. Setelah memeriksa lubang intip, Habara akan membuka kunci, melepas kaitan rantai, dan menyilahkan dia masuk. Di dapur, wanita itu akan menyortir bahan makanan dan memasukannya ke dalam lemari es. Lalu dia membuat daftar bahan-bahan untuk dibeli pada kunjungan berikutnya. Dia melakukan tugas ini dengan terampil, dengan tanpa gerakan sia-sia, dan tanpa banyak cakap.

Setelah selesai, mereka berdua akan bergerak tanpa kata ke kamar tidur, seakan mereka tergerus oleh arus yang tak terlihat. Syahrazad dengan cepat melucuti pakaiannya sendiri dan, masih membisu, bergabung dengan Habara di tempat tidur. Wanita itu nyaris tak berbicara saat mereka bercinta, melakukan setiap tindakan itu seolah-olah ia sedang menjalankan sebuah tugas. Saat sedang menstruasi, dia menggunakan tangannya untuk mencapai tujuan yang sama. Cara kerjanya yang cekatan dan agak lugas ini mengingatkan Habara bahwa wanita itu memang seorang perawat profesional berlisensi.

Setelah bersenggama, mereka berbaring di tempat tidur dan berbincang-bincang. Lebih tepatnya, Syahrazad yang berbicara sementara Habara hanya mendengarkan, menambahkan beberapa kata, dan sesekali mengajukan pertanyaan. Ketika jam menunjukan empat tiga puluh, ia akan memutus kisahnya (untuk beberapa alasan, kisahnya selalu berakhir saat akan mencapai klimaks), melompat dari tempat tidur, mengenakan kembali pakaiannya, dan bersiap-siap untuk pergi. Dia harus pulang, katanya, untuk menyiapkan makan malam.

Habara akan mengantarnya sampai pintu, mengunci, dan mengamati melalui tirai sampai mobil biru kecil yang kumal itu melaju pergi. Pukul enam tepat, Habara akan membuat makan malam sederhana dan memakannya sendiri. Dia pernah bekerja sebagai juru masak, sehingga menyiapkan makan malam bukanlah kesulitan besar. Dia minum Perrier untuk makan malamnya (dia tidak pernah menyentuh alkohol) dan dilanjut dengan secangkir kopi, yang ia teguk sambil menonton DVD atau membaca. Dia menyukai buku lama, terutama yang harus ia baca beberapa kali untuk memahaminya. Tidak ada hal lain yang harus dilakukan. Dia tidak punya seorang pun untuk diajak bicara. Tidak ada seorang pun untuk ditelepon. Tanpa adanya komputer, ia tidak punya cara untuk mengakses internet. Tidak berlanggan koran, dan ia tidak pernah menonton televisi. (Ada alasan yang baik untuk itu.) Tak ada penjelasan mengapa dia tidak boleh pergi ke luar. Kalau Syahrazad berhenti menengoknya karena ada suatu alasan misalnya, ia akan ditinggal sendirian.

Habara tidak terlalu khawatir tentang hal itu. Jika itu terjadi, ia berpikir, akan sulit, tapi pasti akan ada jalan lain. Aku tidak terdampar di pulau terpencil. Tidak, ia berpikir, akulah pulau terpencilnya. Dia selalu nyaman berada dalam kesendirian. Bagaimanapun, yang mengganggunya justru pikiran bahwa dia tidak bisa berbicara di tempat tidur dengan Syahrazad. Atau, lebih tepatnya, kehilangan lanjutan dari kisahnya.

*

AKU dulunya seekor belut lamprei dalam kehidupan sebelumnya,” kelakar Syahrazad sekali waktu, saat mereka tengah berbaring di tempat tidur bersama-sama. Sebuah celetukan yang begitu sederhana, seolah-olah dia memberitahukan bahwa letak Kutub Utara berada di sebelah utara. Habara tidak tahu seperti apa makhluk bernama lamprei itu, tidak punya gambaran sedikit pun. Jadi dia tidak bisa menanggapi.

“Apakah kau tahu bagaimana cara lamprei makan ikan?” Tanya wanita itu.

Habara tidak tahu. Bahkan, itu pertama kalinya ia mendengar bahwa lamprei makan ikan.

“Lamprei tidak memiliki rahang. Itulah yang membedakan mereka dari belut lain.”

“Hah? Belut punya rahang ya?”

“Apakah kau tidak pernah memerhatikan?” Katanya, terkejut.

“Aku sering makan belut, tapi aku tidak pernah punya kesempatan untuk melihat apakah mereka punya rahang.”

“Nah, kau harus mengeceknya sekali waktu. Datangi akuarium atau tempat seperti itu. Belut biasanya punya rahang dan gigi. Tapi lamprei hanya punya pengisap, yang mereka gunakan untuk melampirkan diri pada bebatuan di dasar sungai atau danau. Kemudian mereka hanya akan mengapung di sana, bergerak bolak-balik, seperti rumput liar.”

Habara membayangkan sekelompok lamprei bergoyang mengambang seperti rumput liar di dasar danau. Adegan tampak jauh bercerai dari kenyataan, meskipun kenyataannya, dia tahu, kadang-kadang bisa sangat nyata.

“Lamprey hidup seperti itu, bersembunyi di antara rumput liar. Berbaring menunggu. Kemudian, ketika ikan kecil melewat di atas kepalanya, mereka akan melesat ke atas dan menyedotnya dengan pengisap mereka. Di dalam pengisap mereka terdapat alat serupa lidah dengan gigi, yang memuntir perut ikan sampai terbuka lubang sehingga mereka bisa mulai makan daging ikan itu, sedikit demi sedikit.”

“Aku tidak mau jadi ikan itu,” kata Habara.

“Kalau menengok zaman Romawi kuno, belut lamprei dibiakan dalam kolam. Budak yang membangkang bakal dilempar ke sana dan belut lamprey akan memakan mereka hidup-hidup.”

Habara berpikir bahwa ia tidak akan menikmati menjadi budak Romawi.

“Pertama kali aku melihat seekor lamprei adalah saat di sekolah dasar, pada perjalanan kelas ke sebuah akuarium,” kata Syahrazad. “Saat aku membaca deskripsi tentang cara mereka hidup, aku tahu bahwa aku adalah salah satu dari mereka dalam kehidupan terdahulu. Maksudku, aku bisa benar-benar ingat—mengikat ke batu, bergoyang tak terlihat di antara rumput liar, mengawasi ikan yang berenang di atasku.”

“Apakah kau ingat saat memakan ikan-ikan itu?”

“Tidak, aku tak ingat kalau yang itu.”

“Itu melegakan,” kata Habara. “Tapi apakah hanya itu tadi yang kau ingat dari kehidupanmu saat jadi lamprei—bergoyang ke sana kemari di dasar sungai?”

“Kehidupan terdahulu tidak bisa diingat begitu saja,” katanya. “Jika kau beruntung, kau akan mendapatkan seberkas kilatan kenangan. Ini seperti mengintip sekilas melalui lubang kecil di dinding. Dapatkah kau ingat setiap kehidupan terdahulumu?”

“Tidak, tidak ingat,” kata Habara. Sejujurnya, dia tidak pernah mendapat dorongan untuk meninjau kembali kehidupan terdahulu. Dia hanya fokus pada kehidupan yang sekarang.

“Namun, rasanya cukup nyaman di dasar danau. Terbalik dengan mulutku menempel pada batu, mengamati ikan yang lewat di atas kepala. Aku juga mendapati gertakan kura-kura yang sangat besar sekali, ada juga makhluk hitam besar yang melesat cepat, seperti pesawat ruang angkasa jahat di film ‘Star Wars’. Dan burung putih besar dengan paruh panjang yang tajam; dilihat dari bawah, mereka tampak seperti awan putih yang mengambang di langit.”

“Dan kau bisa melihat semua hal-hal ini sekarang?”

“Sangat jelas,” kata Syahrazad. “Cahayanya, tarikan arusnya, semuanya. Kadang-kadang aku bahkan bisa kembali ke sana dalam pikiranku.”

“Kau bisa berpikir saat jadi lamprey?”

“Ya.”

“Apa yang lamprey pikirkan?”

“Lamprei berpikir sangat lamprei. Tentang topik lamprey dalam konteks yang sangat lamprey. Tidak ada kata-kata untuk menjelaskan pikiran-pikiran itu. Semua soal dunia air. Ini seperti ketika kita berada di dalam rahim. Kita berpikir berbagai hal di sana, tapi kita tidak bisa mengungkapkan pikiran-pikiran di sana dalam bahasa yang kita gunakan di sini. Benar, kan?”

“Tunggu sebentar! Kau ingat bagaimana rasanya saat berada di dalam rahim?”

“Tentu,” kata Syahrazad, mengangkat kepalanya untuk melihat dada Habara. “Kau tak bisa?”

Tidak, kata Habara. Dia tidak bisa.

“Kalau begitu aku akan memberitahumu kapan-kapan. Tentang kehidupan di dalam rahim.”

“Syahrazad, Lamprey, Kehidupan Terdahulu” adalah yang Habara catat dalam buku hariannya hari itu. Dia meragukan bahwa siapa pun yang membaca bisa menebak apa arti dari kata-kata itu.

*

HABARA bertemu Syahrazad untuk pertama kalinya empat bulan sebelumnya. Habara dipindahkan ke rumah ini, di kota provinsi sebelah utara Tokyo, dan Syahrazad ditugaskan sebagai “fasilitator” untuknya. Karena Habara tidak bisa pergi ke luar, tugas Syahrazad adalah untuk membeli makanan dan barang-barang lain yang dibutuhkan dan membawanya ke rumah. Dia juga menyediakan beragam buku dan majalah yang Habara inginkan untuk dibaca, dan juga CD yang ingin didengarkan. Selain itu, Syahrazad memilih bermacam-macam DVD—meskipun Habara sulit menerima film pilihannya.

Seminggu setelah Habara tiba, seolah-olah sudah terlihat jelas langkah berikutnya, Syahrazad mengantarnya ke tempat tidur. Ada kondom di meja samping tempat tidur ketika Habara tiba. Habara menduga bahwa seks adalah salah satu kegiatan yang ditugaskan kepadanya—atau mungkin “aktivitas penunjang” adalah istilah yang mereka gunakan. Apapun istilahnya, dan apa pun motivasinya, Habara tetap menjalani alur tadi dan menerima ajakannya tanpa ragu-ragu.

Seks mereka bukan semacam formalitas, tapi tidak bisa dikatakan juga bahwa mereka melakukannya sepenuh hati. Syahrazad tampak penuh waspada, tetap hati-hati agar jangan sampai mereka menjadi terlalu antusias—sama seperti instruktur mengemudi yang tidak ingin murid-muridnya terlalu antusias mengemudi saat pelatihan berlangsung. Bagaimana pun, cara bercinta mereka tidak bisa dibilang bergairah, tidak juga sepenuhnya praktis. Mungkin memang ini awalnya salah satu tugas Syahrazad (atau, setidaknya, sebagai sesuatu keharusan), tetapi pada titik tertentu ia tampak—dalam beberapa hal—telah menemukan semacam kesenangan di dalamnya. Habara bisa mengatakan ini dengan jelas lewat respon tubuh Syahrazad, suatu respon yang menyenangkan dirinya juga. Pada akhirnya, Habara bukan binatang liar dikurung dalam kandang tapi manusia yang dilengkapi dengan berbagai emosi, dan seks sebagai kebutuhan dasar tubuh haruslah terpenuhi. Belum jelas sejauh mana Syahrazad melihat hubungan seksual mereka sebagai salah satu tugasnya, dan berapa banyak pengaruh terhadap kehidupan pribadinya? Habara tidak tahu.

Ada beberapa hal lain juga. Habara sering mendapat kesulitan dalam membaca perasaan dan maksud Syahrazad. Sebagai contoh, Syahrazad sering mengenakan celana katun polos. Jenis celana yang Habara bayangkan sering dipakai oleh ibu rumah tangga di usia tiga puluhan—ini sepenuhnya dugaan, karena ia tidak memiliki pengalaman dengan ibu rumah tangga di usia itu. Dalam beberapa hari, Syahrazad muncul dengan celana sutra berenda warna-warni sebagai gantinya. Mengapa Syahrazad beralih antara dua celana itu Habara tidak mengerti.

Hal lain yang membuatnya bingung adalah fakta bahwa persetubuhan mereka dan kisah Syahrazad yang begitu memikat, sehingga sulit untuk mengatakan di mana satu berakhir dan yang lainnya mulai. Habara belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya: meskipun ia tidak mencintainya, dan seksnya begitu-begitu saja, ia terhubung erat padanya secara fisik. Itu semua agak membingungkan.

*

AKU di usia belasan ketika aku mulai membobol rumah kosong,” kata Syahrazad suatu hari saat mereka berbaring di tempat tidur.

Habara—seperti sering terjadi ketika Syahrazad bercerita—menemukan dirinya kehilangan kata-kata.

“Apakah kau pernah menyelinap masuk ke rumah seseorang?” Tanyanya.

“Aku pikir tidak pernah,” jawab Habara dengan suara kering.

“Lakukan sekali dan kau bakal kecanduan.”

“Tapi itu ilegal.”

“Coba saja. Memang berbahaya, tapi kau pasti bakal ketagihan.”

Habara menunggunya dengan tenang untuk melanjutkan.

“Hal yang paling keren tentang berada di rumah orang lain ketika tidak ada orang di sana,” Syahrazad berkata, “adalah bahwa betapa sepi tempat itu. Tak ada suara. Itu seperti tempat yang paling sepi di dunia. Itulah yang aku rasakan. Ketika aku duduk di lantai dan terus berdiam di sana, hidupku sebagai seekor lamprey datang kembali kepadaku. Aku pernah bilang bahwa aku adalah seekor lamprey di kehidupan terdahulu, kan?”

“Ya, kau pernah cerita.”

“Seperti itulah. Pengisapku terpaut pada sebuah batu di dasar air dan tubuhku mengambang bolak-balik di atas kepala, seperti rumput liar di sekitarku. Semuanya begitu tenang. Mungkin karena aku tidak punya telinga waktu itu. Pada hari-hari cerah, cahaya menghunjam jatuh dari permukaan seperti anak panah. Ikan dari beragam warna dan bentuk melayang di atas. Dan pikiranku kosong dari pelbagai pikiran. Selain pikiran lamprey, tentu saja. Memang berkabut tapi begitu murni. Itu adalah tempat yang indah.”

*

PERTAMA kali Syahrazad membobol masuk ke rumah seseorang, jelasnya, yaitu saat dia masih SMP dan naksir pada anak laki-laki di kelasnya. Meskipun anak laki-laki itu tidak bisa dikatakan tampan, dia tinggi dan rapi, seorang murid teladan yang bermain di tim sepak bola, dan Syahrazad sangat tertarik padanya. Tapi ia tampaknya menyukai gadis lain di kelasnya dan tidak memperhatikan Syahrazad. Bahkan, sangat mungkin si laki-laki tidak menyadari kalau Syahrazad itu ada. Meski begitu, Syahrazad tidak bisa menyingkirkan laki-laki itu keluar dari pikirannya. Hanya melihat laki-laki itu membuat napas Syahrazad megap-megap; kadang-kadang dia merasa seolah-olah dia akan muntah. Jika dia tidak melakukan sesuatu tentang hal itu, pikir Syahrazad, dia mungkin bakal gila. Tapi menyatakan cintanya bukan perkara mudah.

Suatu hari, Syahrazad bolos sekolah dan pergi ke rumah anak laki-laki itu. Hanya lima belas menit berjalan kaki dari tempat tinggalnya. Dia telah meneliti situasi keluarga laki-laki itu terlebih dahulu. Ibunya mengajar bahasa Jepang di sebuah sekolah di kota sebelah. Ayahnya, yang pernah bekerja di sebuah perusahaan semen, telah tewas dalam kecelakaan mobil beberapa tahun sebelumnya. Adiknya adalah seorang siswa SMP. Ini berarti rumah pasti kosong pada siang hari.

Tidak mengherankan, pintu depan terkunci. Syahrazad memeriksa di bawah keset berharap menemukan kunci. Benar saja, kuncinya ada di sana. Masyarakat perumahan yang tenang di kota-kota provinsi seperti mereka memiliki sedikit tindak kejahatan, dan kunci cadangan sering ditinggalkan di bawah keset atau pot tanaman.

Untuk amannya, Syahrazad membunyikan bel, menunggu untuk memastikan bahwa tidak ada jawaban, mengawasi jalanan kalau-kalau dia sedang diamati, membuka pintu, kemudian masuk. Dia mengunci pintu kembali dari dalam. Melepas sepatu, dia memasukannya dalam kantong plastik dan menempatkannya dalam ransel di punggungnya. Kemudian dia berjingkat menaiki tangga ke lantai dua.

Kamar tidur anak laki-laki itu ada di sana, seperti yang Syahrazad bayangkan. Tempat tidurnya itu rapi. Di rak buku ada stereo kecil, dengan koleksi beberapa CD. Di dinding, ada kalender dengan foto tim sepak bola Barcelona dan, di samping itu, ada semacam banner tim, dan tidak ada yang lain. Tidak ada poster, tidak ada foto-foto. Hanya dinding berwarna krem. Sebuah tirai putih menggantung di atas jendela. Ruangan itu rapi, segala sesuatu berada di tempatnya. Tidak ada buku berserakan, tidak ada pakaian di lantai. Ruangan memang mencerminkan kepribadian penghuninya yang teliti. Atau cerminan dari sang ibu yang terus menjaga agar rumahnya tetap sempurna. Atau keduanya. Hal ini membuat Syahrazad gugup. Sedikit saja ceroboh, pasti akan ketahuan kalau kamar si laki-laki itu jadi berantakan. Namun, pada saat yang sama, dari kebersihan dan kesederhanaan ruang, dan betapa rapihnya, membuat Syahrazad merasa bahagia. Karena mengingatkan pada cerminan si laki-laki.

Syahrazad merebahkan dirinya ke kursi meja dan duduk di sana untuk sementara waktu. Ini adalah tempat lelaki itu belajar setiap malam, pikir Syahrazad, hatinya berdebar-debar. Satu demi satu, dia mengambil alat di meja, menggulungnya antara jari-jarinya, membaui mereka, dan mendekatkan ke bibirnya. Pensilnya, guntingnya, penggarisnya, stapler-nya – benda paling biasa menjadi entah bagaimana bercahaya karena milik lelaki itu.

Dia membuka laci mejanya dan dengan hati-hati memeriksa isinya. Laci teratas dibagi menjadi beberapa kompartemen, yang masing-masing berisi sekat kecil dengan beragam barang dan souvenir yang berserakan. Laci kedua sebagian besar diisi oleh buku-buku pelajaran untuk setiap kelas yang sedang ia ambil, sedangkan yang di bagian bawah (laci paling bawah) dipenuhi dengan tumpukan kertas lama, buku-buku pelajaran terdahulu, dan soal ujian. Hampir semuanya berhubungan dengan sekolah atau soal sepakbola. Syahrazad berharap bisa menemukan sesuatu yang pribadi—mungkin buku harian, atau surat-surat—tapi di meja tidak ditemukan apapun semacam itu. Bahkan tidak ada foto. Ini membuat Syahrazad merasa aneh. Apakah laki-laki itu tidak punya kehidupan selain sekolah dan sepak bola? Atau dia sangat hati-hati sehingga menyembunyikan segala sesuatu yang bersifat pribadi, agar tidak ada seorang pun yang tahu?

Namun, hanya duduk di meja dan mengedarkan matanya ke tulisan tangan laki-laki itu membuat Syahrazad terhanyut pada kata-katanya. Untuk menenangkan diri, ia bangkit dari kursi dan duduk di lantai. Dia menatap langit-langit. Kesunyian di sekelilingnya adalah mutlak. Dengan cara ini, ia kembali ke dunia lamprey.

*

JADI itu semua yang kau lakukan,” tanya Habara, “menyusup masuk kamarnya, memeriksa barang-barangnya, dan hanya duduk di lantai?”

“Tidak,” kata Syahrazad. “Ada lagi. Aku ingin sesuatu darinya untuk dibawa pulang. Sesuatu yang paling sering ia pakai setiap hari atau yang paling dekat dengan tubuhnya. Tapi itu harus barang yang tidak terlalu penting agar ia tak terlalu peduli kalau-kalau ia akan kehilangan barang itu. Jadi aku mencuri salah satu pensilnya.”

“Hanya sebatang pensil?”

“Iya. Satu yang telah ia pakai. Tapi mencuri belum cukup. Ini bukan hanya soal pencurian. Fakta bahwa aku telah melakukan itu akan hilang. Pada akhirnya, aku adalah Sang Pencuri Cinta.”

Sang Pencuri Cinta? Kedengaran seperti judul sebuah film bisu bagi Habara.

“Jadi aku memutuskan untuk meninggalkan sesuatu di kamarnya, suatu tanda. Sebagai bukti bahwa aku sudah pernah ke sana. Sebuah deklarasi bahwa ini adalah pertukaran, bukan hanya sekadar pencurian. Tapi barang apa yang harus kutinggalkan? Tidak ada yang muncul di kepalaku. Aku mencari-cari dalam ransel dan sakuku, tapi aku tidak bisa menemukan sesuatu yang pas. Aku menyesal karena tidak berpikir untuk membawa sesuatu yang cocok. Akhirnya, aku memutuskan untuk meninggalkan pembalut di sana. Salah satu yang belum dipakai, tentu saja, dan masih dalam bungkus plastik. Menstruasiku semakin dekat, jadi aku membawa beberapa hanya untuk jaga-jaga. Aku menyembunyikannya di sudut paling belakang laci terbawah, tempat yang bakal sulit untuk ditemukan. Itu benar-benar mengubahku. Fakta bahwa pembalutku itu tersimpan di laci mejanya. Mungkin karena aku begitu dihidupkan bahwa masa menstruasiku bakal datang segera setelah itu.”

Sebuah pembalut ditukar dengan pensil, pikir Habara. Mungkin ini adalah yang harus Habara tulis dalam buku hariannya hari itu: “Pencuri Cinta, Pensil, Pembalut.” Dia sangat ingin melihat reaksi mereka saat membaca ini!

“Aku ada di dalam rumahnya hanya lima belas menit atau lebih. Aku tidak bisa tinggal lebih lama dari itu: ini adalah pengalaman pertamaku menyelinap ke sebuah rumah, dan aku takut kalau seseorang tiba-tiba muncul ketika aku masih berada di sana. Aku memeriksa jalan untuk memastikan, menyelinap keluar pintu, menguncinya, dan menyimpan kunci di bawah keset. Lalu aku pergi ke sekolah. Membawa pensil miliknya yang berharga itu.”

Syahrazad terdiam. Dari tampilannya, dia berusaha kembali ke waktu silam itu dan mereka ulang beragam hal yang terjadi berikutnya, satu per satu.

“Minggu itu adalah minggu paling bahagia dalam hidupku,” katanya setelah jeda panjang. “Aku menulis hal-hal acak di buku catatanku dengan pensil itu. Aku membauinya, menciumnya, mengusapkan ke pipiku, memutar-mutar di antara jari-jariku. Kadang-kadang aku bahkan menempatkannya dalam mulutku dan mengisapnya. Tentu saja, itu membuatku gelisah karena semakin aku sering memakainya untuk menulis, semakin pendek pensil itu jadinya, tapi aku tidak bisa menahan diri. Jika itu sudah terlalu pendek, aku pikir, aku bisa datang kembali dan mengambil yang lain. Ada sepaket besar pensil yang tidak digunakan dalam kotak pensil di atas mejanya itu. Ide yang membuatku gila—ini memberiku sensasi geli yang aneh. Tidak lagi jadi soal buatku bahwa di dunia nyata dia tidak pernah melihatku atau menunjukkan sikap bahwa ia menyadari keberadaanku. Karena aku diam-diam memiliki sesuatu darinya—bagian dari dirinya, seolah-olah begitu.”

SEPULUH hari kemudian, Syahrazad bolos sekolah lagi dan berkunjung untuk kedua kalinya ke rumah si lelaki. Saat itu pukul sebelas pagi. Seperti sebelumnya, dia memungut kunci dari bawah keset kemudian membuka pintu. Sekali lagi, kamar lelaki itu masih tampak sempurna. Pertama, Syahrazad memilih pensil yang sudah digunakan dan dengan hati-hati memindahkan ke dalam kotak pensilnya. Kemudian dengan hati-hati dia berbaring di tempat tidur si lelaki, melipat tangannya di dada, dan menatap langit-langit. Ini adalah kasur tempat si lelaki tidur setiap malamnya. Pikiran ini membuat jantungnya berdebar lebih cepat, dan dia merasa sulit untuk bernapas normal. Paru-parunya tidak terisi oleh udara dan tenggorokannya kering seperti tulang, membuat setiap tarikan napas terasa menyakitkan.

Syahrazad turun dari tempat tidur, merapihkan selimut, dan duduk di lantai, seperti saat kunjungan pertamanya. Dia menatap kembali langit-langit. Aku belum siap untuk kasur si lelaki, Syahrazad membatin. Itu sesuatu yang masih sulit untuk dia tangani.

Kali ini, Syahrazad menghabiskan setengah jam di rumah si lelaki. Dia mengambil beragam buku catatan si lelaki dari laci dan melihat-lihatnya. Dia menemukan sebuah buku laporan membacanya. Itu tentang ulasan “Kokoro”, novel karya Soseki Natsume, tugas membaca saat musim panas. Tulisan tangan si lelaki begitu indah, sesuatu yang diharapkan dari seorang siswa teladan, tidak ada kesalahan atau kelalaian satu pun. Tugas itu diberi nilai Sempurna. Apa lagi yang bisa mereka beri? Setiap guru yang disuruh menilai tulisan tangan yang sempurna ini secara otomatis akan memberikan nilai Sempurna, bahkan tanpa perlu repot-repot membaca satu baris pun.

Syahrazad pindah mendekat ke laci, memeriksa isinya secara runtut. Pakaian dan kaus kaki. Kemeja dan celana. Seragam sepak bola. Semua terlipat rapi. Tidak ada yang bernoda atau kusut. Apa si lelaki itu yang melipat sendiri? Atau, kemungkinan besar, ibunya yang melakukan semuanya? Dia tiba-tiba merasa cemburu terhadap ibu si lelaki, yang bisa melakukan hal-hal untuk si lelaki setiap harinya.

Syahrazad membungkuk dan membaui pakaian dalam laci. Semua masih segar baru dicuci dan harum matahari. Dia mengambil sebuah kaus abu-abu polos, membukanya, dan menekannya ke wajahnya. Mungkinkah bau keringatnya masih tertinggal di bawah lengan? Tapi tidak tercium. Namun, dia menahannya untuk beberapa waktu, menghirup melalui hidungnya. Dia ingin membawa pulang kaus itu. Tapi ini terlalu berisiko. Pakaian-pakaiannya begitu cermat diatur dan dijaga. Lelaki itu (atau ibunya) mungkin tahu persis jumlah kaos di dalam laci. Jika salah satu hilang, pasti bakal ketahuan. Syahrazad hati-hati melipat kembali kaos tadi dan mengembalikan ke tempat semula. Sebagai gantinya, Syahrazad mengambil sebuah lencana kecil, berbentuk seperti bola sepak, yang ia temukan di salah satu laci meja. Tampaknya itu klub di kelasnya tahun kemarin. Syahrazad meragukan bahwa lelaki itu akan mengetahuinya. Setidaknya, perlu beberapa waktu sebelum si lelaki menyadari bahwa lencananya hilang. Saat masih di sana, Syahrazad memeriksa laci bawah meja untuk memastikan pembalut yang ia simpan. Ternyata masih ada.

Syahrazad membayangkan apa yang akan terjadi jika ibu si lelaki itu menemukan sebuah pembalut. Apa yang akan ibunya pikirkan? Apakah ibunya akan menuntut si lelaki untuk menjelaskan kenapa ada pembalut di mejanya? Atau ibunya akan merahasiakan penemuannya tersebut, hanya memikirkan berulang kecurigaan dalam pikirannya saja? Syahrazad tak tahu. Tapi dia memutuskan untuk tetap meninggalkan pembalut itu di sana. Pada akhirnya, itu jadi semacam bukti pertama bagi keberadaannya.

Untuk memperingati kunjungan kedua, Syahrazad meninggalkan tiga helai rambutnya. Malam sebelumnya, ia telah mencabutnya, membungkus dalam plastik, dan menyegel dalam amplop kecil. Sekarang dia mengambil amplop tadi dari ransel dan menyelipkannya ke salah satu buku catatan matematika tua di dalam laci. Tiga helai rambut yang lurus dan hitam, tidak terlalu panjang atau terlalu pendek. Tidak ada yang akan tahu milik siapa kecuali kalau dilakukan tes DNA, meski memang jelas rambut itu milik seorang gadis.

Dia keluar dari rumah si lelaki dan langsung pergi ke sekolah, tiba tepat waktu untuk kelas sore pertamanya. Sekali lagi, ia bisa berbahagia untuk sekitar sepuluh hari. Dia merasa bahwa si lelaki telah menjadi miliknya. Tapi, seperti yang Anda harapkan, rantai peristiwa tidak akan berakhir tanpa insiden. Karena, seperti yang Syahrazad ucapkan, menyelinap ke rumah orang lain adalah sesuatu yang sangat adiktif.

*

SAAT titik ini dalam cerita Syahrazad melirik jam di samping tempat tidur dan melihat bahwa sudah pukul 04:32. “Harus pergi sekarang,” katanya, seolah pada dirinya sendiri. Dia melompat dari tempat tidur dan mengenakan celana dalam putih polosnya, mengaitkan bra, mengenakan celana jeans-nya, dan menarik kaus Nike biru gelap melalui atas kepalanya.  Lalu ia membasuh tangannya di kamar mandi, menyibak rambutnya, dan melaju pergi dengan Mazda birunya.

Ditinggalkan sendirian tanpa perintah apa-apa untuk dilakukan, Habara berbaring di tempat tidur dan merenung tentang kisah yang baru saja Syahrazad ceritakan padanya, menikmatinya sedikit demi sedikit, seperti sapi mengunyah rumput. Kemana arah cerita itu? ia bertanya-tanya. Seperti semua cerita Syahrazad yang lain, Habara tak pernah tahu. Ia merasa sulit untuk membayangkan Syahrazad sebagai siswa SMA. Apakah dia ramping saat itu, bebas dari timbunan lemak seperti saat ini? Seragam sekolah, kaus kaki putih, rambutnya dikepang kah?

Habara belum lapar, sehingga ia menunda menyiapkan makan malam dan kembali ke buku yang telah ia baca, dan mendapati dirinya tidak bisa berkonsentrasi. Gambaran Syahrazad yang menyelinap ke kamar teman sekelasnya dan membenamkan wajahnya di kaus si lelaki terlalu segar dalam pikirannya. Dia tidak sabar untuk mendengar apa yang terjadi selanjutnya.

*

KUNJUNGAN berikutnya Syahrazad ke rumah Habara adalah tiga hari kemudian, setelah lewat akhir pekan. Seperti biasa, Syahrazad datang membawa wadah kertas besar berisi beragam barang-barang kebutuhan. Dia pergi melalui makanan di lemari es, menggantikan beragam keperluan yang telah lewat tanggal kedaluwarsa, meneliti makanan kaleng dan botol di lemari, memeriksa pasokan bumbu dan rempah-rempah untuk memastikan apa yang menipis, dan menulis sebuah daftar belanja. Dia menaruh beberapa botol Perrier di lemari es untuk bersantai. Akhirnya, dia tumpuk buku-buku baru dan DVD yang dibawanya di atas meja.

“Apakah ada yang lain yang kau butuhkan atau inginkan?”

“Aku pikir tak ada,” jawab Habara.

Kemudian, seperti biasa, mereka berdua pergi ke tempat tidur dan berhubungan seks. Setelah melakukan beberapa foreplay, Habara menyelipkan kondomnya, memasuki Syahrazad, dan, setelah berada di waktu yang tepat, ejakulasi. Setelah memastikan isi pada kondomnya, Syahrazad mulai melanjutkan kisahnya.

*

SEPERTI sebelumnya, dia merasa bahagia dan puas selama sepuluh hari setelah penyusupan keduanya. Dia menyelipkan lencana sepakbola dalam tempat pensil dan dari waktu ke waktu merabanya selama kelas berlangsung. Dia menggigiti pensil yang telah ia ambil dan menjilati ujungnya. Sepanjang waktu dia terus memikirkan kamar si lelaki. Dia membayangkan mejanya, kasur tempatnya tidur, lemari yang mengemas pakaiannya, celana boxer putih, dan pembalut juga tiga helai rambut Syahrazad yang tersembunyi di laci.

Dia telah kehilangan semua minat di sekolah. Di kelas, dia terus memain-mainkan lencana dan pensil atau jatuh terbuai dalam lamunan. Ketika dia pulang, dia tidak dalam kondisi pikiran untuk menuntaskan PR-nya. Nilai Syahrazad tidak pernah bermasalah sebelumnya. Dia memang bukan murid unggul, tapi dia adalah seorang gadis serius yang selalu mengerjakan tugasnya. Jadi ketika gurunya bertanya padanya di kelas dan dia tidak mampu memberikan jawaban yang tepat, alih-alih marah, guru tersebut malah kebingungan. Akhirnya, sang guru memanggilnya ke kantor saat istirahat makan siang. “Apa ada masalah?” Ia bertanya. “Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?” Syahrazad hanya bisa bergumam sesuatu yang samar tentang tidak enak badan. Rahasianya terlalu berat dan gelap untuk diungkapkan kepada siapa pun—Syahrazad harus menanggungnya sendiri.

*

AKU terus membobol rumahnya,” ungkap Syahrazad. “Aku terpaksa. Seperti yang dapat kau bayangkan, itu sesuatu yang sangat berisiko. Bahkan aku sangat tahu itu. Cepat atau lambat, seseorang akan memergokiku di sana, dan polisi akan dilibatkan. Bayangan itu membuatku mati ketakutan. Tapi, setelah bola bergulir, tidak ada cara untuk bisa menghentikannya. Sepuluh hari setelah ‘kunjungan’ keduaku, aku pergi ke sana lagi. Aku tak punya pilihan. Aku merasa bahwa jika aku tidak melakukannya, hidupku akan berakhir. Melihat ke belakang, aku pikir aku benar-benar sedikit gila.”

“Apakah itu tidak menimbulkan masalah bagimu di sekolah, bolos dari kelas begitu sering?” Tanya Habara.

“Orang tuaku punya kesibukan sendiri, sehingga mereka terlalu sibuk untuk memberikan banyak perhatian kepadaku. Aku tidak pernah mendapat masalah sampai saat itu, tidak pernah sampai melibatkan mereka. Jadi mereka pikir tak terlalu ikut campur merupakan pendekatan terbaik. Catatan peringatan ke sekolah adalah hal sepele. Aku menjelaskan kepada guru wali kelasku bahwa aku punya masalah medis sehingga aku harus menghabiskan setengah hari di rumah sakit untuk beberapa waktu. Karena guru memeras otak mereka atas apa yang harus dilakukan untuk anak-anak lain yang bolos sekolah, mereka tidak terlalu mengkhawatirkanku untuk mengambil izin setengah hari.”

Syahrazad melirik sekilas jam di samping tempat tidur sebelum melanjutkan kembali.

“Aku mengambil kunci dari bawah keset dan masuk ke rumah itu untuk ketiga kalinya. Keadaan di sana sesunyi seperti sebelumnya—tidak, bahkan lebih sunyi untuk beberapa alasan. Mengejutkanku ketika kulkas tiba-tiba berbunyi—itu terdengar seperti binatang besar mendesah. Telepon berdering saat aku berada di sana. Dering itu sangat keras dan kasar yang membuatku berpikir jantungku akan berhenti. Aku ditutupi dengan keringat. Tidak ada yang mengangkat, tentu saja, dan baru berhenti setelah sekitar dering kesepuluh. Rumah itu terasa lebih sunyi setelahnya.”

*

SYAHRAZAD menghabiskan waktu yang lama berbaring di tempat tidurnya hari itu. Kali ini jantungnya tidak berdetak begitu liar, dan dia mampu bernapas normal. Dia bisa membayangkan anak itu sedang tidur dengan tenang di sampingnya, bahkan merasa seolah-olah Syahrazad sedang mengawasinya saat si lelaki tidur. Dia merasa bahwa, jika Syahrazad mengulurkan tangan, dia bisa menyentuh lengan berototnya. Si lelaki tidak ada di sampingnya, tentu. Syahrazad baru saja jatuh dalam kabut lamunan.

Syahrazad mendapat dorongan kuat untuk menciumnya. Bangkit dari tempat tidur, dia berjalan ke laci, membuka satu slot, dan memeriksa baju-baju di dalamnya. Baju-baju itu telah dicuci dan dilipat rapi. Semuanya masih segar, dan bebas dari bau, seperti sebelumnya.

Sebuah ide menimpanya. Dia berlari menuruni tangga ke lantai pertama. Di sana, di ruang di samping kamar mandi, ia menemukan keranjang binatu dan membuka tutupnya. Itu adalah campuran beragam pakaian kotor dari tiga anggota keluarga—ibu, anak perempuan, dan si lelaki. Cucian selama sehari, kalau diperhatikan. Syahrazad mengambil sepotong pakaian laki-laki. Satu kaos oblong putih. Dia membauinya. Aroma begitu jelas yang berasal dari si lelaki. Bau apek yang pernah Syahrazad cium sebelumnya, ketika berdekatan dengan teman-teman laki-laki sekelasnya. Bukan aroma harum, tentu saja. Tapi fakta bahwa bau ini adalah milik si lelaki membawa Syahrazad pada sukacita yang tak berkesudahan. Ketika ia meletakkan hidungnya di bagian ketiak kemudian menghirupnya, Syahrazad merasa seolah-olah dia berada dalam pelukannya, tangan si lelaki menggenggam erat Syahrazad.

Dengan kaos di tangan, Syahrazad menaiki tangga ke lantai dua dan berbaring di tempat tidur si lelaki lagi. Dia membenamkan wajahnya di baju si lelaki dan rakus membauinya. Sekarang dia bisa merasakan sensasi lesu di bagian bawah tubuhnya. Putingnya juga mengeras. Mungkinkah menstruasi? Tidak, itu terlalu dini. Apakah ini yang namanya hasrat seksual ini? Jika demikian, maka apa yang bisa dia lakukan tentang hal itu? Dia tak tahu. Satu hal yang pasti, tentu saja—ini tidak boleh terjadi dalam situasi seperti ini. Tidak di sini di kamarnya, di tempat tidur si lelaki.

Pada akhirnya, Syahrazad memutuskan untuk membawa pulang kaos itu. Ini berisiko, sudah pasti. Ibu si lelaki kemungkinan besar bakal tahu kalau sebuah baju telah hilang. Meski si ibu tidak menyadari bahwa kaos itu hilang karena dicuri, ia masih akan bertanya-tanya ke mana perginya kaos itu. Setiap wanita yang terus menjaga rumahnya sampai begitu tertata pastilah seorang yang gila akan kerapihan. Ketika sesuatu hilang, dia akan mencari di setiap jengkal rumah dari atas ke bawah, seperti anjing polisi, tak akan berhenti sampai ia berhasil menemukannya. Tidak diragukan lagi, ibu si lelaki akan mengungkap jejak Syahrazad di kamar anak kebanggaannya ini. Tapi, meski Syahrazad paham betul akan hal ini, dia tidak ingin berpisah dengan baju itu. Otaknya tak berdaya untuk membujuk hatinya.

Sebaliknya, Syahrazad malah mulai berpikir tentang barang apa yang harus ditinggalkan. Celana dalamnya tampak seperti pilihan terbaik. Itu memang sesuatu yang biasa, sederhana, relatif baru, dan segar pagi itu. Dia bisa menyembunyikannya di bagian paling belakang lemari. Adakah barang lain yang lebih tepat untuk ditinggalkan dalam pertukaran ini? Tapi, ketika dia menanggalkan celana dalamnya, selangkangannya basah. Aku kira ini berasal dari birahi tadi, pikirnya. Mustahil untuk meninggalkan sesuatu yang ternoda oleh nafsunya di kamar si lelaki. Syahrazad hanya akan merendahkan dirinya sendiri. Syahrazad memakainya kembali dan mulai berpikir tentang apa lagi yang harus ditinggalkan.

*

SYAHRAZAD menghentikan ceritanya. Untuk waktu yang lama, dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia berbaring di sana bernapas tenang dengan mata tertutup. Di sampingnya, Habara mengikuti, menunggunya untuk melanjutkan.

Akhirnya, Syahrazad membuka matanya dan bicara. “Hei, Tuan Habara,” katanya. Ini adalah pertama kalinya Syahrazad menyapanya dengan nama langsung.

Habara menatapnya.

“Apakah kau pikir kita bisa melakukannya sekali lagi?”

“Saya pikir saya bisa,” katanya.

Jadi mereka bercinta lagi. Kali ini, bagaimanapun, sangat berbeda dari waktu sebelumnya. Keji, bergairah, dan lebih panjang. Klimaksnya begitu jelas. Serangkaian kejang hebat yang meninggalkan gemetar. Bahkan wajah Syahrazad ikut berubah. Bagi Habara, ini seperti menangkap sekilas Syahrazad di masa mudanya: wanita dalam pelukannya sekarang seorang gadis tujuh belas tahun bermasalah yang entah bagaimana terjebak dalam tubuh seorang ibu rumah tangga tiga puluh lima tahun. Habara bisa merasakan Syahrazad sedang di sana, matanya terpejam, tubuhnya bergetar, polos menghirup aroma dari kaos berkeringat si lelaki.

Kali ini, Syahrazad tidak menceritakan sebuah cerita sehabis berhubungan seks. Dia juga tidak memeriksa isi kondom Habara. Mereka hanya berbaring di sana diam-diam di samping satu sama lain. Mata Syahrazad terbuka lebar, dan ia menatap langit-langit. Seperti lamprey menatap permukaan air yang terang. Betapa indahnya itu, pikir Habara, jika ia juga bisa menghuni waktu atau ruang lain—meninggalkan tubuh ini, manusia bernama Nobutaka Habara ini dan menjadi seekor lamprey tanpa nama. Dia membayangkan dirinya dan Syahrazad berdampingan, pengisap mereka menempel ke batu, tubuh mereka melambai dalam arus, mengamati permukaan karena mereka menunggu ikan gendut yang berenang dengan pongah di atasnya.

“Jadi apa yang kau tinggalkan dalam pertukaran untuk baju itu?” Habara memecah keheningan.

Syahrazad tidak langsung menjawab.

“Tidak ada,” katanya akhirnya. “Tidak ada sesuatu yang aku bawa yang bisa menyamai baju dengan baunya itu. Jadi aku hanya mengambil dan langsung menyelinap keluar. Itu adalah ketika aku menjadi pencuri, sesederhana itu.”

*

DUA BELAS hari kemudian, Syahrazad kembali ke rumah si lelaki itu untuk keempat kalinya, ada kunci baru di pintu depan. Warna emas berkilauan terkena sinar matahari tengah hari, seolah-olah untuk memamerkan kebanggaan yang kokoh. Dan tidak ada kunci yang disembunyikan di bawah keset. Jelas, ibunya curiga akibat baju hilang itu. Dia pasti mencari dari atas ke bawah, tercium tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu yang aneh terjadi di rumahnya. Nalurinya memang tepat, reaksinya cepat.

Syahrazad, tentu saja, kecewa dengan perkembangan ini, tapi pada saat yang sama ia merasa lega. Seolah-olah seseorang telah melangkah dari belakangnya dan melepas beban berat dari bahunya. Ini berarti aku tidak bisa membobol rumahnya lagi, pikirnya. Tidak ada keraguan, jika saja kuncinya tetap sama, maka invasinya ini akan berlanjut terus menerus. Juga sudah dipastikan bahwa tindakannya akan meningkat lebih jauh di setiap kunjungan. Pada akhirnya, anggota keluarga akan muncul saat Syahrazad sedang berada di lantai dua. Tak akan ada jalan untuk melarikan diri. Tidak ada cara untuk membela dirinya yang bisa mengeluarkannya dari kesulitan. Ini adalah masa depan yang telah menunggunya, cepat atau lambat, dan hasilnya akan menghancurkannya. Sekarang Syahrazad telah berhasil mengelak. Mungkin dia harus berterima kasih pada ibu si lelaki—meski dia tidak pernah bertemu wanita itu—karena memiliki mata seperti elang.

Syahrazad menghirup aroma kaos si lelaki setiap malam sebelum dia pergi tidur. Dia tidur dengan kaos itu di sampingnya. Dia akan membungkusnya dengan kertas dan menyembunyikannya sebelum dia berangkat ke sekolah di pagi hari. Kemudian, setelah makan malam, dia akan menariknya keluar untuk membelai dan mengendusinya. Dia khawatir kalau-kalau bau itu akan memudar sejurus berlalunya hari, tapi itu tidak terjadi. Bau keringatnya telah meresapi kaus itu untuk selamanya.

Sekarang setelah aktivitas penyusupan yang telah berakhir, pikiran Syahrazad perlahan mulai kembali normal. Melamunnya di kelas berkurang, dan kata-kata gurunya mulai bisa terserap lagi. Namun, fokus utamanya tidak pada suara gurunya, tetapi pada perilaku teman sekelasnya itu. Dia terus mengawasi diam-diam dirinya, mencoba untuk mendeteksi perubahan, indikasi kalau-kalau si lelaki mungkin gugup akan sesuatu. Tapi si lelaki bertindak persis sama seperti biasa. Ia melemparkan kepalanya ke belakang dan tertawa spontan seperti biasa, dan menjawab segera ketika dipanggil. Dia berteriak keras-keras saat latihan sepak bola dan berkeringat seperti biasa. Syahrazad tidak mendapati sesuatu yang luar biasa—hanya pemuda biasa, dengan pembawaan yang lurus-lurus saja.

Namun, Syahrazad tahu ada satu bayangan yang mengikutinya. Atau sesuatu yang seperti itu. Tak ada yang tahu, kemungkinan. Hanya Syahrazad saja (dan, kalau dipikir-pikir, mungkin juga ibu si lelaki). Pada penyusupan ketiga, Syahrazad menemukan sejumlah majalah porno tersembunyi di relung terjauh dalam lemari. Majalah itu penuh dengan gambar wanita bugil, meragangkan kakinya dan memamerkan kelamin mereka dengan murah hatinya. Beberapa gambar menampilkan tindakan seks: pria memasukkan penis berbentuk pancing ke dalam tubuh wanita yang posisinya sangat tidak wajar. Syahrazad tidak pernah melihat foto seperti ini sebelumnya. Syahrazad duduk di meja dan membalik perlahan majalah itu, mempelajari setiap foto dengan minat yang tinggi. Syahrazad menduga bahwa si lelaki melakukan masturbasi saat melihat majalah-majalah itu. Tetapi gagasan itu tak Syahrazad anggap sebagai sesuatu yang menjijikkan. Syahrazad menerima masturbasi sebagai aktivitas normal. Semua sperma laki-laki harus pergi ke suatu tempat, seperti gadis-gadis harus mengalami menstruasi. Dengan kata lain, si lelaki sangat khas remaja. Bukan orang yang suci-suci amat. Dia menemukan bahwa pengetahuan ini merupakan sesuatu yang melegakan.

*

KETIKA pembobolanku berhenti, gairahku terhadapnya mulai reda. Bertahap memang, seperti surut pasang dari pantai panjang yang landai. Entah bagaimana, aku menemukan diriku membaui kausnya tak sesering sebelumnya dan menghabiskan lebih sedikit waktu membelai pensil dan lencananya. Demam itu sudah lewat. Apa yang aku telah tertular bukan sesuatu seperti sakit tapi hal itu sangat nyata. Selama itu berlangsung, aku tidak bisa berpikir jernih. Mungkin semua orang mengalami periode gila seperti itu pada satu waktu. Atau mungkin itu adalah sesuatu yang terjadi hanya untukku. Kalau kau bagaimana? Apakah kau pernah memiliki pengalaman seperti itu?”

Habara mencoba mengingat, tapi kosong belaka. “Tidak, tidak ada yang seekstrim dirimu, saya pikir,” katanya.

Syahrazad tampak agak kecewa dengan jawabannya.

“Pokoknya, aku lupa semua tentang dia setelah aku lulus. Begitu cepat dan mudah, itu aneh. Apa karena dirinya yang membuat usia tujuh belasku terasa begitu keras? Aku tak ingat. Hidup ini aneh, kan? Kau bisa benar-benar terpesona oleh sesuatu dalam satu menit, rela mengorbankan segalanya untuk membuatnya milikmu, tapi kemudian sedikit waktu berlalu, atau perspektifmu berubah sedikit saja, tiba-tiba kau terkejut betapa cahaya itu dengan cepatnya memudar. Apa yang aku cari? kau bertanya-tanya. Jadi itulah kisah saat masa ‘melanggar-dan-masuk’ ku.”

Dia membuatnya terdengar seperti Blue Period-nya Picasso, pikir Habara. Tapi ia mengerti apa yang Syahrazad coba untuk sampaikan.

Syahrazad melirik jam di samping tempat tidur. Itu hampir waktu baginya untuk pergi.

“Sejujurnya,” katanya akhirnya,”cerita tidak berakhir di sana. Beberapa tahun kemudian, ketika aku berada di tahun keduaku di sekolah keperawatan, goresan takdir aneh membawa kami bersama-sama lagi. Ibunya memainkan peran besar di dalamnya; pada kenyataannya, ada sesuatu yang menakutkan tentang seluruh hal ini—seperti salah satu cerita hantu lawas. Mungkin terdengar agak luar biasa. Apakah kau ingin mendengar tentang hal itu?”

“Aku ingin,” kata Habara.

“Mungkin lebih baik menunggu sampai kunjungan berikutnya,” kata Syahrazad. “Sudah larut. Aku harus pulang dan menyiapkan makan malam.”

Syahrazad bangkit dari tempat tidur dan mengenakan pakaian—celana dalamnya, stoking, kamisol, dan, akhirnya, roknya dan blus. Habara biasa menyaksikan gerakannya ini dari tempat tidur. Ini membuatnya berpikir kalau saat perempuan mengenakan pakaian bisa lebih menarik ketimbang saat mereka menanggalkan pakaian.

“Ada buku yang kau inginkan untuk kubawa?” Tanya Syahrazad, dalam perjalanan keluar pintu.

“Tidak, tidak ada yang bisa saya pikirkan,” jawabnya. Apa yang benar-benar ia inginkan, Habara pikir, adalah agar Syahrazad bisa menceritakan seluruh kisahnya, tapi dia tidak bisa mengungkapkannya dalam kata-kata. Hal itu mungkin bakal membahayakan peluang Habara sehingga tidak akan pernah mendengar kisahnya lagi.

*

HABARA pergi tidur lebih awal malam itu dan berpikir tentang Syahrazad. Mungkin dia tidak akan pernah melihat Syahrazad lagi. Ini membuatnya khawatir. Kemungkinan itu terlalu nyata. Tidak ada dari kontak personal—tidak ada sumpah, tidak ada hubungan implisit di antara mereka—yang mengikat. Ada kemungkinan hubungan mereka diciptakan oleh orang lain, dan mungkin akan berakhir karena kemauan orang itu juga. Dengan kata lain, mereka terikat hanya oleh benang sangat tipis. Itu mungkin—tidak, sudah pasti—bahwa benang itu pada akhirnya akan rusak dan semua kisah-kisah aneh dan asing yang Syahrazad ceritakan akan terputus untuknya. Satu-satunya pertanyaan adalah kapan itu akan terjadi.

Habara menutup matanya dan berhenti memikirkan Syahrazad. Sebaliknya, ia memikirkan lamprey. Belut lamprey tanpa rahang mengikatkan diri pada batu, bersembunyi di antara rerumputan dasar air, sedang bergoyang maju-mundur. Habara membayangkan bahwa dirinya adalah salah satu dari mereka, menunggu ikan muncul. Tapi tidak ada ikan lewat, tidak peduli berapa lama ia menunggu. Baik yang gemuk, bahkan yang kecil sekalipun, tidak ada ikan sama sekali. Akhirnya matahari terbenam, dan dunianya itu merengkuh dalam kegelapan.

Diterjemahkan dari “Scheherazade” yang dirilis di The New Yorker 13 Oktober 2014. Cerpen Haruki Murakami yang dialihbahasakan dari Jepang ke Inggris oleh Ted Goossen.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *