Oleh Haruki Murakami
Aku membeli koran di pelabuhan dan menemukan sebuah artikel tentang seorang wanita tua yang dimakan kucing. Ia berusia tujuh puluh tahun dan tinggal sendirian di kota kecil pinggiran Athena—semacam kehidupan yang tenang, hanya ia dan tiga ekor kucing dalam sebuah apartemen kecil. Suatu hari, ia tiba-tiba jatuh pingsan dengan posisi tertelungkup di sofa—serangan jantung, kemungkinan besar. Tak ada yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga ia meninggal dunia setelah pingsan. Wanita tua itu tidak memiliki kerabat atau teman yang mengunjunginya secara teratur, dan diperlukan satu minggu sebelum tubuhnya ditemukan. Jendela dan pintu ditutup, dan kucing terjebak. Tak ada makanan di dalam apartemen itu. Memang, mungkin ada sesuatu di lemari es, namun kucing tidak berevolusi sampai titik di mana mereka bisa membuka lemari es sendiri. Di ambang kelaparan, mereka akhirnya melahap daging tuan mereka.
Aku membaca artikel ini untuk Izumi, yang duduk di depanku. Pada hari-hari cerah, kami biasanya berjalan ke pelabuhan, membeli salinan koran Athena yang berbahasa Inggris, memesan kopi di kafe sebelah kantor pajak, dan setelah itu aku akan meringkas dalam bahasa Jepang sesuatu yang menarik yang mungkin kutemukan. Sejauh ini, itulah jadwal rutin kami sehari-hari di pulau. Jika ada sesuatu di artikel khusus yang menarik minat kami, kami akan berdiskusi santai sejenak tentang artikel itu. Bahasa Inggris Izumi cukup bagus, dan sesungguhnya ia bisa dengan mudah membaca artikel sendiri. Tapi aku tidak pernah sekalipun melihat ia membeli koran.
“Aku ingin memiliki seseorang yang membacakannya untukku,” jelasnya. “Itu mimpiku sejak masih kecil—duduk di tempat yang cerah, memandangi langit atau laut, dan memiliki seseorang yang membaca keras-keras untukku. Aku enggak peduli apa yang mereka baca—koran, buku pelajaran, novel. Bukan masalah. Tapi belum pernah ada seorang pun yang membaca untukku. Jadi, kukira, itu artinya kamu diciptakan untuk semua kesempatan yang hilang itu. Dan selain itu, aku suka suaramu.”
Yah, ada langit dan laut di hadapan kami. Dan aku senang membaca keras-keras. Saat tinggal di Jepang, aku biasa membacakan buku-buku bergambar dengan lantang untuk anak lelakiku. Membaca dengan suara lantang berbeda dengan hanya mengikuti kalimat dengan sepasang matamu. Sesuatu yang sungguh tak terduga mengalir di dalam pikiranmu, semacam resonansi tak terlukiskan yang tidak mungkin dilawan.
Sambil sesekali menyesap kopi, aku membaca artikel dengan perlahan-lahan. Aku lebih dulu membaca beberapa baris untuk diriku sendiri, merenungkan bagaimana memasukkannya ke dalam bahasa Jepang, kemudian menerjemahkannya dengan suara keras. Beberapa lebah muncul dari suatu tempat untuk menjilat selai sisa pelanggan sebelumnya yang tumpah di atas meja. Sesaat lebah-lebah itu menjilatinya, lalu, seolah tiba-tiba teringat sesuatu, terbang ke udara dengan dengung yang seperti upacara, mengitari meja beberapa kali, dan kemudian—lagi-lagi seolah sesuatu membangkitkan ingatan mereka—menetap sekali lagi di atas meja. Setelah aku selesai membaca seluruh artikel, Izumi duduk di sana, tak bergerak, dengan siku bertumpu di atas meja. Ia mempertemukan ujung jemari kanan dengan ujung jemari kirinya. Aku meletakkan koran di atas pangkuan dan menatap jemari rampingnya. Ia menatapku melalui ruang antara jemarinya.
“Lalu, apa yang terjadi?” tanyanya.
“Cuma begitu saja,” jawabku, dan melipat koran. Aku mengambil sapu tangan dari dalam saku dan menyeka bintik-bintik ampas kopi dari bibirku. “Setidaknya, hanya itulah yang diwartakan.”
“Tapi apa yang terjadi dengan kucing-kucingnya?”
Aku memasukkan saputangan kembali ke dalam saku. “Entahlah. Enggak dibahas lebih lanjut.”
Izumi mengerutkan bibirnya ke satu sisi, kebiasaan kecilnya. Setiap kali ia hendak melontarkan pendapat—yang kerap berbentuk seperti deklarasi kecil— ia mengerutkan bibir seperti itu, seolah tengah menyentak sprei untuk merapikan kerutan-kerutan liar. Ketika pertama kali bertemu dengannya, kebiasaan itu cukup memikatku.
“Koran itu semua sama saja, ke mana pun kamu pergi,” ia akhirnya melanjutkan. “Koran-koran itu enggak pernah memberitahu apa yang benar-benar ingin kautahu.”
Izumi mengeluarkan sebatang rokok Salem dari kotaknya, meletakkannya di mulut, dan menggesek korek api. Setiap hari, ia menghabiskan sebungkus rokok Salem—tidak kurang, tidak lebih. Ia membuka bungkus baru di pagi hari dan menghabiskan rokok itu hingga hari berakhir. Aku tidak merokok. Istriku membuatku berhenti, lima tahun yang lalu, saat ia hamil.
“Apa yang aku benar-benar ingin tahu,” Izumi memulai, asap dari rokoknya bergelung tanpa suara di udara, “Adalah apa yang terjadi dengan para kucing setelahnya. Apakah pihak berwajib membunuh mereka karena mereka makan daging manusia? Ataukah mereka bilang, ‘kalian sudah melawati masa-masa sulit,’ lantas memberi mereka tepukan di kepala, dan membiarkan mereka pergi? Menurutmu bagaimana?”
Aku memandangi lebah yang melayang di atas meja dan berpikir tentang pertanyaan itu. Lebah-lebah kecil yang gelisah menjilati selai dan tiga kucing yang melahap daging wanita tua itu menjadi satu dalam benakku. Jeritan burung-burung camar di kejauhan berkelindan dengan dengung lebah, dan sepersekian detik kesadaranku tersesat di ambang batas kenyataan dan ilusi. Di manakah aku? Apa yang sedang kulakukan di sini? Aku kehilangan tumpuan dalam situasi seperti ini. Aku menarik napas dalam-dalam, menatap ke langit, dan berpaling ke Izumi.
“Aku enggak tahu.”
“Coba pikirkan ini. Jika kamu adalah seorang walikota atau kepala polisi, apa yang akan kamu lakukan dengan kucing-kucing itu?”
“Bagaimana kalau menempatkan mereka dalam sebuah institusi untuk mereformasi mereka?” kataku. “Ubah mereka jadi vegetarian.”
Izumi tidak tertawa. Ia menghisap rokok dan mengeluarkan asapnya dengan sangat perlahan. “Cerita itu mengingatkanku pada sebuah ceramah yang kudengar saat baru masuk di SMP Katolik. Eh, apa aku sudah bilang aku pernah bersekolah di sekolah Katolik yang sangat ketat? Sesaat setelah upacara masuk, salah satu suster kepala menyuruh kami semua berkumpul di auditorium, dan kemudian dia naik ke podium dan memberikan ceramah tentang ajaran Katolik. Ia berbicara banyak hal, tapi yang paling kuingat—sebenarnya, satu-satunya hal yang kuingat—adalah cerita yang ia tuturkan kepada kami tentang terdampar di sebuah pulau terpencil bersama seekor kucing.”
“Kedengarannya menarik,” ujarku.
“’Kalian berada dalam kecelakaan kapal,’ katanya kepada kami. ‘Satu-satunya yang ada di sekoci hanya kalian dan kucing. Kalian terdampar di salah satu pulau terpencil tak bernama, dan di sana tidak ada satu pun untuk dimakan. Yang kalian miliki hanya air secukupnya dan biskuit kering untuk menopang hidup satu orang selama sekitar sepuluh hari.’ Ujarnya, ‘Baiklah, semuanya, saya ingin kalian membayangkan diri dalam situasi ini. Tutup mata kalian dan cobalah membayangkannya. Kalian sendirian di pulau terpencil, hanya kalian dan seekor kucing. Kalian hampir tidak memiliki makanan sama sekali. Kalian paham? Kalian lapar, haus, dan akhirnya kalian akan mati. Apa yang harus kalian lakukan? Haruskah kalian berbagi simpanan makanan dengan kucing? Tidak, kalian tidak harus melakukannya. Itu merupakan suatu kesalahan. Kalian semua adalah makhluk mulia, makhluk pilihan Tuhan, dan kucing bukan. Itulah mengapa kalian harus makan semua makanan itu sendiri.’ suster itu memandangi kami dengan tatapan yang amat serius. Aku sedikit terkejut. Apa gerangan tujuannya bercerita seperti itu kepada anak-anak yang baru saja masuk sekolah? Aku berpikir, wah, tempat macam apa yang aku masuki ini?”
Izumi dan aku tinggal di sebuah apartemen sederhana di salah satu pulau kecil Yunani. Saat ini bukanlah musim liburan, dan pulau ini tidak memiliki terlalu banyak tempat wisata, jadi harga sewanya murah. Sebelumnya, tak satu pun dari kami pernah mendengar tentang pulau ini. Terletak dekat perbatasan Turki, dan pada hari-hari yang cerah kau bisa melihat pegunungan Turki yang kehijauan. Ada guyonan setempat yang mengatakan bahwa di hari-hari berangin, kau bisa menghirup aroma shish kebab. Lelucon lainnya, pulau itu bahkan lebih dekat ke pantai Turki daripada pulau Yunani terdekat. Dan di sana—nampak samar tepat di hadapan kami—adalah Asia Kecil.
Di alun-alun kota terdapat patung pahlawan kemerdekaan Yunani. Ia memimpin insureksi di daratan Yunani dan merencanakan pemberontakan melawan Turki, yang kala itu menguasai pulau itu. Tapi Turki menangkap dan membunuhnya. Mereka mendirikan tiang pancang berujung runcing di alun-alun dekat pelabuhan, melucuti sang pahlawan malang hingga telanjang, dan menusukkannya ke tiang pancang itu. Berat tubuhnya mendorong ujung runcing pancang melewati anusnya dan lalu seluruh tubuhnya—dengan amat-sangat perlahan—hingga akhirnya keluar dari mulut, cara mati yang mengerikan. Patung itu didirikan di titik yang diperkirakan adalah tempat peristiwa itu berlangsung. Saat kali pertama dibangun, pasti sangat mengesankan, namun kini, akibat ulah angin laut, debu, dan kotoran burung camar, kau bahkan nyaris tidak bisa melihat wajah pria itu. Penduduk lokal hanya melihat patung lusuh itu sekilas lalu, dan kini pahlawan itu tampak seolah-olah tengah memunggungi orang-orang, pulau itu, memunggungi dunia.
Saat Izumi dan aku duduk di bagian luar kafe, minum kopi atau bir, menatap tanpa tujuan ke kapal yang bersandar di pelabuhan, burung-burung camar, dan bukit-bukit Turki yang jauh, kami sesungguhnya tengah duduk di tepian Eropa. Angin yang berhembus adalah angin di tepian dunia. Tak terhindarkan lagi, aura retro memenuhi tempat itu. Keadaan itu membuatku merasa seakan sedang diam-diam ditelan oleh kenyataan ganjil, sesuatu yang asing dan tak terjamah, samar-samar namun lembut menyapaku dengan cara yang tak lazim. Dan bayangan dari substansi itu mewarnai roman muka, mata, dan kulit orang-orang yang berkumpul di pelabuhan.
Kadang kala aku tidak bisa memahami fakta bahwa aku adalah bagian dari pemandangan ini. Berapa kali pun aku memandangi panorama di sekitarku, sebanyak apa pun udara yang kuhirup, tetap saja tak kutemukan hubungan yang padu antara aku dan semua ini.
Dua bulan yang lalu, aku tinggal bersama istri dan anak lelaki kami yang berusia empat tahun di sebuah apartemen tiga kamar di Unoki, di Tokyo. Bukan tempat yang luas, akan tetapi cukup menopang hidupmu, sebuah apartemen yang fungsional. Aku dan istriku menempati kamar tidur kami sendiri, begitu pula anak kami, dan ruang yang tersisa menjadi ruang belajarku. Apartemen itu tenang, dengan pemandangan yang bagus. Pada akhir pekan, kami bertiga akan berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Tama. Pada musim semi, pohon-pohon ceri di sepanjang tepi sungai bermekaran, aku biasanya naik sepeda memboncengi anakku dan kami pergi menonton pelatihan musim semi tim Giants’ Triple A.
Aku bekerja di sebuah perusahaan desain skala menengah yang khusus menangani buku dan layout majalah. Menyebutku seorang ‘desainer’ akan membuat pekerjaanku terdengar lebih menarik dari kenyataannya, karena pekerjaan itu sendiri nyaris ‘tak bisa diapa-apakan lagi’. Tak ada kemewahan, dan tak bisa dibayangkan lebih. Seringnya, jadwal kami agak terlalu sibuk, dan beberapa kali dalam sebulan aku harus lembur di kantor. Beberapa pekerjaannya amat-sangat membosankan sampai-sampai membuatku ingin menangis. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya, dan perusahaannya sendiri tempat yang santai. Dengan senioritasku, aku bisa memilih sendiri pekerjaanku, dan cukup bebas berkata apa pun yang aku mau. Atasanku baik, dan aku bisa membaur dengan rekan kerja yang lain. Dan gajiku tidak terlalu buruk. Jadi jika tidak ada halangan, aku mungkin akan menetap di perusahaan itu hingga masa mendatang. Dan hidupku, seperti Sungai Moldau—lebih tepatnya sekumpulan air tanpa nama yang membentuk Sungai Moldau—akan terus mengalir, dengan cepat, menuju laut.
Tapi di tengah perjalanan aku bertemu Izumi.
*
Izumi sepuluh tahun lebih muda dariku. Kami bertemu di sebuah pertemuan bisnis. Sesuatu yang ‘klik’ terjadi antara kami saat pertama kali mata kami beradu-pandang. Bukanlah hal yang sering terjadi. Setelah itu, kami bertemu beberapa kali untuk membahas rincian proyek kerja sama itu. Aku pergi ke kantornya, atau dia mampir ke kantorku. Pertemuan kami selalu singkat, melibatkan orang lain, dan hanya membahas soal bisnis. Ketika proyek kami selesai, entah bagaimana, kesepian yang dahsyat menerpaku, seolah-olah sesuatu yang sangat penting telah direnggut paksa dari genggamanku. Bertahun-tahun aku tak pernah merasa seperti itu. Dan, kupikir, ia merasakan hal yang sama.
Seminggu kemudian ia menelepon kantorku membicarakan tentang beberapa hal kecil dan kami mengobrol sebentar. Aku sedikit berkelakar, dan ia tertawa. “Mau pergi minum?” Tanyaku. Kami pergi ke sebuah bar kecil dan memesan beberapa minuman. Aku tak ingat persis apa yang kami bicarakan, tapi kami menemukan jutaan topik dan bisa berbicara selamanya. Dengan kejelasan serupa sinar laser, aku bisa memahami segala sesuatu yang ia katakan. Dan ia bisa mengerti hal-hal yang tak bisa kujelaskan dengan baik kepada orang lain, dengan ketepatan yang membuatku sendiri terkejut. Kami berdua sudah menikah, dan tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Kami mencintai pasangan kami, dan menghormati mereka. Bagaimana pun, ini termasuk dalam urutan keajaiban-keajaiban kecil dalam hidup—secara kebetulan bertemu orang lain yang bisa sepenuhnya mengekspresikan perasaanmu dengan begitu jelas. Kebanyakan orang melalui seluruh hidup mereka tanpa pernah bertemu dengan orang seperti itu. Salah besar jika melabeli ini ‘cinta’, hubungan seperti ini lebih seperti memberikan empati secara total.
Kami mulai berkencan secara teratur. Pekerjaan suaminya membuatnya pulang terlambat, jadi Izumi bebas untuk pulang dan pergi sesuka hatinya. Ketika kami bersama, waktu rasanya cepat berlalu. Kami melihat jam tangan dan ternyata kami nyaris saja ketinggalan kereta terakhir. Sangat berat mengucapkan salam perpisahan. Masih terlalu banyak yang ingin kami bicarakan.
Tak satu pun dari kami merayu untuk tidur bersama, tapi kami mulai melakukannya. Kami berdua masih setia kepada pasangan masing-masing sampai saat itu, tapi entah bagaimana kami tidak merasa bersalah karena telah tidur bersama, alasannya sederhana; kami memang harus melakukannya. Menelanjanginya, menyentuh lembut kulitnya, memeluknya erat, meluncur ke dalam tubuhnya, ejakulasi—semua itu hanya kelanjutan alamiah dari percakapan kami. Jadi wajar kalau percintaan kami bukanlah sumber kesenangan fisik yang mampu membuat terluka; hanya semacam ketenangan batin, tindakan yang menyenangkan, melucuti segala kepura-puraan. Yang terbaik dari semua itu adalah percakapan sunyi kami setelah berhubungan seks. Aku memeluk erat tubuh telanjangnya, dan ia meringkuk dalam pelukanku dan kami akan saling membisikkan rahasia dalam bahasa khusus yang kami buat sendiri.
Kami bertemu hanya jika situasinya memungkinkan. Anehnya, atau mungkin tak begitu aneh, kami benar-benar yakin bahwa hubungan kami bisa berlangsung selamanya, kehidupan pernikahan kami di satu sisi, dan hubungan kami sendiri di sisi lain, dengan tanpa masalah yang muncul. Kami yakin hubungan kami tidak akan pernah terungkap. Benar kami melakukan hubungan seks, tapi bagaimana bisa hal itu menyakiti orang lain? Di malam saat aku tidur dengan Izumi, aku pulang terlambat dan harus membuat beberapa kebohongan kepada istriku, dan aku merasa sedih, tapi hal itu tidak nampak seperti pengkhianatan yang sebenarnya. Hubunganku dan Izumi belum bisa dikategorikan sebagai hubungan yang intim.
Dan, jika tak ada halangan, mungkin kami akan melanjutkan hidup seperti itu selamanya, menyesap vodka dan tonik, menyelinap di antara selimut jika memang perlu. Atau mungkin kami kelak akan bosan berbohong kepada pasangan kami dan memutuskan untuk membiarkan perselingkuhan ini mati secara alami sehingga kami bisa kembali ke gaya hidup kecil yang nyaman. Dengan kata lain, aku tidak pernah berpikir segalanya akan menjadi buruk. Aku memang tidak bisa membuktikannya; aku hanya mampu merasakannya saja. Tapi tangan-tangan takdir—tak dapat dipungkiri—ikut campur, dan suami Izumi mengendus perselingkuhan kami. Setelah memaksa Izumi bicara, ia menerobos masuk ke rumahku, benar-benar di luar kendali. Seolah sudah digariskan, istriku sedang sendiri di rumah pada waktu itu, dan segalanya menjadi buruk. Ketika aku sampai rumah, ia menuntut agar aku menjelaskan apa yang sedang terjadi. Izumi sudah mengakui semuanya, jadi aku tak bisa mengarang cerita. Aku mengatakan kepadanya apa yang telah terjadi. “Ini bukan jatuh cinta,” jelasku. “Ini hubungan spesial, tapi benar-benar berbeda dengan apa yang kurasakan kepadamu, seperti siang dan malam. Kamu bahkan enggak bisa mendeteksi hubungan kami, kan? Itu bukti kalau ini bukan jenis perselingkuhan seperti yang kamu bayangkan. ”
Tapi istriku tak mau mendengar. Ia terguncang, membisu, dan benar-benar tidak mengatakan apa pun. Keesokan harinya, ia membereskan semua barang-barangnya ke dalam mobil dan pergi ke tempat orangtuanya, di Chigasaki, membawa serta anak lelaki kami. Aku menelepon beberapa kali, namun ia tak mau menjawab teleponku dan sebagai gantinya, ayahnya yang menjawab. “Saya enggak mau dengar alasanmu yang menyedihkan,” ia memperingatkan,“Dan saya enggak akan membiarkan anak saya kembali ke bajingan sepertimu.” Ia memang sudah sangat menentang pernikahan kami dari awal, dan dari nada bicaranya ia seolah mengatakan bahwa akhirnya ia terbukti benar.
Di masa-masa sedih itu, aku mengambil cuti beberapa hari dan hanya berbaring nelangsa di atas ranjang. Izumi meneleponku. Ia juga kesepian. Suaminya juga meninggalkannya, setelah menamparnya. Suaminya mengguntingi setiap pakaian milik Izumi. Dari mantel hingga celana dalamnya, semua compang-camping. Ia tidak tahu suaminya pergi ke mana. “Aku lelah,” ujarnya. “Aku enggak tahu apa yang harus kulakukan. Semuanya hancur, dan enggak akan pernah sama lagi. Dia enggak akan kembali.” Ia terisak selama di telepon. Bagaimana pun, ia dan suaminya berpacaran sejak SMA. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi apa yang harus kukatakan?
“Pergi minum, yuk?” ia akhirnya memberi usul. Kami pergi ke Shibuya dan minum hingga fajar di bar yang buka semalaman. Aku minum vodka gimlet, ia daiquiris. Aku lupa berapa banyak minum yang kami habiskan. Untuk pertama kalinya sejak kami bertemu kami tidak banyak bicara. Menjelang fajar kami meredakan pengaruh minuman dengan berjalan menuju Harajuku, kemudian singgah di Denny’s untuk minum kopi dan sarapan. Saat itulah ia melontarkan gagasan pergi ke Yunani.
“Yunani?” tanyaku.
“Kita sudah enggak bisa tinggal dengan nyaman di Jepang,” katanya, sambil menatap mataku dalam-dalam.
Aku memunculkan gagasan ke dalam benakku. Yunani? Otakku yang terendam alkohol tidak bisa berpikir logis.
“Aku selalu kepingin pergi ke Yunani,” ujarnya. “Itu impianku. Waktu itu aku ingin kami berbulan madu ke Yunani, tapi kami enggak punya cukup uang. Jadi, ayo pergi—kita berdua. Tinggal di sana, kamu tahu, tanpa mencemaskan apa pun. Menetap di Jepang hanya akan membuat kita murung saja, dan enggak akan ada hal-hal baik yang muncul.”
Aku tidak memiliki ketertarikan khusus terhadap Yunani, tetapi aku harus setuju dengannya. Kami menghitung berapa banyak uang yang kami miliki. Tabungannya dua setengah juta yen, sementara aku hanya satu setengah juta. Jika disatukan sekitar empat juta yen—sekitar empat puluh ribu dolar.
“Empat puluh ribu dolar seharusnya cukup untuk bertahan beberapa tahun di pedesaan Yunani,” kata Izumi. Harga tiket pesawat diskon sekitar empat ribu. Sisanya tiga puluh enam ribu. Rencanakan seribu dolar per bulan, uang segitu cukup untuk tiga tahun. Dua setengah tahun, untuk amannya. Menurutmu bagaimana? Ayo kita pergi. Hal-hal lain kita bisa pikirkan nanti.”
Aku memandang sekitar. Restoran Denny’s pagi hari penuh dengan pasangan muda. Kami adalah satu-satunya pasangan yang berusia di atas tiga puluh tahun. Dan tentu hanya satu-satunya pasangan yang tengah mendiskusikan untuk mengumpulkan semua uang yang dimiliki dan terbang ke Yunani setelah bencana perselingkuhan. Kacau sekali, pikirku. Aku menatap telapak tangan untuk waktu yang lama. Seperti inikah hidupku seharusnya?
“Baiklah,” akhirnya aku berkata. “Ayo kita lakukan.
Di tempat kerja keesokan harinya aku menyerahkan surat pengunduran diri. Atasanku sudah mendengar rumor dan menegaskan lebih baik mengambil cuti saja sementara waktu. Rekan-rekan kerjaku terkejut mendengar bahwa aku ingin berhenti, namun tak satu pun berusaha keras membujukku untuk tidak melakukannya. Berhenti bekerja ternyata tak terlalu sulit. Setelah kau memutuskan untuk membebaskan dirimu dari sesuatu, hanya sedikit yang tidak bisa kau singkirkan. Bukan—bukan sedikit. Setelah kau memutuskan sesuatu, tidak ada yang tidak bisa kau singkirkan. Dan setelah kau mulai menyingkirkan sesuatu, kau akan memiliki kenginginan untuk menyingkirkan segala hal. Seolah-olah kau akan mempertaruhkan hampir semua uangmu dan mengambil keputusan. Persetan, aku akan pertaruhkan semuanya. Tak perlu disisakan, aku sudah pusing.
Aku mengemas semua yang kupikir akan kubutuhkan menjadi satu dalam koper Samsonite biru ukuran medium. Izumi melakukan hal yang sama.
Ketika kami terbang melintasi Mesir, tiba-tiba saja aku dicekam ketakutan yang teramat jika seseorang secara tak sengaja mengambil koperku. Di dunia ini, pastilah ada puluhan ribu koper Samsonite biru yang sama dengan milikku. Mungkin saat aku tiba di Yunani, membuka koper, dan menemukan koper itu berisi benda-benda milik orang lain. Serangan kecemasan yang parah menerpaku. Jika koperku hilang, maka tak akan ada satu pun yang tersisa bagiku untuk menyambung hidupku—hanya Izumi. Tiba-tiba aku merasa seakan aku telah lenyap. Sensasi yang sangat aneh. Aku merasa orang yang tengah duduk di dalam pesawat itu bukanlah aku. Otakku keliru mengikatkan dirinya pada ‘kemasan’ yang terlihat sepertiku. Kekacauan total melanda pikiranku. Aku harus kembali ke Jepang untuk kembali ke dalam tubuhku. Namun saat ini aku berada di dalam pesawat, terbang melintasi Mesir, dan tak ada jalan untuk kembali. Di saat seperti ini, dagingku rasanya seolah terbuat dari plester. Jika aku menggaruknya, ia akan terkelupas. Tubuhku gemetar tak terkendali. Aku tahu jika guncangan ini berlangsung lebih lama lagi tubuhku akan pecah dan menjadi debu. Meski pesawat terbang difasilitasi pendingin ruangan, tubuhku dibanjiri keringat. Bajuku menempel di kulit. Bau yang mengerikan menyeruak dari tubuhku. Sementara itu, Izumi menggenggam tanganku erat-erat dan memelukku sesekali. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi ia tahu apa yang sedang kurasakan. Guncangan ini berlangsung selama setengah jam. Aku ingin mati—menempelkan moncong revolver di telingaku dan menarik pelatuknya, sehingga baik pikiran maupun tubuhku akan meledak menjadi debu.
Setelah guncangan mereda, aku tiba-tiba merasa lebih ringan. Kukendurkan bahu yang tegang dan menyerahkan diri ke aliran waktu. Aku jatuh ter tidur, dan, ketika mataku terbuka, di bawahku terhampar perairan nilakandi Aegean.
*
Masalah terbesar yang kami hadapi di pulau itu adalah nyaris tidak adanya hal yang harus dilakukan. Kami tidak bekerja, dan tidak memiliki teman. Pulau ini tidak memiliki bioskop atau lapangan tenis atau buku untuk dibaca. Kami telah meninggalkan Jepang dengan sangat mendadak hingga aku benar-benar lupa untuk membawa buku. Aku membaca dua novel yang kubeli di bandara, dan salinan tragedi Aeschylus yang dibawa Izumi. Aku membaca semuanya dua kali. Untuk melayani wisatawan, kios di pelabuhan menyediakan beberapa paperback berbahasa Inggris, tapi tidak ada satu pun yang menarik mataku. Membaca adalah kegemaranku, dan aku selalu memimpikan jika aku memiliki banyak waktu luang aku akan berenang dalam tumpukan buku, namun ironisnya, di sinilah aku—dengan sangat banyak waktu luang dan tak ada yang bisa dibaca.
Izumi mulai belajar bahasa Yunani. Ia selalu membawa buku pelajaran ahasa Yunani, dan membuat catatan berisi daftar konjugasi kata kerja yang selalu ia bawa ke mana-mana, melafalkan kata kerja keras-keras seperti mantra. Ia sudah sampai ke titik di mana ia mampu berbicara dengan pemilik toko meski masih kacau, dan kepada pelayan saat kami singgah di kafe, sehingga kami berhasil memiliki beberapa kenalan. Tak mau kalah, aku pun memperbaiki bahasa Perancisku. Kupikir suatu hari akan berguna, tetapi di pulau kecil yang kumuh ini aku tak pernah bertemu seseorang yang berbicara bahasa Perancis. Di kota, kami mampu bertahan dengan bahasa Inggris. Beberapa orang tua mengerti bahasa Jerman atau Italia. Bahasa Perancis, nyatanya, sungguh tidak berguna.
Karena tak ada banyak hal yang bisa dilakukan, kami berjalan-jalan ke mana pun. Kami mencoba memancing di pelabuhan tapi tidak mendapatkan apa-apa. Bukan karena ikannya sedikit; tapi karena airnya terlalu jernih. Ikan-ikan bisa melihat dengan jelas dari mulai kail hingga wajah orang yang mencoba menangkap mereka. Hanya ikan yang benar-benar bodoh saja yang bisa tersangkut mata kail. Aku membeli buku sketsa dan cat air di toko lokal dan berjalan kaki mengelilingi pulau untuk melukis pemandangan dan orang-orang. Izumi duduk di sisiku, melihat lukisanku sambil menghafal konjugasi Yunani-nya. Orang-orang setempat sering datang dan melihatku melukis. Untuk membunuh waktu, aku melukis wajah mereka, yang tampaknya cukup memuaskan. Jika aku memberikan lukisan itu kepada mereka, seringnya mereka mentraktir kami bir. Sekali waktu, seorang nelayan memberi kami seluruh gurita tangkapannya.
“Kamu bisa hidup dengan melukis,” kata Izumi. “Kamu berbakat, dan bisa membuat usaha kecil dengan itu. Bilang saja kamu adalah seniman dari Jepang, di sini pasti sangat jarang.”
Aku tertawa, tapi Izumi memasang wajah serius. Kubayangkan diriku mengelilingi kepulauan Yunani, meluangkan waktu senggangku dengan menggambar wajah orang, menikmati bir gratis sesekali.
Bukan ide yang buruk, simpulku.
“Dan aku akan menjadi koordinator tur untuk turis Jepang,” Izumi melanjutkan. “Seiring berjalannya waktu mereka pasti akan berdatangan ke sini, dan tentu pekerjaan itu akan sangat dibutuhkan. Tentu saja itu artinya aku harus mulai serius belajar bahasa Yunani.”
“Apakah kamu sungguh-sungguh berpikir kita bisa menghabiskan dua setengah tahun tanpa melakukan apa pun?” tanyaku.
“Yah, selama kita enggak kerampokan atau sakit atau sesuatu seperti itu. Kalau enggak ada hal-hal yang enggak terduga, kita seharusnya bisa bertahan. Namun, tak ada salahnya mempersiapkan untuk hal-hal yang tak terduga.”
Hingga saat itu aku nyaris belum pernah ke dokter, ujarku padanya.
Izumi menatap lurus ke arahku, mengerutkan bibirnya, dan menariknya ke satu sisi.
“Katakanlah aku hamil,” mulainya. “Apa yang akan kamu lakukan? Ya, kamu memang menjaga dirimu dengan baik, tapi manusia selalu berbuat salah. Dan jika itu terjadi, uang kita akan terkuras dengan cepat.”
“Jika hal itu terjadi, kita mungkin harus kembali ke jepang,” kataku.
“Kamu enggak ngerti, ya?” katanya pelan. “Kita enggak akan pernah bisa kembali ke Jepang.”
*
Izumi melanjutkan studi bahasa Yunani-nya, dan aku lanjut menggambar. Ini adalah waktu terdamai sepanjang hidupku. Kami makan seadanya dan menyesap anggur termurah. Setiap hari, kami mendaki bukit terdekat. Ada desa kecil di puncaknya, dan dari sana kami bisa melihat pulau lain nun jauh di sana. Berkat udara segar yang melimpah dan olah raga ringan menaiki bukit, bentuk tubuhku jadi bagus. Setelah matahari terbenam di pulau itu, tak ada satu pun suara yang bisa kau dengar. Dan dalam keheningan itu Izumi dan aku bercinta dengan tenang dan berbicara tentang apa saja. Tak perlu lagi mengkhawatirkan kereta terakhir, atau pulang dengan membawa kebohongan untuk pasangan kami. Ini hal luar biasa yang bahkan melampaui anggapan kami. Musim gugur menua sedikit demi sedikit, dan awal musim dingin pun datang. Angin bertiup, dan ombak berbuih di lautan.
Di saat seperti itulah kami membaca cerita di koran tentang kucing pemakan manusia. Di koran yang sama, terdapat berita mengenai kondisi kaisar Jepang yang memburuk, tapi kami membeli koran itu hanya untuk memeriksa nilai tukar mata uang. Nilai Yen terus menguat terhadap Drachma. Ini sangat penting bagi kami; semakin kuat nilai yen, semakin banyak uang yang kami punya.
“Omong-omong soal kucing,” beberapa hari setelah kami membaca artikel. “Waktu masih kecil aku punya kucing yang menghilang dengan cara yang sangat aneh.”
Izumi terlihat ingin tahu lebih banyak. Ia mengangkat wajahnya dari daftar konjugasi dan melihat ke arahku. “Kok bisa begitu?”
“Aku masih kelas dua, atau mungkin kelas tiga. Kami tinggal di rumah dinas dengan taman yang luas. Ada sebuah pohon pinus tua di sana, yang saking tingginya kamu hampir tidak bisa melihat puncaknya. Suatu hari, aku duduk di teras belakang membaca buku sedangkan kucing kampung bercorak kuning hitam peliharaan kami sedang bermain di taman. Kucing itu melompat-lompat sendirian, yah, hal yang lazimnya dilakukan seekor kucing. Semakin lama ia kelihatan semakin bersemangat melompat-lompat seperti itu, ia benar-benar enggak sadar kalau aku sebenarnya sedang memperhatikan. Semakin lama aku memperhatikannya, aku jadi semakin takut. Kucing itu macam kesurupan saja, melompat-lompat tak terkendali sampai bulu-bulunya bergidik. Seakan-akan ia melihat sesuatu yang tidak bisa kulihat. Akhirnya, ia berlari mengitari pohon pinus seperti macan dalam cerita Little Black Sambo. Kemudian ia mencengkram tanah untuk berhenti mendadak dan memanjat pohon hingga ke cabang tertinggi. Aku hanya mampu melihat wajah kecilnya di atas cabang itu. Kucing itu masih terlihat semangat dan gelisah. Ia bersembunyi di balik cabang pohon, memandangi sesuatu. Aku berteriak memanggil namanya, tapi ia bertingkah seolah ia tidak mendengarku.”
“Siapa nama kucing itu?” Izumi bertanya.
“Aku lupa,” jawabku. “Malam berangsur datang, wajahnya terlihat semakin gelap. Aku khawatir dan menunggu kucing itu turun. Akhirnya ia benar-benar ditelan kegelapan. Dan kami enggak pernah melihat kucing itu lagi.”
“Enggak terlalu luar biasa, sih,” ujar Izumi. “Kucing-kucing memang sering lenyap kayak gitu. Apalagi kalau mereka sedang bersemangat. Mereka terlalu girang sampai-sampai tidak ingat jalan pulang. Kucingmu pasti turun dari pohon pinus dan pergi ke suatu tempat ketika kamu sudah tidak melihatnya.”
“Kukira juga begitu,” kataku. “Tapi saat itu aku masih kecil, aku berpikiran positif saja bahwa kucing itu telah memutuskan untuk tinggal di atas pohon. Pasti ada beberapa alasan mengapa ia enggak mau turun. Setiap hari, aku duduk di teras dan melihat ke arah pohon pinus, berharap melihat kucing itu sedang mengintip melalui celah-celah cabang.”
Izumi tampaknya telah kehilangan minat. Ia menyalakan Salem kedua, kemudian mengangkat kepalanya dan menatapku.
“Apakah kamu terkadang memikirkan anakmu?” tanyanya.
Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya. “Yah, kadang-kadang.” Aku menjawab jujur. “Tapi enggak terlalu sering. Adakalanya sesuatu mengingatkanku.”
“Apa enggak kepingin melihat dia?”
“Sesekali, ya,” ujarku. Tapi itu bohong. Aku hanya berpikir itulah yang seharusnya kurasakan. Sewaktu masih tinggal dengan anakku, aku pikir dia adalah makhluk paling menggemaskan yang pernah kulihat. Setiap kali aku pulang terlambat, aku selalu lebih dulu masuk ke kamar anakku untuk melihat wajahnya saat tertidur. Saking gemasnya, terkadang muncul hasrat untuk memeluknya kuat-kuat hingga ia hancur. Saat ini semua tentangnya—wajahnya, suaranya, tingkah lakunya—berada di negeri yang jauh. Yang bisa kuingat dengan jelas hanyalah wangi sabunnya. Aku suka mandi bersama dan menggosoki tubuhnya. Kulitnya sangat sensitif, karena itu istriku selalu membeli sabun khusus untuknya. Yang paling kuingat dengan jelas dari anakku hanyalah wangi sabunnya.
“Kalau kamu ingin kembali ke Jepang, pulanglah,” ujar Izumi. “Jangan mengkhawatirkan aku, aku bisa mengatasi semuanya.”
Aku mengangguk. Tapi aku tahu itu tidak mungkin terjadi.
“Aku membayangkan anakmu kelak berpikir kamu juga seperti itu,” kata Izumi. “Seperti kucing yang lenyap di atas pohon.”
Aku tertawa. “Bisa jadi,” kataku.
Izumi mematikan rokoknya di asbak dan mendesah pelan. “Ayo kita pulang dan bercinta.”
“Ini kan masih pagi,” ujarku.
“Lantas kenapa?”
“Ya, enggak apa-apa, sih.”
*
Kemudian, ketika aku terbangun di tengah malam, Izumi tidak ada di sisiku. Kulihat jam tangan yang kuletakkan di dekat ranjang. Dua belas tiga puluh. Aku meraba-raba mencari lampu, menyalakannya, dan menyapu pandangan ke seluruh kamar. Segalanya nampak tenang seolah-olah seseorang menyelinap selagi aku tertidur dan menebarkan debu-debu kesunyian di dalam kamar. Dua putung Salem meringkuk di dalam asbak, kotak rokok kosong yang diremas berada di sisinya. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang tamu. Izumi tak ada di sana. Ia tidak ada di dapur maupun di kamar mandi. Kubuka pintu dan memandangi pekarangan. Hanya ada sepasang kursi vinyl, berkilauan dimandikan cahaya bulan. “Izumi,” panggilku dengan suara pelan. Tak ada jawaban. Aku memanggilnya lagi, kali ini dengan suara lebih keras. Jantungku berdegup kencang. Benarkah ini suaraku? Terdengar kelewat keras, tidak alamiah. Tetap tak ada jawaban. Angin lemah dari laut mendesau ujung-ujung rumput pampas. Aku menutup pintu, kembali ke dapur, dan menuang setengah gelas anggur untuk menenangkan diri.
Pancaran sinar bulan masuk melalui jendela dapur, membuat bayangan aneh di dinding dan lantai. Segala hal nampak seperti kumpulan simbol dalam permainan avant-garde. Seketika aku ingat: keadaan malam saat kucing itu lenyap di atas pohon pinus sama dengan malam ini, malam purnama tanpa satu pun gumpalan awan di langit. Setelah makan malam, aku pergi ke teras lagi untuk melihat kucing itu. Malam telah larut, bulan sudah bercahaya. Untuk beberapa alasan yang tak bisa dijelaskan, aku tak bisa memalingkan mataku dari pohon pinus. Waktu berlalu, aku yakin aku melihat sepasang mata kucing, berkilau di antara cabang-cabang pohon. Tapi itu hanya ilusi.
Aku mengambil sweater tebal dan celana jeans, menyambar koin di atas meja , mengantunginya, dan pergi ke luar. Izumi pasti sulit tidur lantas memutuskan untuk berjalan-jalan. Pastilah seperti itu.
Angin telah benar-benar mereda. Yang bisa kudengar hanya suara sepatu tenisku berderak sepanjang jalan berbatu, seperti lagu latar sebuah film yang berlebihan. Izumi pastilah pergi ke pelabuhan, pikirku. Ia tak memiliki tempat lain yang dituju. Hanya ada satu jalan menuju pelabuhan, jadi tidak mungkin aku tidak berpapasan dengannya. Lampu-lampu rumah sepanjang jalan padam, sinar bulan keperakkan mewarnai tanah sehingga membuatnya nampak seperti dasar laut.
Ditengah jalan menuju pelabuhan, aku mendengar suara musik samar dan tersendat-sendat. Awalnya kupikir itu halusinasi—seperti perubahan tekanan udara yang membuat telingamu berdenging. Tapi, jika didengarkan dengan seksama, aku bisa mendengar sebuah melodi. Aku menahan napas dan berusaha mendengarkan sebisaku. Seperti menenggelamkan diri dalam kegelapan di dalam tubuhku sendiri. Tak pelak lagi, itu adalah musik. Seseorang sedang bermain alat musik. Secara langsung, tanpa bantuan pengeras suara. Tapi alat musik macam apa itu? Alat musik mirip mandolin yang Anthony Quinn mainkan di Zorba the Greek? Bouzouki? Namun siapa gerangan yang memainkan bouzouki di tengah malam? Dan di mana?
*
Musik itu tampaknya berasal dari desa di puncak bukit yang kami naiki setiap hari untuk melemaskan badan. Aku berdiri di persimpangan jalan, bertanya-tanya apa yang harus dilakukan, dan arah mana yang harus diambil. Izumi seharusnya mendengar musik yang sama di titik ini. Dan aku merasa yakin ia akan menuju tempat itu.
Aku mengambil risiko dan berbelok ke kanan di persimpangan, jalan menuju lereng ini yang aku tahu dengan baik. Tak ada pohon di sisi jalan, hanya semak berduri setinggi lutut yang tersembunyi dalam bayang-bayang tebing. Semakin jauh aku berjalan, semakin keras dan jelaslah musik itu terdengar. Aku juga bisa menangkap melodinya lebih jernih lagi. Ada semacam kegembiraan yang amat mencolok dalam melodinya. Kubayangkan desa di puncak bukit itu tengah mengadakan semacam kenduri. Lalu aku teringat di hari sebelumnya, di pelabuhan, kami melihat prosesi pernikahan secara langsung. Tentu musik ini berasal dari kenduri pernikahan yang diselenggarakan malam hari.
Saat itu—tanpa peringatan terlebih dahulu—aku lenyap.
Mungkin karena cahaya bulan, atau karena musik itu. Setiap kali aku melangkahkan kaki, aku merasa diriku tenggelam lebih dalam ke dalam pasir hisap yang melenyapkan identitasku; perasaan yang sama seperti saat aku berada dalam pesawat melintasi mesir. Bukan aku yang berjalan di bawah sinar bulan. Ini bukan aku, tapi pemeran pengganti, yang terbuat dari plester. Aku mengusap wajahku dengan telapak tangan. Tapi ini bukan wajahku. Dan ini bukan telapak tanganku. Jantungku berdegup keras, mengirimkan darah ke seluruh tubuh dengan kecepatan yang sinting. Tubuh ini adalah orang-orangan dari plester, boneka voodoo yang ditiupkan nyawa oleh seorang penyihir. Cahaya dari kehidupan nyata telah hilang. Pemeran penggantiku, kumpulan otot palsu yang bergerak tanpa kukehendaki. Aku hanya boneka yang digunakan untuk ritual pengorbanan.
Jadi, di manakah ‘aku’ yang sebenarnya? Aku bertanya-tanya.
Tiba-tiba suara Izumi muncul entah dari mana. Dirimu yang sebenarnya sudah dimakan para kucing. Sementara kamu berdiri di sini, kucing-kucing lapar itu sudah melahapmu—memakan seluruh tubuhmu. Dan yang tersisa hanyalah belulang.
Kupandangi sekitar. Itu hanya ilusi, tentu saja. Yang bisa kulihat hanyalah tanah yang dipenuhi bebatuan, semak-semak rendah, dan bayangan kecil mereka. Suara itu ada dalam kepalaku.
Berhentilah memikirkan kegelapan seperti itu, aku menasihati diri sendiri. Seolah berusaha menghindari ombak yang amat besar, aku berpegang erat pada batu besar di gigir pantai dan menghela nafas. Ombak itu pasti akan berlalu. Kau hanya kelelahan, ujarku pada diri sendiri, dan terlalu tegang. Berpeganganlah pada sesuatu yang nyata. Tak jadi soal apa pun itu—yang penting nyata. Aku merogoh saku untuk menggenggam koin. Koin-koin itu berkeringat di telapak tanganku.
Aku berusaha keras memikirkan hal lain. Apartemenku yang hangat di Unoki. Koleksi rekaman yang kutinggalkan di sana. Koleksi jazz-ku yang meski sedikit tapi menyenangkan. Secara khusus, aku menyukai pianis jazz berkulit putih era lima puluh dan enam puluhan. Lennie Tristano, Al Haig, Claude Williamson, Lou Levy, Russ Freeman. Kebanyakan sudah tidak diproduksi lagi, dan aku menghabiskan banyak waktu dan uang untuk mengoleksi mereka. Aku rajin berkeliling toko-toko musik, tukar-menukar barang dengan kolektor lain, dan perlahan memperkaya kintakaku sendiri. Sebagian besar kualitas pertunjukkan koleksiku bukanlah sesuatu yang sering kausebut ‘kelas satu’. Tapi aku menyukai keunikannya, suasana intim yang disampaikan oleh rekaman tua dan apak itu. Dunia akan menjadi tempat yang sangat membosankan jika hanya diisi oleh produk kelas satu, bukan? Saat ini, aku merasakan kembali setiap detail dari sampul rekaman lawas itu—berat dan bobot dari album itu ada di tanganku.
Namun kini, kenyataannya, semua itu sudah lenyap untuk selamanya. Dan aku sendirilah yang melenyapkan mereka. Tak akan pernah lagi aku mendengar rekaman-rekaman itu di sisa hidupku.
Aku mengingat aroma tembakau saat aku mencium Izumi. Rasa bibir dan lidahnya. Kututup mataku. Aku ingin ia ada di sisiku. Aku ingin ia menggenggam tanganku, seperti yang ia lakukan saat kami terbang melintasi mesir, dan takkan lepas.
Ombak itu akhirnya menghantamku dan pergi begitu saja, dan pula musik itu.
Apakah mereka berhenti bermain? Mungkin saja begitu. Lagipula, ini sudah hampir pukul satu. Atau mungkin sebenarnya musik itu tidak pernah dimainkan. Itu pun sangat mungkin. Aku sudah tak memercayai pendengaranku. Aku memejamkan mata lagi dan tenggelam ke dalam kesadaranku—menurunkan suara, membiarkan segalanya tenggelam ke dalam kegelapan itu. Tapi aku tidak mendengar suara apa pun. Tak ada gema.
Aku melihat jam tangan. Dan baru menyadari aku bahkan tak mengenakannya. Sambil mendesah, aku memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Aku tidak terlalu peduli soal waktu. Kupandangi langit. Bulan mengambang seperti karang yang dingin, kulitnya habis digerogoti waktu yang tak kenal kasihan. Bayang-bayang di permukaannya seperti kanker yang tengah memperluas wilayahnya. Cahaya bulan memperdaya pikiran manusia. Melenyapkan kucing. Dan ia juga melenyapkan Izumi. Mungkin kejadian malam ini sudah disusun dengan hati-hati, dimulai dari malam saat kucing itu menghilang.
Aku menggeliat, melemaskan lenganku, jemariku. Haruskah kulanjutkan, atau kembali dengan cara yang sama seperti aku datang? Kemanakah Izumi pergi? Tanpanya, bagaimana aku bisa terus bertahan hidup, sendirian di pulau terpencil ini? Ia satu-satunya hal yang menyatukan kerapuhan, kelabilanku.
Aku terus menanjak ke atas bukit. Aku sudah datang sejauh ini dan lebih baik sampai ke puncak. Benarkah ada musik di sana? Aku harus memastikannya sendiri, bahkan meski hanya tersisa sedikit bukti. Dalam lima menit, aku telah mencapai puncak. Di sebelah selatan, bukit melandai ke laut, pelabuhan, dan kota yang terlelap. Lampu-lampu jalan menghiasi jalan raya sepanjang pantai. Sisi lain bukit terbungkus kegelapan. Tak ada indikasi apa pun yang menunjukan bahwa pesta pernikahan baru saja di gelar di sana beberapa saat lalu.
Aku kembali ke apartemen dan menenggak segelas brandy. Berusaha tidur, namun tak bisa. Hingga cahaya muncul di ufuk timur, aku masih berada dalam cengkraman rembulan. Lalu tiba-tiba saja, aku membayangkan tiga kucing itu, nyaris mati kelaparan di dalam apartemen yang terkunci. Aku—yang benar-benar aku—sudah mati, dan kucing-kucing itu hidup, menyantap dagingku, menggigit jantungku, menghisap darahku, melahap penisku. Samar-samar, aku dengar suara mereka menjilat menjilati otakku. Seperti penyihir dalam Macbeth, tiga kucing lincah mengelilingi kepalaku yang hancur, menyeruput sup kental di dalamnya. Ujung lidah mereka yang kasar menjilat lipatan-lipatan pikiranku yang lunak. Dan tiap jilatan mereka membuat kesadaranku berkedip-kedip seperti lidah api dan memudar.
Cerpen ini termaktub dalam kumpulan cerpen ketiga Haruki Murakami, Blind Willow, Sleeping Women; diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh admin Agraria dari terjemahan bahasa Inggris oleh Philip Gabriel.
Penerjemah Sabda Armandio https://agrariafolks.wordpress.com