Aku pernah berteman cukup akrab dengan Sungging Raga. Cerpenis asal Jogja ini satu komunitas denganku di Kemudian. Kami berantem terlebih dahulu di sana sebelum kemudian jadi teman ngobrol, teman diskusi. Kukatakan cukup akrab, karena selain pernah bertemu di Jogja, nongkrong bareng, dia juga pernah datang ke Jakarta, lalu kuantar menginap di rumah Gus Salah. Setelah itu, besoknya kami main PES bareng. Sungguh, main PES bareng adalah tanda pertemanan paling sahih!
Pada itu, Mbak Erin (dari Majalah Story) mengadakan acara kumpul-kumpul di Galeri nasional, di seberang Gambir. Aku tahu Raga punya masalah dengan Mbak Erin. Raga pernah menyebut Majalah Story sampah karena betapa anti ia dengan genre teenlit. Bagiku, permusuhan itu tak baik. Beda boleh. Hina boleh. Tapi secara personal, jangan sampai perbedaan jadi penghalang. Dan anggap hinaan sebagai cie cie saja lah.
Aku hanya menginformasikan pada Raga agar datang. Aku tak menjemputnya karena aku juga kerja. Bakda Maghrib ia benar-benar datang dengan temannya.
Ketika acara dimulai, kami duduk terpisah. Toh, ada Bamby Cahyadi dan Fahri Azisa di sana. Saya lebih memilih berdekatan dengan cewek-cewek. Tak dinyana, Mas Kurnia Effendi yang jadi pemandu acara memanggil Mbak Erin dan Raga ke panggung. Mereka diminta menyelesaikan permasalahan mereka saat itu juga.
Mbak Erin, karena perempuan, pun menumpahkan uneg-unegnya, emosinya ke Raga sementara Raga hanya diam. Aku tak bisa berbuat apa-apa dan asik meramal cewek-cewek (modus mungkin) sambil tertawa-tawa. Aku pikir hal seperti itu cemenlah, ga masalah buat dihadapi. Perempuan hanya perlu didengarkan. Setelah itu selesai.
Namun, Raga pulang setelah turun dari panggung. Tak lama setelah itu, pacarnya Raga mengirim pesan padaku, memarah-marahi aku. Kemudian juga aku baru tahu, Raga menganggap akulah yang merencanakan semuanya. Aku yang memojokkan dia bla bla. Padahal aku tak tahu apa-apa.
Kepada Mas Khrisna kukatakan, aku tak habis pikir kenapa Raga bisa berpikir aku demikian, tidakkah dia bisa berprasangka baik kepadaku?
Mas Khrisna hanya menjawab, kalau cuma memang segitu dia menganggapmu, biarkan, tak ada gunanya juga mempertahankan seorang teman yang tak menganggapmu.
Konteks itu adalah konteks teman. Hari-hari ini kita disibukkan dengan perbedaan. Aku nyatakan aku sama sekali tidak suka bani serbet, sebutan untuk para pendukung Ahok, yang lebay nan angkuh jika membicarakan Ahok. Over rated. Dan hasilnya, aku terkena parade unfollow. Hehe.
Kepolosan memang masih banyak melanda rakyat. Memandang politik sebagai baik dan buruk, padahal politik tak memiliki dikotomi itu. Politik hanya bicara kepentingan. Maka, berbeda pilihan politik sebenarnya hanya kepentingannya saja yang berbeda. Saya tidak suka bani serbet, tapi secara person kan tak mungkin ia hanya seorang bani serbet. Ia juga punya persona yang lain. Jadi debat dan perbedaan itu biasa, sebagai yang lain, seharusnya kita tetap berteman.
Tapi, ternyata tersinggung alias baper itu lebih mudah terjadi saat ini. Beda sedikit maka putus silaturrahim. Sungguh, itu namanya terlalu!