Review Bertarung Dalam Sarung: Identitas dan Keberanian Sudut Pandang

Aku menyimpan rasa bersalah terhadap Alfian Dippahatang. Pernah suatu ketika dia mengirimkan naskah novelnya ke tempat aku bekerja. Kebetulan aku ditunjuk untuk menangani naskahnya. Hanya saja karena sejumlah kesalahpahaman dan kekurang-cakapanku, aku tidak lagi berada di penerbit itu, dan naskah novel Alfian itu terlantar.

Sepertinya, naskah tersebut sudah terbit di sebuah penerbit lain. Yang tak kusangka, Alfian juga menulis cerpen. Buku kumpulan cerpennya hadir lewat penerbit yang tidak main-main, KPG, yang dianggap memiliki kasta tersendiri sebagai penerbit buku sastra.

Dan membaca cerpen-cerpen Alfian Dippahatang, aku jadi teringat ucapan Norman Erikson Pasaribu, ketika kami masih kuliah dulu. Dalam sebuah diskusi, ia pernah mengatakan sudut pandang yang paling dihargai oleh kritikus sastra adalah sudut pandang orang kedua.

Tentu ini berbeda dengan yang kita pelajari di sekolah. Sebab, selama sekolah, kita hanya mengenal adanya sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga.

Simpelnya, sudut pandang orang kedua adalah sudut pandang penceritaan yang memberikan pameran utama kepada “kamu” atau “kau”. Hanya saja tidak sebatas itu. Keberhasilan sudut pandang orang kedua adalah ketika pembaca berhasil diajak menjadi “kamu”. Penulis membawa pembaca ke dalam cerita untuk terlibat langsung sebagai tokoh utama. Sebagai “kamu”. Ya, “kamu”.

Alfian Dippahatang dengan berani menggunakan sudut pandang orang kedua tersebut di banyak ceritanya. Dalam 17 cerita yang disajikan di dalam “Bertarung dalam Sarung”, ada 6 cerita pendek dengan sudut pandang orang kedua.

Salah satu cerpen dengan menggunakan sudut pandang orang kedua tersebut saya anggap sebagai cerita terbaik dalam buku ini. Judulnya Mayat Hidup dan Bertobat Tak Seperti Mengedipkan Mata. Cerpen ini juga sekaligus menjadi cerpen paling panjang karena memakan 30 halaman buku atau sekitar seperlima jumlah halaman yang ada.

Tokoh “Kau” resmi mati. Rungka, sang anak, bisa berkomunikasi dengan tokoh “Kau” yang telah mati.

Cerita ini memiliki kompleksitas yang luar biasa. Di dalamnya penuh intertekstual terhadap realisme magis yang ada di tanah Bugis. Sebagai orang luar, aku sih tak begitu paham detailnya. Hanya pernah kudengar cerita-cerita dari Khrisna Pabichara soal dunia spiritual dan mistis di sana yang kental. Alfian begitu pandai membungkus latar belakang itu ke dalam ceritanya. Seperti kita tentu bertanya-tanya kenapa Rungka bisa bicara dengan orang mati, kenapa ia ingin menggali kuburnya—yang tentu saja berkaitan erat dengan lokalitas yang ada.

Tunggu dulu, cerita menjadi menarik karena realism magis tersebut hanya satu lapis. Ada lapis lainnya berupa persoalan identitas dan isu sosial. Perselingkuhan. Ambiguitas moralitas ketika penghalalan segala cara dilakukan untuk mencapai tujuan. Ini persis tafsir moralitas Nietsche yang pernah kudengar dari Salahuddien Gh. Bahwa hidup itu seperti meniti sebilah kayu di antara dua gedung tinggi. Tak ada seorang pun di sana kecuali kita. Tidak ada alat bantu. Tidak ada pengaman. Hanya ada kita di bawah langit biru. Moralitas saat itu tidak dibutuhkan. Karena tak akan membantu kita melewati bilah kayu ke gedung di seberang.

Persoalan identitas ini pula diadon oleh Alfian di cerpen-cerpennya yang lain sebagai sebuah kritik terhadap kehidupan. Manusia ingin melekatkan identitas yang baik pada dirinya. Namun, selalu ada saja cara (katakanlah godaan) yang membuat manusia diingatkan kembali pada muasalnya.

Saya pikir itulah yang kemudian menjadi alasan utama kenapa cerpen Alfian diterima oleh KPG dan masuk pula ke dalam daftar panjang KLA 2019. Buku ini memiliki alas pijak yang kuat terhadap identitas. Bahkan sejak cerpen pertama, Ustaz To Balo, kita disajikan pada situasi ambiguitas identitas. Sekolompok orang yang berada di pedalaman diberi cap identitas X (negatif). Salah satu dari kelompok tersebut ingin mengubah dirinya ke dalam identitas Y (positif). Ia pikir dengan kelompok barunya ia akan mendapat kehidupan (dan juga sifat) yang lebih baik. Ternyata, bagian dari Y tetap ada yang memandangnya sebagai X—dengan puntiran ternyata Y-lah yang menunjukkan sifat negatif.

Manipulasi cap dan identitas ini dilakukan oleh Alfian Dippahatang di cerpen-cerpennya. Ia menegaskan tidak ada tokoh baik absolut dan sebaliknya, tidak ada pula tokoh buruk absolut. Baik dan buruk menjadi sedemikian relatif di dalam cerpen-cerpen Alfian.

Tentu saja, dihadapkan pada kritik sastra, cerpen Alfian dapat menjadi bahan kajian yang mendalam. Aku tidak memiliki kemampuan untuk mengulik lebih dalam sosiologinya misalnya—karena aku tak memiliki pengetahuan tentang itu.

Dengan segala kelebihan itu, aku harus memuji Alfian Dippahatang. Apalagi narasinya terasa halus dan tertata.

Namun, jika melihatnya dalam kacamata makro, Alfian masih memiliki beberapa kelemahan.

Pertama, adalah ketidaksesuaian antara latar dan karakter. Saya tahu, Alfian begitu ambisius mengulik berbagai kisah dengan latar waktu masa lalu. Namun, latar waktu masa lalu mengandung konsekuensi karakter masa lalu juga.

Apa maksudnya? Saya selalu ambil contoh yang bagus. Bumi Manusia. Kelebihan utama Bumi Manusia terletak pada keberhasilan Pramoedya menghadirkan manusia zaman tersebut. Mulai dari gesture, cara bicara, hingga cara berpikir.

Alfian belum sampai ke tahap itu. Narasi-narasinya terasa sangat milenial. Saya tidak merasakan kehadiran manusia-zaman di dalam ceritanya.

Kedua, rumus penceritaan Alfian masih suka menggunakan resep deus ex machina. Tuhan muncul dari mesin. Konsep yang tidak masuk akal atau peran ilahi hadir dan diperkenalkan ke dalam alur cerita untuk tujuan menyelesaikan konflik dan mendapatkan hasil yang menarik.

Hal itu terlihat jelas misalnya dalam cerpen “Ayahku Memang Setan”. Sakir yang sejak kalimat pertama disebut sebagai antagonis, nyatanya dimatikan atas kesalahannya sendiri dengan situasi hanyut terbawa arus deras.

Rumus penceritaan Alfian bisa dimaklumi karena keinginannya memberikan ujung pada setiap ceritanya. Padahal persepsi rumus penceritaan sedemikian berkembang dengan memberikan definisi yang lebih luas terhadap ujung dan pangkal, pula terhadap klimaks dan anti klimaks.Barangkali hanya itu catatan pembacaanku terhadap Bertarung dalam Sarung. Kita tunggu karya Alfian berikutnya. Sukses selalu!

Kau sengaja menjebak tubuh mereka di tubuh saya yang berongga. Semuanya di luar akal, kau tega menyuruh mereka saling tikam. Kau malas mencari cara yang lebih beradab dan seperti menganggap ini jalan terakhir menyelesaikan persoalan.

Air mata palsu kauteteskan saat saya masih ingin bersamamu, basah di sepasang pipi keriputmu. Kendati saya rasakan aliran ketidakrelaan, kau tetap ingin saya segera mati terkoyak-koyak, lantas ujungnya siap tak siap saya harus meninggalkan rumah, kenangan, dan segalanya.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *