Bagaimana memasukkan gajah ke dalam botol?
Afrizal bingung bukan kepalang. Membayangkan gajah yang sebesar truk dan botol yang tak lebih besar dari lengannya membuat asmanya kambuh dan harus bolak-balik ke dokter dan dukun. Perihal dokter adalah keyakinan ayahnya yang percaya segala penyakit dapat disembuhkan lewat pengobatan medis. Sementara ibunya yang hanya lulus sekolah setingkat SMP masih saja percaya pada hal-hal yang bersifat mistis dan tradisional. Karena itu pulalah, ia sempat harus mencoba hati kalong (sejenis kelelawar yang berukuran besar), hati unta (yang ditumbuk dan dicampur air—tetap saja pahit rasanya), sampai pengobatan-pengobatan alternatif dengan air yang dijampi-jampi.
Baca Dulu: Cerpen Densha Otoko
Nyimas, anak Pak Kemas, yang caturwulan terakhir berhasil mendepaknya dari peringkat pertama di sekolah, tiba-tiba menanyakan pertanyaan itu ke semua teman di kelasnya. Bagaimana caranya memasukkan gajah ke dalam botol? Ia menjanjikan sebungkus mpek-mpek yang dijamin lezat (karena keluarganya adalah orang Palembang asli yang barang tentu memiliki jaminan mutu dalam resep dunia permpek-mpekan).
“Pakai senter pembesar!” Huzairin menjawab asal-asalan. Baru-baru ini sebuah stasiun tivi ibukota masuk ke desa. Di hari Minggu, ia menyiarkan banyak film kartun. Anak-anak suka film kartun. Terutama Doraemon. Gara-gara Doraemon pulalah, mereka jadi sering mengkhayal.
“Kalau pakai senter pembesar, botolnya yang jadi besar kan? Bagaimana cara memasukkan gajah yang berat itu ke dalam botol?” Nyimas kembali menambahkan pertanyaan.
“Ya pakai derek.” Huzairin berkilah.
“Bukan, harus panggil Samson.” Angga ikut-ikutan.
“Samson sudah kalah sama Delila.”
“Delila kalah sama harimau.”
“Harimau kalah sama gajah.”
“Jadi gajah paling kuat?
“Kata Bapakku sih begitu….”
“Bapakmu pernah lihat gajah?”
“Di Way Kambas.”
“Way Kambas? Aku tahunya Way Hitam.”
Mereka asik berdebat. Afrizal yang duduk di depan (dan sebenarnya menyimpan rasa penasaran) pura-pura tidak mendengar. Agak lucu juga kalau Way Kambas dan Way Hitam diperdebatkan. Dua wilayah yang berbeda. Satunya di Lampung. Satunya lagi di dekat bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Ia ingin bertanya dengan Musa, tetapi seperti biasa Musa masih asik berkumpul dengan anak-anak perempuan. Dia memang sering dikatai banci karena hobinya bermain lompat tali. Afrizal bukannya tidak suka atau tidak bisa bermain lompat tali. Hanya saja, mayoritas teman-temannya lebih suka bermain bola kaki. Dan tentu, ia berpikir dalam demokrasi, suara mayoritaslah yang lebih diakui.
Kenapa anak babi jalannya menunduk?
Bah! Belum sempat Afrizal menemukan jawaban yang pertama, Nyimas sudah melontarkan pertanyaan yang kedua.
Afrizal tampak menggaruk-garuk kepalanya. Kali ini, Nyimas dengan frontal mengajukan pertanyaan itu kepadanya dengan ekspresi yang menyebalkan pula. Dia yang berperawakan mungil dengan kulit sawo matang, rambut pendek tak sampai sebahu ini memang menjadi makhluk paling menjengkelkan di mata Afrizal. Meski beberapa teman-temannya sering mengolok-olok mereka berpacaran (dan Afrizal memang belum tahu arti berpacaran), ia tetap membenci Nyimas. Bukan karena tidak cantik, melainkan pantang bagi seorang lelaki dikalahkan oleh perempuan di dalam bidang apapun kecuali memasak.
“Memangnya kau pernah melihat babi?”
Nyimas menggeleng.
“Lalu dari mana kau tahu anak babi jalannya menunduk?”
“Aku kan bertanya kepadamu, Zal.”
“Tapi aku tak yakin kalau pertanyaanmu itu berdasar.”
“Mari kita tanya Sumanto.”
“Kenapa harus tanya Sumanto?”
“Dia pernah makan babi.”
“Pernah makan babi belum tentu pernah melihat anak babi ‘kan?”
“Tapi dia memelihara banyak anak anjing.”
“Apa anak anjing sama dengan anak babi?”
“Dua-duanya haram. Mungkin punya kesamaan.”
“Bangkai juga haram. Apakah bangkai sama dengan anjing dan babi?”
“Afrizal jahat!”
Nyimas menangis. Baru pertama kali ini ia melihat Nyimas menangis.
“Kalau sering menangis, kau akan jadi anak bodoh.”
Pada faktanya Afrizallah yang sering menangis di kelas kalau sudah diganggu Deni dan Huzairin yang kompak mengoset kepalanya. Pedas. Sakit. Lebih sakit lagi karena Afrizal selalu tidak bisa membalas.
“Bagaimana cara memasukkan gajah ke dalam botol?” Tiba-tiba Nyimas mengajukan pertanyaan ini. Dia memang sudah berhenti menangis.
“Aku tidak pernah lihat gajah.”
“Jawab saja. Kalau kau tak bisa menjawabnya, berarti kau bengak!”
“Hei, aku 4 caturwulan peringkat pertama.”
“Tetapi caturwulan kemarin kau peringkat ketiga?”
“Akan kubalas lagi caturwulan ini!”
“Kalau tidak bisa menjawab pertanyaanku, bagaimana bisa kau mengalahkanku?”
“Beri aku waktu satu hari. Akan kujawab dengan memuaskan!”
“Baiklah, kutunggu besok. Sekalian dengan pertanyaan sebelumnya kenapa anak babi jalannya menunduk.”
Baca Juga: Cerpen Kuntowijoyo Jalan Asmaradana
Banyak Jalan Menuju Roma, tetapi tuntutlah ilmu ke negeri Cina.
Konon, makam Nabi Muhammad juga ada di Nanking. Entah bagaimana rumusnya, Muhammad yang meninggal di usia 63, di tanah Arab (dengan desas-desus juga diracun) bisa memiliki jasad di Nanking, sebuah provinsi di wilayah Cina. Atau jangan-jangan karena beliau pernah dianggap bernasehat agar kita menuntut ilmu sampai ke negeri Cina—nasehat yang dikategorikan hadits oleh kaum mayoritas meski sebenarnya palsu karena kata-kata tersebut beliau kutip dari para filsuf.
Pada kenyataannya, Afrizal tidak pernah berhasil menjawab kedua pertanyaan Nyimas. Ia menyerah dan di sisa catur wulan berikutnya, ia hanya berhasil sekali saja kembali menduduki peringkat pertama. Bahkan posisi prestisius untuk nilai kelulusan tertinggi pun diraih Nyimas, bukan dirinya. Mungkin itulah yang agak disesalinya ketika memutuskan hijrah sekolah ke Palembang demi mendapatkan taraf pendidikan yang lebih baik di jenjang berikutnya. Ia tidak mau menoleh ke belakang karena malu—merasa dirinya pria kalah yang melarikan diri dari medan perang.
Ia ingat di hari berikutnya itu, di saat ia harus menjawab pertanyaan Nyimas, mendadak asmanya kambuh dan harus digotong pulang oleh kakaknya. Dan terpaksa ia harus meratapi tembok rumah sakit, yang warnanya putih semua, dan berhadapan dengan seorang lelaki berjanggut bertelanjang dada digantung di tiang salib seolah meminta seseorang atau bahkan Tuhan menyelamatkannya.
Nyimas datang dengan Angga, yang selalu memasang muka bermerk jambu musim hujan, ulatan, membawakan sekilo apel dan jeruk. Dengan cekatan, giliran Angga yang bertanya, “Kenapa baju Superman memakai huruf S?”
Bahkan dengan penjahitnya, Afrizal merasa tak kenal. Mungkin sejak saat itu ia merasa dendam dengan Angga dan bersumpah tak akan menganggapnya sebagai teman lagi. Meski sebenarnya sejak awal, Afrizal tak suka dengan Angga—tak suka bila dia mengolok-olok nama orangtuanya, memukul kepalanya atau menjodoh-jodohkannya dengan Nyimas yang dianggap sebuah aib itu.
Jawaban-jawaban
Hingga suatu hari, belasan tahun kemudian, Afrizal yang baru merayakan kelulusannya di sebuah universitas terkemuka di Bandung tak sengaja bertemu Nyimas. Sesungguhnya, Nyimas adalah perempuan yang manis. Matanya bulat bening besar, seperti segala dunia bisa ditatapnya. Mengingat-ingat masa kecilnya dulu, ia agak menyesal tak menanggapi olok-olokan perjodohannya dengan Nyimas.
Nyimas mendekatinya dengan anggun, mengenakan kebaya berwarna krem yang lembut. Pas sekali untuk aura dan wajahnya yang memang selalu tersenyum.
“Afrizal, apa rencanamu setelah ini?” Dia memulai pembicaraan.
“Tak tahu. Kerja atau mungkin melanjutkan S2. Kau sendiri?”
“Kau masih ingat teka-tekiku dulu?”
“Tentu. Tak mungkin bisa kulupakan.”
“Sudah kau dapatkan jawabannya?”
“Sudah. Cara memasukkan gajah ke dalam botol, ya siapkan gajah dan botolnya lalu tinggal masukkan sang gajah itu ke dalam botol. Tidak ada definisi khusus mengenai ukuran keduanya, bukan?”
“Ya, ya. Kalau anak babi?”
“Anak babi jalannya menunduk karena ia malu punya orang tua babi. Benar ‘kan?”
“Pintar. Lalu pertanyaan Angga?”
“Tentang Superman?”
“Ya.”
“S untuk Superman, B untuk Batman?”
“Salah.”
“Salah?”
“Kalau ukurannya M atau XL nanti kedodoran.”
Afrizal tertawa, tak menyangka Nyimas bisa sehumoris ini. Ia pandangi sekali lagi wajah Nyimas yang terselimuti make-up tipis itu. Ia merasa udara dingin Bandung tidak dingin lagi seakan ada udara hangat yang melingkupi dirinya. Ia merasa raungan burung koak memantul-mantul di dalam dirinya, bahkan daun-daun yang berguguran seperti lanskap sempurna untuk adegan romantis di film percintaan.
“Kau masih ingat Angga?” Nyimas menyadarkan lamunannya.”
“Tentu.”
“Tuhan dan takdirnya memang begitu misterius. Seperti teka-teki yang jawabannya tak meminta ditemukan.”
“Maksudmu?”
“Hidup akan memberikan jawabannya sendiri.”
Nyimas tak berkata-kata lebih lanjut. Panggilan dari teman-teman jurusannya memisahkan mereka berdua. Sebelum itu sebuah undangan diberikan untuk Afrizal. Undangan dengan warna merah jambu, berlatar pohon pinus dan sepasang calon pengantin yang memasang senyum paling bahagia. Afrizal begitu familiar dengan kedua muka itu. Dan berpikir barangkali Tuhan terlalu kesepian untuk bermain tebak-tebakan dengan dirinya.***
(2012)