Menjadi sederhana bukan berarti tidak menyisihkan waktu dan uang untuk membeli dan membaca buku. Hanya manusia bar-bar yang mengabaikan buku sebagaimana mal yang bar-bar kalau tidak punya toko buku dan koran yang bar-bar kalau tidak punya lembar sastra di dalamnya.
Apalagi yang penempatan di daerah-daerah, yang tidak tahu bagaimana cara membelanjakan uangnya selain untuk makan dan tiket pulang, mubazir sekali rasanya kalau uang cuma menumpuk di rekening dan menunggu berbunga setiap bulannya. Investasi pengetahuan tentu lebih baik dari pada investasi rumah. Tapi kalau ada yang mau kasih saya rumah, alhamdulillah.
Setidaknya ada 7 buku yang wajib dibaca pegawai Perbendaharaan untuk membunuh sepi, sambil melihat gunung, ombak di tepi pantai, atau merasakan angin semilir yang paham makna kesepian dari perantauan.
Trilogi 1Q84, Haruki Murakami
Tujuan beasiswa pegawai Kementerian Keuangan selain Australia adalah Jepang. Alasannya klise, dana untuk beasiswa-beasiswa itu berasal dari utang luar negeri, dengan kontribusi Australia dan Jepang. Nah, Haruki Murakami adalah salah satu penulis Jepang paling dahsyat yang pernah ada. Dengan membaca novel penulis Jepang, bisa jadi motivasi untuk berangkat ke Jepang itu semakin besar.
Di 1Q84, para pegawai Perbendaharaan bisa belajar dari Tengo yang jago matematika, berbadan atletis, tapi dianggap tak punya peran penting dalam kehidupan. Ayahnya hanyalah seorang penagih iuran saluran televisi. Dan selain mengajar les, kehidupannya hanya ada di dalam kamar.
Tengo dapat mengajarkan perasaan kesepian sesungguhnya, sambil mengenang cinta pertama yang entah di mana. Sehingga ketika ada yang merasa kesepian, ingatlah Tengo.
Itu sebelum Tengo bertemu Fuka-Eri. Fuka-eri menulis tentang kepompong dan orang kecil. Boleh jadi pegawai Perbendaharaan dianggap orang kecil, tapi boleh jadi juga sekarang ini Perbendaharaan masih seperti kepompong. Tapi, jangan jadi kupu-kupu. Karena kupu-kupu maksimal hanya hidup selama 40 hari.
Grotesque, Natsuo Kirino.
Kalau 1 orang Jepang tak cukup untuk motivasi ke Jepang, tambahkan 1 orang Jepang lagi.
Natsuo Kirino mengajarkan bahwa nama itu tidak penting. Sampai akhir cerita, buku yang tebalnya cukup untuk menimpuk seseorang ini tidak menuliskan nama tokoh utamanya. Tokoh utamanya tidak cantik, tidak seksi, tidak menonjol di kelas, karirnya pun biasa-biasa saja. Ia hidup menjadi manusia pada umumnya, meski dikelilingi orang-orang yang istimewa, unik, sampai ambisus sekalipun.
Nah, barangkali ini bisa menghiburkan perasaan pegawai Perbendaharaan. Biar tidak dianggap, biar tidak dikenal oleh masyarakat luas, kita tetap bisa menjadi tokoh utama dalam cerita.
Lelaki Harimau, Eka Kurniawan.
Sayangnya, jumlah lelaki harimaunya bukan tujuh. Kalau ada tujuh lelaki harimau, pasti sudah jadi judul sinetron.
Lelaki Harimau setidaknya berhasil menguliti sisi kebinatangan manusia yang sering bertindak tanpa berpikir, mengabaikan akal sehat pada segala bentuk persoalan.
Persoalannya dimulai dari seorang lelaki yang tak mau berkirim surat pada seorang perempuan. Mereka berdua orang tua Margio. Mereka berpisah karena sang lelaki hendak mamantaskan diri untuk menjadi pasangan sang wanita. Ketika berpisah, dan tak ada surat lagi, sang wanita dinikahi lelaki lain.
Margio mengajarkan kita betapa keutuhan keluarga itu penting. Peran seorang ayah dipadu peran seorang ibu dalam pertumbuhan dibutuhkan. Janganlah ada lagi pegawai-pegawai Perbendaharaan yang suaminya bekerja di mana, istrinya di mana, anaknya ikut kakeknya bila tidak mau sang anak berubah menjadi Lelaki Harimau.
4 Musim Cinta, Mandewi Puguh Gafur Pringadi
Panjang sekali ya nama pengarangnya. Oh, tidak, novel itu ditulis oleh empat orang dan keempat-empatnya adalah pegawai Ditjen Perbendaharaan.
Sungguh terlalu sekali, jika keluarga sendiri yang menulis, tapi tidak dimiliki?
Novel ini berkisah mengenai lika-liku cinta dan kehidupan birokrat muda di Perbendaharaan. Keempat karakternya memiliki latar belakang daerah yang berbeda, penempatan yang berbeda, dan juga memiliki masalah-masalah yang berbeda. Subplot itu kemudian berada di bawah satu plot besar dalam pertanyaan apakah kita telah siap atas sebuah pilihan hidup yang telah kita ambil?
Pringadi meyakini tak ada yang salah dari perasaan. Tapi perasaan itu menjadi salah ketika ia sudah menikah, terlebih ia jatuh hati kepada Gayatri. Sementara Arga dan Gafur terlibat dalam cinta segitiga dengan seorang barista. Bagaimanakah kemudian mereka harus memilih, pada cinta atau persahabatan?
Sampai akhir, tak ada yang tahu siapa yang paling berbahagia di antara apa yang sudah terjadi, dan tak ada yang menemukan jawaban, kenapa Tuhan menciptakan kebahagiaan?
Aku Cukup Menulis Puisi, Masihkah Kau Bersedih, Pringadi Abdi Surya
Apalah arti hidup tanpa puisi, barangkali seperti makan garam tanpa sayur.
Ini adalah buku kumpulan puisi yang ditulis Pringadi selama di Sumbawa Besar. Terlebih ia menulisnya di komputer KPPN, selama ia menjadi FO Pencairan Dana.
Ketika kita masih dan terus bersedih, puisilah obatnya. Puisi diyakini Pringadi dapat membuat orang tersenyum, jatuh cinta, merindu, dan mengobati luka demi luka akibat kesepian. Tapi puisi juga bisa menghadirkan kesepian paling sepi juga.
Hebatnya, buku ini tidak dijual di toko buku. Buku ini indie. Hanya bisa dibeli di penulisnya dan di Indie Book Corner
Itulah 7 buku yang wajib dibaca pegawai Perbendaharan!