Transformasi Digital: Sebuah Realitas dan Kultur

Opini saya berjudul Transformasi Digital: Sebuah Realitas dan Kultur dimuat di Majalah Treasury Indonesia Terbitan 2/2021. Silakan unduh majalah Treasury di sini. Berikut versi asli tulisan sebelum diedit:

Transformasi Digital: Sebuah Realitas dan Kultur

Tiba-tiba teringat pada satu anime yang mungkin membuat kita bertanya tentang realitas. Judulnya Sword-Art Online. Perkembangan teknologi pada satu titik membawa manusia menemukan virtual reality. Dengan alat tertentu, dalam keadaan tertidur, manusia bisa melihat dunia yang berbeda. Itulah yang dialami Kirito dalam anime tersebut, meski kemudian sang pembuat menjebak para users di dalam realitas baru itu—dan harus menamatkan permainan agar dapat terbangun dan kembali ke dunia sebenarnya.

Sekian lama berada di dalam virtual reality, ternyata membawa persoalan hiperrealitas. Apa yang nyata dan apa yang fantasi menjadi sulit dibedakan. Sampai mungkin saja kita berpikir, apakah dunia yang kita jalani sekarang adalah dunia yang sebenarnya atau kita yang sejati tengah berada di suatu tempat entah di mana menunggu terbangun dari tidur panjang.

Tidak perlu jauh meraba virtual reality, membayangkan suatu saat pertemuan diadakan dalam realitas tersendiri dengan wujud asli atau avatar yang bisa dipilih, kita sekarang tengah menghadapi sebuah realitas baru dalam transformasi digital. Tidak sedikit yang gagap, tidak siap. Efeknya pun bermacam-macam, memiliki media sosial saja bisa membuat seseorang memunculkan alter-ego, sosok yang sedemikian berbeda dengan apa yang ditampilkan dalam kehidupan keseharian.

Hal tersebut wajar terjadi. Terlebih sebagai masyarakat negara berkembang, kita terlambat dengan perkembangan. Dalam strategi kebudayaan, budaya digital seharusnya lahir ketika budaya literasi konvensional sudah terbangun. Sayangnya saat kita masih jauh dari selesai dalam membangun budaya literasi tersebut, budaya digital datang menyerbu. Efeknya bisa berbeda-beda pada setiap generasi baik X, Y/Milenial, Z, dan Alpha. Setiap perubahan dan setiap realitas baru yang kita alami itu bahkan mampu menghancurkan realitas sebelumnya, termasuk keyakinan dan kepribadian kita.

Senada dengan itu, mungkin kita harus merenungkan yang dikatakan oleh Andrew Keen. Katanya, menjadi seorang manusia dalam dunia digital adalah tentang membangun dunia digital bagi manusia. Ya, pengusaha asal Amerika tersebut menulis banyak buku tentang kekhawatirannya pada revolusi digital yang melahirkan kultur baru dengan membunuh kultur yang lama.

Pembicaraan tentang kultur digital itu juga baru-baru ini menyeruak kembali dalam dunia sastra. Setelah era Cyber Sastra pada tahun 2002, sastra digital kembali dibincangkan untuk didefinisikan setelah AS Laksana, masih menjadikan sastra koran/cetak sebagai kiblat kualitas yang harus dipertahankan. Sementara makin banyak orang menulis di berbagai platform—yang masih diremehkan kualitasnya. Tentu saja ini menjadi sebuah kemunduran karena pada tahun 2002, orang-orang sudah memikirkan bahwa sastra digital bukanlah memindahkan tulisan ke media yang berbeda. Ada kultur yang berbeda, ruang yang tidak lagi sama. Ada transformasi yang akan mengubah sebuah definisi.

Ketidakpahaman tentang definisi “digital”ini memang masih lazim terjadi. Banyak orang salah sangka, digitalisasi adalah apa-apa yang sudah bisa diakses lewat komputer, sudah terhubung dengan internet—sebatas itu. Padahal, pemikiran di baliknyalah yang harusnya dielaborasi.

Yang paling sederhana, buku digital misalnya, bukanlah hanya mengubah buku cetak dalam bentuk pdf, melainkan juga memikirkan kenyamanan bagi pembaca, serta hal-hal lain seperti hak penulis dan keamanan agar buku tersebut tidak dapat diunduh dan disebarkan secara ilegal. Pemikiran yang demikian yang melahirkan aplikasi seperti Kindle dan Gramedia Digital.

Digitalisasi adalah keniscayaan. Tuntutan perubahan itu juga terjadi dalam Treasury sehingga lahir frasa “Digital Treasury”. Andrew Beatty menyebut bahwa Digital Treasury mengacu pada fungsi-fungsi terbaik dari Treasury, menggunakan teknologi dan proses yang aman, canggih, dan hemat biaya. Apalagi tuntutan tersebut didorong oleh keadaan pandemi Covid-19, dengan menerjemahkan bahwa hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat (termasuk pegawai), perlu ada cara-cara baru dalam beroperasi yang mampu meminimalisasi risiko keselamatan pegawai tanpa mengorbankan pelayanan. Insan Perbendaharaan akan menggunakan cara yang kuat dan terukur untuk menyelesaikan tugas perbendaharaan seperti pengelolaan kas, serta peran treasury dalam memitigasi penipuan siber dan optimalisasi keamanan sistem. Digital Treasury akan menerima informasi dengan cara yang meminimalisasi manipulasi manual dan mengotomatisasi proses bisnis yang ada yang pada akhirnya berguna dalam mempercepat pengambilan keputusan.[1]

Kondisi kedaruratan yang tengah kita alami ini telah menempatkan beberapa tantangan perbendaharaan ke dalam konteks dan mempercepat apa yang terjadi. Dalam surveinya tahun lalu, Association for Financial Professionals (AFP) mengemukakan lebih dari 80 persen treasurer profesional percaya ada nilai yang lebih besar yang diberikan kepada treasury selama krisis COVID-19.[2] Hal ini menggenapi paradigma bahwa selama bertahun-tahun peran treasury telah berkembang dari transaksional menjadi strategis. Dan, dalam beberapa kasus, perbendaharaan bahkan bergeser dari sekadar unit yang menyediakan layanan menjadi mitra strategis.

Dalam survei itu juga dikatakan bahwa dalam tiga tahun ke depan teknologi perbendaharaan yang lebih spesifik dibutuhkan bagi kesuksesan Perbendaharaan. Sejalan dengan itu, Ditjen Perbendaharaan sendiri sudah mencanangkan implementasi Digital Treasury pada tahun 2023 mendatang.[3]

Penerapan Financial Management Integration System (FMIS) dengan berjalannya SAKTI dan SPAN adalah satu kunci, tetapi penyiapan sumber daya manusia dan pembangunan kultur digital itu menjadi kunci yang lain. Australia pun menyusun digital roadmap­-nya dengan beberapa titik tekan selain penerapan teknologi mutakhir itu. Tentu saja peningkatan sumber daya manusia agar mampu bekerja secara fleksibel dan memiliki semangat kolaborasi diutamakan selain menciptakan proses bisnis yang lebih baik, membuat layanan digital kepada para pemangku kepentingan, dan transparansi data.

Dalam hal itu, AFP bahkan membubuhkan sebuah frasa lain yang tak kalah penting dari digital treasury yaitu treasury leadership.  Dalam krisis, treasury dituntut memiliki kepemimpinan tersebut. Sayangnya, AFP menyoroti masih kurangnya hal tersebut terutama dalam hal komunikasi dan kemampuan analisis. Tafsir atas treasury leadership ini menjadi menarik apabila kita meletakannya dalam konteks DJPb dan bisa menjadi satu bahasan tersendiri.

Teknologi menciptakan dunia baru yang memungkinkan bagi insan perbendaharaan. Namun, transformasi sesungguhnya memiliki banyak segi; yang membutuhkan lebih dari sekadar teknologi itu sendiri. Treasury menjadi lebih terbuka dan terkoneksi satu sama lain. Transparansi dan sinergi semakin dikedepankan.

Data yang baik sangat dibutuhkan. Data tersebut harus akurat dan bisa disajikan secara real time. Data membantu mendorong keputusan yang lebih baik, dan insan perbendaharaan yang progresif harusnya mampu memahami data dari berbagai sumber untuk meningkatkan pengambilan keputusan, manajemen likuiditas, dan pelaporan.

Analisis data akan memainkan peran yang semakin meningkat dalam manajemen risiko. Insan perbendaharaan dapat memperoleh pandangan yang meyakinkan tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya dan mengambil tindakan untuk menghindari gangguan atau untuk menangkap peluang baru. Dengan pendekatan dan teknologi yang tepat, treasurer dapat menghabiskan lebih sedikit waktu untuk tugas-tugas biasa, rutin, dan fokus pada kegiatan yang menambah nilai lebih. Perbendaharaan generasi berikutnya umumnya menjadi lebih terlibat dengan aspek-aspek kunci yang lebih strategis.

Ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar—membayangkan DJPb (khususnya KPPN) di masa depan dengan peran yang tidak hanya klerikal itu. Namun, pengalaman sejak DJPb berkomitmen merias diri dalam reformasi birokrasi membuktikan bukan hanya kemampuan DJPb dalam beradaptasi, melainkan juga berevolusi (baik dalam definisi Lamarck maupun Darwin).

Namun perlu diperhatikan, sebelum memulai transformasi digital tersebut, kita harus mengenali filosofi organisasi. Tidak sembarang mengubah sesuatu karena dikhawatirkan malah akan mencabut akar.

“Don’t be fooled by some of the digital transformation buzz out there, digital transformation is a business discipline or company philosophy, not a project.” — Katherine Kostereva is the CEO and managing partner of BPM online

Akar treasury adalah Keuangan Negara. Memahami Hukum Keuangan Negara sebagai sub ekosistem dari Hukum Tata Negara juga penting. Sebelum lahirnya UU Keuangan Negara, kita memakai ICW dan peraturan perundangan lain yang merupakan peninggalan pemerintahan kolonial, yang hanya memuat kaedah hukum administrasi negara. UU Keuangan Negara sendiri mencakup bidang dan aspek yang lebih luas yang tidak hanya persoalan administrasi negara, tetapi juga kaedah hukum tata negara karena meliputi hak-hak dan kewajiban-kewajiban pokok negara serta hubungan antara lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untungnya, Hukum Keuangan Negara tidak membeda-bedakan alat. Sebagai akar yang menopang batang, ia juga menegaskan dua hal yakni adanya pemisahan kewenangan yang benar dan terjaminnya proses check and balance.

Yang dimaksud Katherine sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Andrew Keen, ‘kerap tafsir transformasi digital malah menjadi perangkap tatkala teknologi dijadikan pengemudi dan manusia menjadi penumpangnya. Padahal, teknologi seharusnya diciptakan untuk memfasilitasi filosofi dan business disclipine. Terlebih untuk state-treasury yang dipagari oleh undang-undang.

Jika tidak, kita bisa jadi akan melihat realitas yang ditampakkan di dalam film Ready Player One. Orang-orang membunuh realitas aslinya dan dikendalikan oleh teknologi. Justru kekacauanlah yang terjadi—keadaan yang mula-mula disadari. Dan ini tidak pernah diharapkan oleh Halliday (sang pencipta gim) dalam penyesalannya mengabaikan hal-hal kemanusiaan, seperti juga yang disinggung oleh Andrew Keen—rumah digital bagi manusia!

(2021)

“Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi”


[1] Andrew Beatty dalam Digital Treasury: A Strategic Advancement

[2] 2020 AFP STRATEGIC ROLE OF TREASURY SURVEY REPORT

[3] Pernyataan Andin Hadiyanto di DDTC News

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *