Memeluk Bahaya
sayang, hiduplah dalam bahaya
dengan begitu, setiap hari engkau akan mengingat tuhan
tuhan hadir dalam kilatan peluru,
dalam langkah kaki yang terburu
sesuatu tak pernah berhenti mengejarmu
ia yang kalah adalah ia yang lelah
sayang, hiduplah sambil memeluk ketakutan
peluk lebih erat dari engkau memeluk bahagia
kelak, tuhan yang akan memelukmu
sebagai balas jasa kau telah mengingatnya
setelah lama ia dilupakan
Matikan Televisi
aku mencintaimu sehingga kumatikan televisi
bibirmu begitu merah
dan aku teringat api
di mataku, tubuhmu seperti sebatang pohon randu
yang paham arti meranggas
rambutmu yang hitam, bergelombang
aku terhanyut dan merasa berada dalam hutan Chopin
dengan bau tanah basah yang khas
mencintaimu adalah kerakusan, tidak mungkin
aku hanya menggenggam tanganmu atau
memeluk pinggangmu yang ramping
udara dingin di dalam ruangan pelan-pelan menghilang
perasaan terbakar ini, aku tidak tahu asmara atau api
lalu kau memintaku membuka tirai, juga jendela dan hidupku
bukan udara yang menyapa kita
aku mencintaimu, sehingga tak dapat kututup mata
meski kabut atau asap yang menyergap
membuatku tak mampu melihatmu sama sekali
bagaimana caramu bernapas, mengeluh, mengusap pipi
hanya bibirmu begitu merah, menyala
aku terbakar mulai dari ujung jari
hingga jantungku
Memeluk Seluruhmu
Aku ingin memeluk seluruhmu
dirimu yang lebih luas dari seluruh nama
kedua lenganku yang tak terbiasa
mengukur dunia—kelilingnya telah diaku
oleh columbus, menemukan dunia baru
tempat orang-orang lari atau mencari kesunyian
dunia baruku adalah kamu, tetapi seluruhmu
di luar nalarku
aku tak bisa berpikir jernih
sungai musi, sungai kapuas, sungai bengawan
diberi tawas setempayan masih
sekeruh ingatan
sampai aku merasa khianat
sampai aku mengusir sepenuh kalimat
yang diciptakan daun-daun merah kemarin
disematkan cicit-cicit burung sriti muda
yang terbang setinggi-tingginya
aku ingin memeluk seluruhmu
seperti lengan sayap burung itu
ketika hendak memeluk langit