dimuat di Serambi Indonesia, 23 September 2018
MENATAP ACEH DARI BIBIRMU
Bayangkan suatu pagi, langit dipenuhi ribuan jamur
Pesawat-pesawat melintas, dekat dengan darat
Televisi di ruangan jauh lebih gelisah dari hati
Yang baru saja dikhianati
Setetes darah tak akan menetes di bumi Aceh
Tapi sejak itu kami mulai terbiasa
Mendongeng tentang saudara kami yang hilang
Kenangan saat makan kambing
Pada sebuah sore yang kini binasa
Orang kampung yang tidak mengerti apa-apa
Selain tani, dan secangkir kopi bahagia
Didudukkan di depan anak-anaknya
Bayangkan suatu pagi, dirimu adalah salah satu
Dari anak-anak itu
Tidak ada film kartun lucu
Di depanmu, ayahmu dituduh pemberontak
Sebelum ia sempat menghabiskan
Secangkir kopi yang belum mendingin itu
Tak perlu mengerti apa-apa
Pikiran tak pernah begitu penting
Tak masalah memisahkan pikiran itu
Dari raganya.
Bayangkan suatu pagi, bukan kami
Yang melihat langit dipenuhi jamur.
Kau menyaksikannya sendiri
Saat hendak berjemur
Di ruang keluarga, televisi menyala
Pembaca berita berkata,
Apa yang lebih menyakitkan
Dari sebuah perpisahan?
SAJAK PETANI KARET
Tak dapat kucium suatu bau parfum
Tubuhnya yang telah terlalu lama beraroma
getah beku itu
kini seperti pohon karet di musim kemarau
Perasaan bahagianya meranggas
Ia tak ingin lagi kehilangan sisa air mata
yang sudah ditahan dengan susah payah
Tubuhnya kering seperti ranting
yang kini tak memiliki apa-apa lagi
Ia kenang harga komoditas
yang pernah membuatnya berbangga
Sebelum ia tak tahu harus berbuat apa
Lateks di belakang rumah, tak tahu nasib
Harga dirinya kadung lebih tinggi
Dalam kesendirian, ia berguman pelan
Aku adalah seorang petani
Namun menjadi petani saat ini
Sama halnya memilih mati
LADANG
aku mencoba menumbuhkan pohon di dalam kepalaku, tetapi
tak ada unsur hara yang memadai.
ada hamparan tanah yang gersang, tak dihuni siapa pun
sebatang rumput yang masih bertahan menyebut dahaga
tetapi itu cara terbaik menguji iman