Tentang Telinga yang Sakit

Selumbari, setelah bangun tidur di pagi hari, telingaku terasa tak enak. Serasa ada yang menyumbat sehingga pendengaranku terganggu.

Aku ungkapkan itu ke Zane. Responsnya hanya, “Aku juga sering seperti itu. Rasa pekak, bukan?”
Bukan hanya rasa pekak, yang mungkin diakibatkan stres berlebihan akibat berita demi berita kurang baik yang diterima setiap hari. Namun, rasanya ada yang bengkak.

Kukatakan padanya untuk coba melihat telingaku. Sekalian, tolong difotokan.

Setelah difoto, dengan lampu flash, tampaklah ada yang menguning. Seperti nanah. Yakinlah bahwa terjadi infeksi di telingaku. Namun, aku tidak tahu apakah infeksi tersebut terjadi di dalam atau di luar area berbahaya.

“Buruan ke dokter!”
“Dokter mana dulu? Langsung THT atau ke Faskes BPJS dulu?”

Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, aku pun ke Faskes BPJS dulu. Namun, ada rasa takut pergi ke klinik dalam masa pandemi. Lebih takut lagi ke RS.

Dua minggu sebelumnya aku mengantar Hanna yang batuk nggak sembuh-sembuh ke klinik. Sesampainya di sana aku malah cemas. Ada pasien yang sedang antre. Ibu dan anak. Tampak demam. Batuk parah. Tapi tidak memakai masker.

Takutnya itu justru takut ketularan penyakit.

Aku pun jadi teringat pengalaman sekian tahun lalu. Saat Zane masih hamil 4 bulan, mengandung Hanna. Dia sakit di Sumbawa. Aku bawa ke RSUD Sumbawa.

Kukatakan pada dokter jaganya. Mungkin Zane tipus. Lalu kami dibawa ke ruangan untuk menunggu. Tak lama kemudian perawat datang. Bukannya memberikan kejelasan diagnosis, dia ujug-ujug menjabarkan harga dan fasilitas kamar.

Sontak saja aku meradang. “Mbak, bukannya prosedurnya itu seharusnya Zane dites dulu. Tes darah. Dilihat hasilnya. Ada widalnya tidak. Kok ujug-ujug disuruh menginap?”

Rasa takut dan tidak percaya pada fasilitas kesehatan itu akhirnya membuatku membawa Zane pulang dan memilih perawatan home care. Perawat datang setiap hari mengganti cairan infus. Lebih mahal memang. Namun lebih memberikan perasaan aman. Meski dokternya, sampai sembuh oun, tak pernah datang ke rumah.

Rumah sakit di Indonesia bukannya membuat orang sakit jadi sembuh. Bisa jadi malah membuat orang sehat malah sakit.

Rasa takut ke klinik itu pun membuatku berkeringat dingin. Literally. Beruntungnya, saat sampai ke klinik, tidak ada pasien lain. Mungkin mereka takut juga.

Dokter datang dan bertanya keluhanku. Dia pun tampak paranoid. Tidak berani terlalu dekat memeriksa telingaku. Kutanya kenapa dengan telingaku. Jawabannya normatif. Tidak kelihatan. Tidak ada alatnya untuk memeriksa, setelah hanya menyenteri telingaku dari jarak hampir satu meja.

Aku diberi obat tetes dan anti nyeri. Tiga hari lagi kalau belum membaik, baru diberi rujukan.

Hari ini syukurlah telingaku sudah membaik. Dan kuharap hari-hari baik segera datang.

Kubayangkan, setiap orang memiliki reaksi berbeda-beda terhadap rasa takut. Terlebih terhadap pandemi yang terang-terang ada di depan mata. Menyuarakan ini-itu. Sedih dan marah. Apalagi tatkala korban yang jatuh sudah sedemikian dekat.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *