Setelah belajar teknik membuka cerita pendek, yang tak kalah sulitnya adalah teknik menutup cerita pendek.
“Menulis pembuka adalah keahlian yang hebat, tetapi yang lebih hebat lagi adalah menulis penutup.”
Thomas Fuller
Perlu beberapa proses sebelum kita menentukan bagaimana cerita kita akan diakhiri. Pertama, bacalah kembali cerita yang sudah kita tulis. Resapi segala plotnya untuk mengenali segala sebab akibat yang ada di dalam penceritaan.
Kemudian tanyakan kepada diri kita, apakah tujuan ceritanya? Hal apa sih yang kita inginkan dari para pembaca?
Lalu tanya sebenarnya kita ingin akhir cerita yang bagaimana? Apakah kita menginginkan akhir cerita yang mengejutkan? Akhir cerita yang tak terduga? Akhir cerita tidak jelas atau menggantung? Akhir cerita yang bahagia selamanya? Semacam itu.
Dikutip dari situs Denny Prabowo, ada beberapa jenis akhir cerita:
1. Penutup yang Mengejutkan
Aryani kini sudah berada di depan rumahnya. Ia melihat Ayahnya masih membaca koran di beranda. Mamanya masih asik menonton televisi di dalam kamarnya. Aryani menangis. Kedua orang tuanya tidak ada yang mengetahui bahwa anak gadisnya itu sudah menjelma seekor kupu-kupu.
Dengan perasaan terluka ia memasuki halaman rumahna dan terbang menghampiri jendela kamarnya. Tetapi, di dalam kamarnya ia melihat dirinya sedang bermain boneka yang tiba-tiba saja langsung menatap ke arahnya.
Ia melihat dirinya menunjuk-nunjuk ke arahnya, sambil berteriak.
“Kupu-kupu! Kupu-kupu!”(Mengejar Kupu-kupu karya Noor H. Dee)
Cerita ini ditutup dengan sebuah kejutan bagi pembacanya. Ariyani yang telah menjelma kupu-kupu ternyata melihat dirinya masih berada dalam kamarnya. Lalu apakah yang sebenarnya terjadi dan siapakah yang asli, ataukah hanya sebuah fantasi? Kita terkejut dan penasaran dengan penutup cerita ini. Kelebihan teknik ini adalah jalinan cerita sebelum penutup akan terasa lebih kuat dengan ending kejutan seperti ini. Kita akan berpikir dan memutar balik otak kita untuk mencerna lebih seksama cerita yang disajikan.
2. Penutup yang Memperdaya
Gadis berkepang dua itu berhanti. Matanya yang tajam menembus malam.
“Jadi kamu mau bilang kenapa kamu pengin jadi tentara?
“Iya, tapi aku harus membisikkannya di telingamu.”
Sukab mendekatri Ratri dan membisikkan sesuatu. Hanya Ratri yang tahu, kenapa Sukab ingin jadi tentara.(Sukab ingin Jadi Tentara karya Seno Gumira Ajidarma)
Sejak dari awal cerita, cerpen ini membangun rasa ingin tahu pembaca, akan motivasi dari tokoh Sukab yang ingin menjadi tentara. Sepanjang cerpen ini, pembaca diajak menduga-duga mengapa Sukab yang meski ditentang oleh ayahnya, tetap ngotot mau jadi tentara. Kengototan Sukab itu membuat orang-orang terdekatnya bertanya-tanya, termasuk Ratri, kekasihnya.
Setelah didesak oleh Ratri dan diancap akan diputus cintanya, Sukab pun mengungkapkan motivasinya kepada tokoh Ratri. Dan cerpen ini ditutup dengan kalimat yang ‘memperdaya’ pembaca: Hanya Ratri yang tahu, kenapa Sukab ingin jadi tentara. Mungkin pembaca akan merasa ‘dikerjai’, tapi percayalah, pembaca akan terus mengingat kalimat penutup itu.
3. Penutup yang Merangkum
Tidak berapa lama kemudian, seorang pejuang yang tidak berprasangka apapun, yang menyukainya karena ketabahannya, dan yang kemudian mencintainya apa adanya, menikahinya dan menjadikannya seorang wanita terhormat.
(Mademoiselle Fifi karya Guy de Maupassant)
Cerita ini berkisah tentang seorang pelacur yang tidak tahan saat dipermalukan oleh seorang tentara Prusia. Dia menikamnya hingga tentara itu mati, lalu kabur dan menyembunyikan diri. Seluruh peersitiwa ini disajikan dengan dramatis, tetapi akhir cerita dirangkum seperti di atas.
Peristiwa dramatis utama memakan waktu beberapa jam, jadi akhir cerita ini dibuat narasi dalam bentuk rangkuman. Dalam kasus seperti ini, strategi ini lebih baik daripada terus bercerita bertele-tele. Namun, sebuah rangkuman cenderung menyebabkan cerita menjadi mirip dongeng. Banyak film yang menggunakan teknik ini, sebagai cara untuk keluar dari bingkai peristiwa yang diceritakan dalam film, tanpa harus bertele-tele dan memperlambat film itu sendiri sehingga teknik ini tampak sudah sangat kita kenal dengan baik. Namun, karena sudah jarang digunakan dalam fiksi, penutup rangkuman bisa menjadi salah satu pilihan yang baik.
4. Penutup yang Terbuka
Perempuan itu masih berdiri di muka jendela kamarnya. Menatap kegelapan di luar sana. Seperti berharap malam tak segera berlalu, dan hari urung berganti pagi. Cakrawala masih menyisakan warna senja yang begitu tua. Sesaat lagi kelambu malam siap dibentangkan. Dia pasti datang! Begitu hati Tambuli menengahi keresahannya. Lelaki itu sudah berjanji akan menjemputnya. Dia tak mungkin dua kali menuangkan muntah ke dalam guci berisi air yang telah dicampur gula putih dan gula merah itu, untuk menunda prosesi pengesahan pernikahannya dengan lelaki tujuh puluh yang telah pula memiliki keluarga.
Dia pasti datang! Sekali lagi hati Tambuli berucap. Lalu sebuah ketukan dipintu. Tambuli ragu membuka. Sesosok bayang menerobos pekat malam baru saja tertangkap ujung matanya, bergerak mendekat ke arah jendela kamarnya.(Tambuli, Perempuan yang Berdiri di Muka Jendel karya Denny Prabowo)
Banyak pengarang berkeberatan dengan penutup yang manis karena sepertinya bertentangan dengan kehidupan sehari-hari, yang akan terus berlangsung saat sebuah peristiwa sudah “berakhir”, dan pantulan peristiwa itu akan terulang kembali dalam berbagai pengalaman baru. Teknik penutup cerita yang terbuka adalah solusinya. Tutuplah cerita saat aksi masih sedang berlangsung. Banyak yang telah dikemukakan tentang pembuka in medias res (di tengah narasi atau plot), tetapi Anda juga bisa keluar di tengah-tengah sebuah kejadian.