Seorang teman, Bamby Cahyadi, pernah mencoba meramal pernikahanku. Ia mengeluarkan bandul dan memintaku bertanya pada bandul itu, di usia berapakah aku akan menikah. Lalu bandul itu bergerak tepat sebanyak 27 kali. Menurutnya, aku akan menikah saat berusia 27 tahun.
Saat itu, aku masih berusia 21 tahun. Kenyataannya, ramalan itu tidak terbukti. Aku pun teringat, ibuku yang ingin aku menikah di usia 27 tahun. Ia mewanti-wanti, itu adalah usia paling pas untuk pernikahan. Jangan buru-buru. Menabung dulu. Ketika aku mengutarakan niatku untuk menikah, butuh usaha keras untuk mendapatkan kerelaannya. Aku masih terlalu kanak-kanak katanya. Ya, aku menikah saat usiaku bahkan belum 23 tahun. Pasanganku 2 tahun lebih tua dariku.
Kini, usiaku 29 tahun dan aku masih sering mendapat pertanyaan, “Kenapa kamu menikah muda?”
Dengan bercanda kujawab Chairil Anwar dan Soe Hok Gie meninggal menjelang usia 27. Aku tidak mau meninggal sebelum aku menikah.
Ada banyak orang menganggap aku menikah muda. Aku tidak merasa demikian. KUH Perdata saja sudah jelas mengatakan batas usia dewasa adalah 21 tahun atau sudah kawin. Mengacu pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, batas usia pernikahan adalah 19 tahun bagi laki-laki. Jadi ditilik dari segi apapun, usiaku bukan usia muda lagi.
Yang terjadi adalah kebanyakan orang tua tidak rela anaknya menjadi dewasa. Mereka sengaja atau tidak sengaja membuat si anak masih berlindung di bawah ketiak orang tua dengan dalih kamu sekolah dulu sampai jenjang yang lebih tinggi. Aku pribadi malu ketika usia sudah berada di kepala dua, namun segala sesuatu masih dibayari orang tua.
Bisa jadi juga, kita salah mengambil perbandingan. Ketika menonton drama Korea, kita lihat tokohnya sudah mendekati usia kepala 3 namun bertingkah bak remaja. Usia 20 tahun di Korea masih dianggap sangat anak-anak. Masih kecil. Aku penasaran dan menemukan kenyataan bahwa usia harapan hidup di Korea lebih tinggi dari di Indonesia. Di Korea, usia harapan hidup adalah 81,37 tahun sementara di Indonesia hanya 70,61 tahun (2012). Selebritis Korea pun menikah kebanyakan setelah umur 35 tahun. Di samping faktor budaya pernikahan yang biayanya mahal di sana, aku pikir ini ada kaitannya juga dengan usia harapan hidup.
Menikah Untuk Apa?
Rata-rata anak STAN memang menikah muda. Setelah lulus, diangkat sebagai CPNS, biasanya tak lama setelah itu ada undangan. Banyakan alasannya klasik, takut sendirian menghadapi penempatan. Risiko menjadi lulusan STAN adalah harus siap ditempatkan di mana saja. Jadi, daripada berpacaran jarak jauh dengan risiko putus, diguna-guna di tempat baru, mending menikah saja. Ada teman galau kalau dapat tempat terpencil. Nggak kesepian lagi.
Kalau ditanya ke yang alim-alim, alasannya adalah membentuk sebuah keluarga. Melahirkan jundi-jundi Allah. Menikah itu ibadah.
Walau aku nggak alim, alasanku menikah adalah membentuk sebuah keluarga. Aku ingin punya anak tiga. Dan aku ingin bisa menghadiri pernikahan mereka, mendapatkan cucu dari mereka sebelum aku meninggal. Lalu kulakukan perhitungan sederhana. Usiaku 23 tahun. Anak pertamaku lahir pada saat aku berusia 24 atau 25 tahun. Maksimal 25 tahun kemudian dia menikah, aku masih berusia 50 tahun, belum pensiun. Jika per anak diambil selisih 4 tahun, anak ketigaku menikah pada saat aku berumur 58 tahun. Pas aku pensiun. Tanggunganku sebagai orang tua selesai. Selain itu aku punya waktu 12 tahun untuk mengkhususkan diri bermain dengan cucu-cucuku. Dari sudut pandang ekonomi, kita juga bisa segar dalam membiayai anak sekolah. Biar nanti uang pensiun cukup. Anak-anak sudah besar dan mampu bekerja sendiri.
Masalah-masalah dalam Pernikahan
Saya tak habis pikir banyak tulisan menjustifikasi pernikahan sebagai penghambat prestasi. “Kamu nggak usah menikah dulu, sekolah dulu saja. Berkreasi dulu saja.” Gitu katanya.
Fakta yang kualami, aku melanjutkan kuliah D4 STAN saat aku sudah punya anak. Istriku menyelesaikan pascasarjananya di Fisika ITB bebarengan denganku. Pendidikan tidak memandang usia. Kreasi juga tidak mengenal batasan. Kita kerap cuma mencari-cari alasan. Yang menghambat adalah mental kita sendiri, bukan hal lain.
“Nanti mau kasih makan apa? Apa cukup gajimu?” Justru menikah membuka pintu rejeki yang tak disangka-sangka. Karena toh pasti kita akan berpikir memutar otak untuk mencukupi kebutuhan kita. Pernikahan justru akan membuka jalan pikiran seseorang dan membuka matanya untuk melihat peluang.
Ketika ibuku tak setuju aku menikah muda, kubawakan sebuah situasi kepadanya. Ibuku sendiri menikah saat ia berusia belum 20 tahun. Ayahku 21 tahun ketika itu dan masih menjadi pegawai honorer di sebuah kantor. Mengandalkan honor tentu tak cukup. Ayahku berusaha dengan menyalurkan seluruh pengetahuannya. Ia membuat mata tidur (bibit karet sebelum dimasukkan ke polybag). Ia menjual bibit mata tidur itu bahkan hingga melewati kabupaten. Sampai akhirnya mereka punya anak 5 orang dan bisa menyekolahkan mereka sampai lulus kuliah. Ayahku pas pensiun setelah aku lulus kuliah.
Seseorang yang masih mengkhawatirkan rejeki bagiku sama saja ia meragukan dirinya sendiri dan Tuhan.
Kemudian, orang juga sering berkata, menikah muda banyak masalahnya, menikah muda meningkatkan angka perceraian, dll. Di sini aku berpikir, ketika seseorang melakukan penelitian, ia akan membatasi ruang lingkup, membatasi variabel. Perceraian dll tidak ada urusannya dengan usia pernikaha, tapi bagaimana mental seseorang, dan kembali lagi pada pertanyaan… kamu menikah untuk apa?
Tanggal lahir saya 23, apakah saya akan menikah di usia 23 saja yah? haha?