Sesudah Membaca “Fragmen: Sajak-sajak Baru” Goenawan Mohamad

Berkat WFH, aku jadi berkesempatan membaca lagi buku sajak Goenawan Mohamad. Judulnya “Fragmen: Sajak-sajak Baru”. Cetakan pertamanya September 2016.

Rasanya aku punya dua buah buku ini. Keduanya kubeli dengan harga obral. 10 ribuan. Sedih memang bila melihat nasib buku sastra, apalagi puisi.

Nasibnya seringkali berakhir diobral. Di satu sisi, aku senang sih karena mendapatkan buku GM yang sedemikian berharga dengan harga murah.

Takut bias sebenarnya jika aku berusaha mengulas GM. Soalnya, meski tidak suka keberpihakan GM, aku suka sekali puisi-puisinya, aku juga suka gaya menulis esainya.

FRAGMEN ini terdiri dari 25 judul sajak + 1 tulisan ala Catatan Pinggir. GM di sini mengajarkan kita bahwa kualitas konsep lebih penting dari jumlah sajak yang ada dalam satu buku. Banyak penyair belum menyadari hal itu—bahwa sebuah buku puisi seharusnya bukan dokumentasi puisi. Sebuah buku menawarkan konsep. Ada benang merah dari semuanya, entah itu tentang tema, entah itu tentang gaya menulis.

Ada beberapa hal menarik yang bisa kita renungkan dari catatan GM berjudul “Fragmen: Peristiwa” itu:

Menulis merupakan ketegangan antara menemui bahasa dan menemukan bahasa. Menemui bahasa berarti bergerak pada bahasa  yang hidup di permukaan komunikasi. Bahasa di permukaan komunikasi bukanlah bahasa yang selalu memadai dan memuaskan. Menemukan bahasa berarti mendapatkan sebuah pengalaman baru dari dalam kata, meskipun kata itu sudah lama beredar. Menemukan bahasa  berawal dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang ibarat kawah di bawah kepundan yang mengeluarkan asap.

Bahasa menjadi terang dan komunikatif ketika ia bergerak di tataran ide.

Saya tak melihat bahasa puisi hanya sebagai ornament. Bukan pula ia hanya ciri khas atau kelainan seorang penyair. Ia adalah respons dari kebutuhan agar tiap wacana punya cukup ruang, mungkin rongga, di mana tersimpan caveat, bahwa menulis adalah sebuah kemustahilan untuk mengenang kembali ‘kesunyian masing-masing’ yang tak hendak diakui dan diabaikan.

Puisi menebus kembali apa yang hilang dalam sesuatu yang tanpa nada—dalam tulisan. Puisi mengembalikan kelisanan sebuah teks. Puisi memulihkan kata sebagai ‘peristiwa’.

Bunyi adalah bagian dari bahasa puisi yang seperti napas: begitu penting tapi begitu lumrah. Proses dari sunyi ke bunyi itu juga menghadirkan dan melibatkan imaji.

Sebuah sajak adalah ibarat gema: ia saksi bahwa kita tak berada di ruang yang hampa, kita tak hanya punya satu sisi, dan di sana ada yang memperbanyak suara kita kea rah lain. Ketika gema terdengar, kita tahu bahwa ada “arti” atau makna yang lebih luas ketimbang “pengertian”.

“Arti” memang dapat berarti sesuatu yang tak hanya bersifat linguistic, tapi juga eksistensial. “Pengertian” adalah sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang dapat dipikirkan kembali berulang kali, sesuatu yang diutarakan dalam bahasa baik oleh orang yang sama maupun orang lain dalam waktu yang berbeda.

Sebenarnya, satu tulisan utuh milik GM lebih enak dibaca. Saya hanya mengutip sebagian kecil saja.

Catatan GM itu menjadi pembenar atau pembelaan yang sungguh brilian atas sajak-sajak yang ia tulis—terutama di buku ini. Saya kutipkan beberapa sajaknya:

Tentang Orang Datang

Dalam mimpi burukku kau datang merah padam
seperti kusta

Bertopi kelasi, turun dari kapal
dan berkata, “Aku orang yang tak akan tinggal.”

Di kantor imigrasi itu mereka tak tahu
adakah kau asing adakah aku asing

atau justru kota ini
yang akan mengusir kita

Dalam mimpi burukku kau dengar aku berseru.
Dalam mimpi burukku aku tak tahu siapa yang berseru.

2015

Anak-Anak

Di dinding rumah hitam
yang ia ingat 60 tahun kemudian
tertulis empat huruf nama anak
yang tak akan pernah dilahirkan

Sejak langit tak bisa dingin.

Sejak langit tak bisa dingin
di malam hari dilihatya malaikat penunggang kuda
dengan muka muram menyelamatkan 1000 janin
dari bumi.

Dari pertanyaan-pertanyaan
tentang bahagia.

2015

Soneta Dua Dentang

Dua dentang pukul
pada tiang listrik
adalah dua keluh
dalam kekal

Doa, dini hari,
dan waktu yang tak mati
mungkin tersembunyi
di angka kelam dan besi tua

Ini. Atau barangkali ia tak ada;
hanya jejak yang rawan
pada jam,

hanya jam yang musnah
oleh sajak.
Hanya sajak

2003

Sebenarnya masih banyak sajak GM yang lebih bagus di buku ini. Saya hanya menyalin yang pendek-pendek saja. Capek soalnya kalau harus menyalin yang panjang-panjang.

Saya tidak tahu sejauh apa teman-teman bisa melihat efek-efek yang dihasilkan GM dalam tiga contoh sajak di atas. Saya melihat dan belajar cukup banyak. Tapi lebih afdol memang, kalau membaca keseluruhan buku Fragmen.

Bagi saya, sajak Goenawan Mohamad tidak pernah membosankan. Dan selalu aku pegang, jika ingin belajar menulis puisi, setidaknya pelajarilah tiga penyair Indonesia ini: Amir Hamzah, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad. Oke.(2020)

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

2 Comments

  1. Soal GM, kita Satu padepokan Pring. Aku malah koleksi caping nya sejak SMA, yang kugunting dari majalah Tempo punya ayah

    1. Wah, aku punya Caping versi bukunya aja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *