Judul : Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang
Penulis: Sapardi Djoko Damono & Rintik Sedu
Penerbit: Gramedia
Jumlah Halaman: 104 halaman
Tadinya, aku ingin memaki buku ini. Ada kecurigaan luar biasa bahwa puisi-puisi di dalamnya adalah puisi-puisi yang buruk. Klaim Rintik Sedu pada saat peluncuran buku, dengan menyebut buku ini sebagai mahakarya adalah lelucon. Apalagi kemudian Sapardi hadir, ikut main Tiktok, dekat dengan saat peluncuran buku ini.
Sapardi Djoko Damono, tetua kita itu, takluk pada ideologi pasar….
Kira-kira itulah yang muncul di dalam kepalaku.
Namun, akan tak adil, jika kita menilai sesuatu, tanpa membacanya secara utuh. Aku tunggu kehadiran Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang di aplikasi Gramedia Digital di ponselku. Dan ia hadir pada saat kabar duka datang (bagi Sapardi), yakni ketika anak lelakinya meninggal dunia terlebih dahulu.
Apa perasaan seorang ayah melihat anaknya meninggalkan dunia ini terlebih dahulu?
Sebagai awalan, Sapardi menjelaskan bahwa buku puisi ini adalah hasil kolaborasi dalam arti yang sesungguhnya. Bukan dua orang yang masing-masing menulis puisi lalu digabungkan dalam satu buku, melainkan Sapardi mendengarkan terlebih dahulu Semesta milik Rintik Sedu, kemudian ia menuliskannya sebagai puisi.
Tentu saja hal ini adalah kabar gembira karena Pak Sapardi memberikan edukasi seperti apa seharusnya kolaborasi, mengingat betapa banyak orang-orang di luar sana mengaku berkolaborasi, namun tidak betul-betul berkolaborasi . Semangat kolaborasi ini pula kulihat sebagai jalan tengah atau jembatan antara seni dan kitsch, mencoba untuk saling mencari keuntungan dengan dibangunnya penghubung itu.
Lalu bagaimana hasilnya?
Kabar baiknya, kita dapat melihat ciri Sapardi yang berkeyakinan puisi adalah bunyi itu, tidak hilang.
ada daun jatuh
selembar saja
ada angin lewat
sesiut saja
Namun, sayangnya, buat saya yang sudah menggemari Sapardi sejak dulu, saya menganggap dari sisi gagasan dan bahkan cara penulisan, puisi-puisinya di Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang banyak yang berupa pengulangan. Klaim semesta baru itu sulit saya temukan.
Empat baris penggalan puisi di atas mengingatkanku langsung pada puisi Hatiku Selembar Daun dan Sajak Kecil tentang Cinta.
Kecenderungan lain yang terjadi adalah justru Sapardi yang “ketarik” ke jenis instapoem, yang mengandalkan kata-kata puitis yang quotable.
Kalau kau merasa dirimu sakit
kaulah hakikat obat itu.
Kalau aku pergi mencari obat
Cinta jugakah sang penawar itu?
Instapoem, bagi saya, seringkali mengejar keindahan, namun mengabaikan jembatan logika. Ada kata-kata klise yang hadir sekonyong-konyong. Yang penting baper-baperan.
Misalnya saja dalam puisi di atas, kata Cinta dihadirkan begitu saja. Aku sih tidak menemukan kenapa cinta ujug-ujug disebut.
Ciri yang membuatku mencintai Sapardi Djoko Damono adalah kekuatan imaji beliau. Metafora-metafora yang lahir dari seorang Sapardi biasanya begitu memukauku. Ia menulis seolah-olah sedang menggambarkan sesuatu, dan aku bisa melihat metafora-metafora itu (yang kemudian membebaskanku untuk memberi tafsir).
Di sisi lain, Sapardi juga tidak melupakan energi lirisisme. Ia memberikan satu-dua pernyataan puitik yang kuat dalam puisi-puisimu.
Keseimbangan kedua unsur tersebut membutuhkan kesabaran untuk mengamati dan menggali kedalaman. Karakteristik inilah yang menjadi perbedaan utama dengan Instapoem, yang cenderung buru-buru untuk membuat sebuah pernyataan puitik tanpa membangun imaji terlebih dahulu.
Mari kita lihat puisi ini:
Terbaring sajalah di makam
kalau tidak lagi percaya
kasih sayang ini adalah air terjun
yang gemuruh gaungnya
kalau tidak lagi percaya
bahwa kasih sayang ini
adalah air minum yang tidak bisa
menjelaskan asal-usulnya
Tusuk inti dirimu sajalah
kalau tidak lagi percaya
bahwa kasih sayang tiada lain
adalah kata yang menahbiskanmu
sebagai manusia.
Saya tahu, kutipan yang ingin dikejar adalah bagian akhirnya saja. Kasih sayang tiada lain adalah kata yang menahbiskanmu
sebagai manusia.
Baris-baris sebelumnya, aku tidak paham. Ya, meski di sana, ada niatan bermain anafora dengan kalau tidak lagi percaya, bahwa, adalah, dan sajalah. Plus, di sana ada kesalahan penggunaan kata gaung. Masih ingat pelajaran Fisika, apa beda gaung dan gema? Gaung dan gema sama-sama bunyi pantulan. Bedanya, gaung datang sebelum kalimat selesai diucapkan dan biasanya terjadi di dalam ruangan. Sedangkan gema adalah bunyi pantulan yang datang setelah kalimat diucapkan, yang terjadi di alam terbuka. Lalu, apakah air terjun berada di ruangan?
Namun, ada juga bagian-bagian yang saya sukai. Seperti ketika Sapardi mendefinisikan pergi dan pulang.
Pergi adalah belalang
yang meloncat-
loncat
di
a-
tas
rum-
put-
an.
Pulang adalah rumputan
yang ratayang satu dua batangnya
meregang ketika
melahirkan warna hijau
yang menjadi penandanya.
Dari semua puisi di dalam buku ini, aku paling suka puisi ini.
Puisi-puisi di Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang ini beralas pijak dialog, suara antara lelaki dan perempuan. Di luar ada puisi-puisi yang cenderung mengalami pengulangan gagasan dan kuatnya tarikan Instapoem, kupikir banyak juga puisi yang asik, ya.
Niat dialog itu tercapai. Kita mendengar dua suara yang berbeda, yang sahut-menyahut. Samar, aku melihat dua aku-puisi berdiri di depanku dan menggumamkan kalimat demi kalimat yang tertulis.
Bagi para penggemar puisi-kutipan, buku ini barangkali silakan disebut mahakarya. Saya coba ambil beberapa kutipan yang aduhai:
Rumah baru disebut rumah kalau kita ada.
Dengarkan apa pun bahkan yang tak bisa kaudengarkan.
Segala yang telah kaukatakan akan menjelma diriku.
Malam ini kita bertanya, apakah tanpa ingatan kita bisa ada?
Bagaimana kalau kau kadang-kadang menyelinap lepas dari kulitku dan melukis seribu dongeng untukku
Namun, sayangnya aku tidak begitu menggilai kutipan. Aku mencintai keindahan berpikir, keotentikan gagasan dan bentuk tulisan. Dan bagiku, Sapardi yang abadi dalam dadaku, adalah Sapardi dalam Ayat-ayat Api.
Tua dan Jalan Pulang
Aku teringat Kolonel Aureliano Buendia. Yang mengutuki dirinya karena mati dalam keadaan tua dan tak berdaya. Bukan ketika ia menjalani aksi heroiknya.
Menjadi tua memang sebuah kutukan. Sekaligus ironi. Karena di satu sisi kita berharap berumur panjang. Namun, menjadi tua, kita tidak bisa melepaskan diri dari kepapahan, kelemahan pikiran. Sedikit orang yang mampu berpikir cemerlang hingga ajal menjelang.
Aku juga teringat soal kitsch. Barang tiruan seni. Seni tentu saja selalu berjarak dengan tiruannya.
Dan kita sudah terlalu muak dengan membuat orang-orang bodoh menjadi terkenal. Pula ketika seorang seniman tanpa tedeng aling-aling merangkul tiruannya. Atas nama pasar. Atas nama uang.
Apa yang tidak menggelikan ketika seseorang yang dianggap begawan sastra diam saja ketika merangkul tiruan sastra, dan tiruan itu menyebutnya sebagai mahakarya. Bagaimana tanggung jawab moralnya pada kualitas dan segala hal yang pernah diperjuangkan untuk mencapai ekspresi seni yang murni?
Dalam pada itu, aku jadi bersyukur Chairil mati muda. Dengan begitu, aku masih bisa selalu mengagumi dirinya dalam puncak kecemerlangan berpikirnya.
One Comment