Bagaimana kamu memandang kue lapis?
Aku memandangnya sebagai kenangan. Dulu, ketika kecil, aku paling benci diajak kondangan. Sebab, aku benci keramaian. Namun nasib sebagai anak bungsu mengharuskanku mengikuti ibu setiap kali kondangan.
Jangan bayangkan kondangannya berpanggung dengan orkes sebagai hiburan. Kondangan ala ibu-ibu terjadi menjelang sore. Kami akan berjalan kaki hingga beberapa kilometer. Sesampainya kami akan duduk di ruangan. Tuan rumah akan menghidangkan nasi soto, nasi sop, atau mi celor. Kue-kue sudah diletakkan di piring. Bolu, lemper, dan kue lapis.
Dan satu-satunya alasan kenapa aku tidak jutek-jutek amat kalau diajak kondangan adalah kalau kue lapisnya enak.
Kue lapis itu dibuat dari tepung beras. Warna lazimnya adalah cokelat (gelap) dan putih. Bagian atas kue lebih keras. Warna lain yang kerap muncul adalah warna pandan (hijau).
Entah siapa yang bilang, sastra itu seperti kue lapis. Maksudnya, memiliki beberapa lapisan. Lapisan pemaknaan.
Pada lapis pertama, kau bisa menganggap karya sastra yang kaubaca sebagai kisah cinta biasa, puisi cinta pada umumnya. Bucin. Tengok saja bila tak percaya, karya sastra dunia yang terkenal. Romeo dan Juliet karya Shakspeare adalah kisah bucin. Layla dan Majnun juga kisah bucin. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Buya Hamka seperti yang diulas dalam Sociosastra juga bucin banget.
Tapi selalu ada lapisan selanjutnya. Saya pernah mengupas lapisan kebudayaan dalam karya Buya Hamka. Lebih dari sekadar kisah cinta. Begitu pula karya Shakespeare yang mengkritik tatanan masyarakat saat itu.
Kebucinan jangan diremehkan. Tema cinta abadi dalam sastra. Namun, sejauh mana kau mampu melihat lapisan demi lapisan di balik kebucinan itu?
Ada yang kenal puisi di atas? Puisi Doa Poyangku tersebut adalah puisi Amir Hamzah.
Mari lihat bait terakhir. Penafsiran seperti apa yang kaudapat?
Sah saja jika kita melihatnya sebagai puisi cinta biasa. Hati bercabang dua dianggap sebagai kisah cinta segitiga. Galau memilih antara dua perempuan.
Namun, lapis lain dari puisi tersebut bisa dilihat dari konteks yang lain. Hati bercabang dua antara Timur dan Barat mengingat saat itu perang ideologi terjadi dan infiltrasi budaya Barat ke Timur begitu masif. Lapis lainnya, hatiku bercabang dua antara tradisi dan revolusi. Karya sastra yang hadir saat itu banyak yang berusaha mendobrak tradisi yang dianggap sudah tidak representatif. Masih ada lapis yang lain? Ada. Hatiku bercabang dua antara cinta pada dunia atau pada Tuhan, mengingat betapa spritual, para penyair Pujangga Lama.
Itulah kue lapis dalam sastra. Lapisan makna satu demi satu bisa kita singkap. Meski sebenarnya, aku nggak gitu setuju bahwa lapisan makna itu dianalogikan dengan kue lapis. Karena siapa pula yang makan kue lapis, selapis demi selapis? Adanya langsung dimakan sekaligus.
One Comment