Setiap kereta datang, kukenang masa kecil. Bapak pulang
di Kertapati, membawa sisa keringat di bajunya.
Lalu malam demi malam bersama, setelah Maghrib berjamaah
Ia mengajariku Hijaiyah. Di sana ada Tuhan, dan Ia
berharap aku menemukannya, lalu menyimpannya baik-baik di dada.
Sebelum kereta lain merampasnya, dan aku hanya bisa
memberikan lambaian tangan paling sempurna. Lalu di satu titik
Ia menghilang. Dan aku meraba dadaku, berdoa pada Tuhan di sana
Sesegera mungkin Bapakku dikembalikan.
Aku tidak pernah tahu, nasib seorang lelaki ternyata
harus menanggung kedewasaan. Setelah kereta datang
aku masuk ke gerbong nasib, berdiri, dan sedemikian karib
dengan waktu yang sia-sia. Sambil kuingat tangisan
anakku yang tak rela Bapaknya pergi, setelah terpaksa
kulepas pelukannya yang gigih.
Aku baru tahu, ternyata hati yang pergi
tak kalah pedihnya
dengan hati yang ditinggalkan.
Patah hati nih ceritanya?!
Kok jadi patah hati??