Hatiku tergerak menulis ini ketika melihat ada seseorang yang menertawakan keberanian beberapa orang untuk memutus riba dari hidupnya. Keputusan antiriba itu tentu saja tidak mudah. Sulit. Dan karena itu, tidak sepantasnya ditertawakan.
Terlepas memang, definisi dan ruang lingkup riba kita memiliki perbedaan. Ruang tafsir itu berbeda-beda. Ada yang ikut pendapat bahwa bank konvensional itu riba, ada juga yang moderat, mengatakan tidak. Ada yang mengatakan bank syariah pun tidak sepenuhnya bebas riba. Semua punya landasan dan harus saling menghormati. Dan sebagai muslim, tentu saja kita patut setuju kalau riba itu berbahaya.
Aku sendiri punya pengalaman ingin terbebas dari riba. Tentu, aku mendengarkan banyak pendapat terlebih dahulu, mana yang riba dan mana yang bukan riba.
Momentumnya adalah saat aku kuliah D4 di PKN STAN. Di sana aku mendapat pengetahuan mengenai akuntansi syariah dan teori akuntansi.
Pada dasarnya, ekonomi syariah itu menyaratkan keseimbangan antara sektor riil dan moneter. Simpelnya, uang tidak boleh berkembang lebih besar dari barang.
Pendekatan yang sering kupakai adalah teori konstruksi pasar saham. Ada 3 bentuk di sana yaitu weak-form, semistrong, dan strong form.
Dalam weak-form, harga di pasar saham mencerminkan harga sesungguhnya. Misal harga air mineral, 1000. Harga di pasar selembar juga 1000. Kalau semistrong, perusahaan tersebut memiliki nilai tambah yang membuat harga sahamnya lebih tinggi. Sedangkan pada strong form, bahkan barangnya belum ada, baru berupa informasi bahwa bulan depan akan ada tambang baru, itu akan menaikkan nilai sahamnya.
Pasar saham yang baik ada dalam bentuk strongform. Padahal dengan pola pikir itu, nilai uang akan berkembang terus-menerus jauh dari kenyataan yang ada saat ini. Harapan dan ekspektasi itulah yang menjadi komoditas, bukan barang sebenarnya.
Harapan dan ekspektasi itulah yang juga ada, karena selain pasar saham, ada juga pasar uang. Uang yang diperdagangkan sehingga kita mengenal fluktuasi kurs.
Dari sini, aku ingin mengatakan bahwa sebenarnya nilai uang itu harus didasarkan pada kehadiran suatu barang. Makanya, kalau mau pinjam ke bank konvensional dan bank syariah, akadnya berbeda. Kalau bank konvensional, yang kita pinjam adalah uangnya. Uang itu yang dikenakan bunga. Sedangkan pada bank syariah, bank yang membelikan kita barang, lalu barang tersebut dijual lagi dengan margin tertentu, yang kemudian kita cicil.
Setelah memahami itu, aku berpikir tentang berhenti dari sebuah produk asuransi P*****SIAL. Selain karena pemahaman itu, ada yang bilang riba itu is a bitch. Kalau kita terjebak riba, akan ada suatu keanehan pada rejeki kita, entah kesehatan atau keuangan. Nah, anakku itu didaftarkan pada asuransi. Dia sering sekali sakit. Aku dapat intuisi, apa ada yang salah dengan asuransi ini?
Kenapa aku berpikir bahwa asuransi ini riba? Asuransi ini ada 3 paket katanya, kesehatan, perlindungan jiwa, dan pendidikan (kalau tak salah).
Nah, balik lagi, bahwa nilai uang harus ada dasarnya. Maka, aku bertanya lagi, apakah tiap anak masuk sekolah, pihak asuransi akan memberi bantuan? Jawabannya tidak.
Sebab begini, kalau benar “asuransi pendidikan”, pihak asuransi harus mendata biaya sekolah di Indonesia. Sehingga setiap kejadian menjadi dasar pembayaran bagi pelanggan. Kalau tidak seperti itu, bahkan mengurangi total premi, namanya “investasi” biasa. Labelnya saja sok-sok asuransi pendidikan.
Mulanya aku menelpon tidak untuk berhenti. Karena sayang juga, berat, udah 2 tahun, 750.000/bulan. Which is, sudah 15 juta uangku di sana. Aku mau pindah ke P*****SIAL Syariah. Sebab kalau kita ke label syariah, meski masih ada ribanya, dosanya ditanggung oleh yang kasih label. Tapi ternyata nggak bisa. Setelah konsultasi dengan orang terdekat, akhirnya kuputuskan berhenti.
Saat berhenti itulah, aku juga memahami value seorang teman. Tadinya aku bergabung dengan asuransi karena pemasarnya teman kuliahku di ITB. Banyak diskusi sudah kulakukan di awal, dan manis-manis semua. Misalnya, manakala dia mengajukan simulasi pengembalian dana yang pesimis, moderat, dan optimis. Saat itu aku protes, kok ratenya gede-gede amat. Ini dijamin gitu bahwa paling rendah ratenya akan segini? Dia dengan percaya diri bilang iya. Dan tak mungkin pesimis. Seburuk-buruknya ya moderat.
Aku peringatkan ya, di hadapan uang, seorang teman bukanlah seorang teman. Ketika berhenti, ia melakukan perhitungan, dan aku kaget karena ratenya tak sampai setengah skenario pesimis. Aku ketawa miris saja mendengarkan alasannya. Padahal sudah kubilang di awal, kalau ada resesi ekonomi macam 2008 gimana, dst. Selain itu, ia tak memberi informasi lengkap tentang biaya macam-macamnya kalau berhenti di tengah-tengah. Sebab aku ingat sekali waktu itu, aku bertanya kalau berhenti tiba-tiba gimana. Ia menjawab, uang akan dikembalikan kok.
Ternyata ia menjawab kalau sudah 24 bulan sudah ga bisa dikembalikan. Padahal, awal aku bilang mau berhenti itu menjelang bulan ke-23, tapi ya dilambat-lambatin biar sudah premi ke-24. Jadi berapa pengembalian yang kuterima? Ya, 2 jutaan.
Bandingkan 15 juta dengan 2 jutaan? Dengan saat itu penghasilanku tak sampai 6 juta sebulan. Berat? Berat banget!
Lalu aku berhenti, dan alhamdulillah anakku jadi jauh lebih sehat. Perubahan yang paling terasa adalah dia jadi mau makan, meski masih lambat dan harus disuruh-suruh.
Termasuk ketika aku pindah ke Jakarta dan hendak membeli rumah. Aku mencari rumah yang tidak mencicil ke bank. Alhamdulillah, meski di kampung, aku dapat rumah yang mencicil langsung ke pengembang. Flat.
Pada mulanya aku juga berpikir kartu kredit adalah riba. Tapi sebagaimana kita tahu, kartu kredit adalah alat ganti pembayaran. Asal tidak kena bunganya (dibayar tepat waktu), ada kajian yang membahas seperti itu, maka boleh-boleh saja. Jadilah aku pakai kartu kredit setelah lama mempelajari soal itu. Kupakai bukan buat belanja aneh-aneh. Hanya untuk keperluan pembayaran tiket dan tagihan yang butuh cepat dibayar.
Tentu, aku menghormati pula yang bilang kartu kredit adalah riba. Memang ada kajian yang demikian. Bahkan bila termasuk saldo Gopay dan sejenisnya adalah riba.
Silakan saja, hidup dengan prinsip masing-masing, asalkan jelas landasannya. Tapi jangan sekali-kali menertawakan prinsip hidup orang lain seakan prinsip hidup kita lebih baik. Toh, kupikir tak ada manusia yang tak ingin jadi lebih baik. Kenapa kita tidak berjalan di atas jalan kebaikan yang kita yakini tanpa perlu menyalah-nyalahkan orang lain?
aku tau udah lama banget sejak
tulisan ini dipost, aku ingin masuk stan karena itulah aku ingin bertanya. Apakah penempatan kerja distan pasti berhubungan dgn riba & apakah ada kemungkinan ditempatkan di instansi yg non riba?
*Aku memang belum menentukan jurusannya tapi yg pasti bukan bea cukai, tolong bantuannya ya
aku tahu sudah lama sejak tulisan ini dipost, aku ingin bertanya apakah penempatan kerja dari stan
kita pasti akan berhubungan dgn riba?
aku ingin masuk stan tapi belum memutuskan jurusan apa yang ingin kuambil yg pasti bukan bea cukai, *mohon bantuannya