Rhenald Kasali dan Kantin Kejujuran

“Saya pernah menyontek PR di sekolah. Kepepet. Sebelum bel berbunyi, saya sontek dari teman paling rajin di kelas sebelum dikumpulkan. Tapi, kalau saya nyontek, saya tidak akan menunjuk tangan saat guru meminta mengerjakannya di depan kelas. Kalau saya sampai menunjuk, itu artinya saya sudah malas mengerjakan PR, menyontek, tak tahu malu pula!” Begitu komentar seorang teman baru-baru ini.

Saya jadi teringat masa sekolah saya. Saya terkenal tidak mau nyontekin, juga tidak mau nyontek jika ujian dilaksanakan. Karena itu, teman-teman membenci saya. Saat kelas 3 SMA, saya punya pacar. Pada saat ujian nasional berlangsung, dia ngasih kode kepada saya. Kami sekelas dan seruangan saat ujian. Dia hendak bertanya jawaban, namun tak saya hiraukan. Pulang dari ujian, ia tak ada di depan sekolah. Biasanya kami pulang bersama. Saya cek ponsel, hari itu dia minta putus. Alamakjang!

Dua pernyataan bikin saya terkaget-kaget. Pertama, dari Rhenald Khasali yang menyatakan bahwa plagiarisme hanya berlaku di dunia akademis. Kedua, pernyataan bahwa kita semua adalah plagiat adalah pernyataan yang sembrono. Justifikasi semacam itu sangat membahayakan, terutama pada cara pikir generasi muda.

Beberapa waktu lalu, ramai soal tulisan Maman S. Mahayana yang membandingkan sastra cetak dan sastra online. Pasalnya, pandangan seperti itu sudah dianggap klise dan ketinggalan zaman, sebab sejak tahun 2000-an, generasi siber sastra bermunculan. Banyak penulis muda beken yang meraih berbagai penghargaan di tingkat nasional bermula dari milis sastra dan web komunitas sastra. Sebut saja nama Bernard Batubara, Sungging Raga, Windry Ramadhina, Bamby Cahyadi, dan tokoh indie book Indonesia, Irwan Bajang, juga bermula dari komunitas bernama kemudian.com. Dedy Tri Riyadi, penyair yang jadi langganan Kompas pun kerap menulis puisi di status Facebook-nya, di blognya, sebelum ia kirim ke koran-koran.

Kualitas tidaklah ditentukan di ruang mana sebuah karya ditulis. Majalah, koran, blog, media sosial hanyalah ruang-ruang itu. Sang kreator karya akan terus berproses, dan seleksi alam akan menunjukkan kualitas yang diharapkan, tidak peduli berangkat dari mana dia.

Soal Rhenald Khasali, saya tak ingin membahas definisi panjang lebar. Secara garis besarnya, plagiarisme di dunia akademik memang sama dengan kiamat. Begitu juga dengan dalam bisnis/komersial. Ingat, sebuah perusahaan ponsel yang harus membayar kepada Apple dengan timbunan koin karena kesamaan sisi ponselnya semata.

Facebook sebagai ruang publik pun dibuat dengan perhitungan yang matang. Fitur-fiturnya dibuat dengan alasan. Saya mengibaratkan Facebook ini kantin kejujuran. Kita boleh mengambil apa saja, karena ada tombol share/bagikan yang telah disediakan.

Sebagai sebuah ruang, media tidak akan menghapus definisi karya. Jika yang ditulis hanya “Saya mau jalan-jalan” atau “Mau bobok nih…”, maka tentu siapa pula yang mau copas? Kalau sama, ya karena ada kesamaan situasi. Begitu pun kalau isinya pernyataan, kutipan, yang bersifat common sense, yang sudah banyak orang ketahui. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Pernyataan-pernyataan semacam itu.

Namun, beda bila sebuah tulisan sudah masuk ke dalam definisi sebuah karya. Tentu, tiap jenis karya punya definisinya masing-masing. Pada intinya, layak disebut karya ketika ia merupakan sebuah proses berpikir yang ditulis secara rapi dan sistematis, ada bangunan epistemologi, dan DNA sang penulisnya. Karya sastra seperti puisi dan prosa, karya jurnalistik berupa opini, sering pula ditulis di status Facebook. Maka, kode etik penulisan, meski belum ada hukum positif yang tegas menyangkut hal ini selama sang penulis asli tidak menuntut, mengharamkan praktik copy-paste.

Apakah sebuah puisi hanya akan menjadi status Facebook bila ditulis di status Facebook? Begitu juga opini, dan esai? Tentu tidak, bukan? Kalau penasaran, kenapa kualitas pendidikan kita hanya begini-begitu saja, lihatlah kualitas orang-orang, para tokoh pendidikan pada pernyataan di atas.

Lalu apakah semua kita adalah plagiat? Tentu, jawabannya tidak. Ada orang yang tidak tahu batas-batas plagiarisme. Juga masih ada orang yang memang benar-benar jujur. Lalu apa batas paling tegas dari plagiarisme? Batas paling tegas dari plagiarisme adalah nurani. Itu.

Selengkapnya : http://m.kompasiana.com/pringadiasurya/rhenald-khasali-dan-kantin-kejujuran_59351071f47e61e03905f301

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *