Pas Butuh Pas Ada: Bijak Mengelola Keuangan Keluarga. Judul buku Ditto Santoso itu membuatku menengok kembali kehidupanku. Ya, aku menyesal tidak mengelola keuanganku dengan baik sejak aku masih single. Padahal, bila saat itu aku sudah bijak melakukan perencanaan keuangan, hari ini aku akan punya aset yang lumayan banyak dan menjadi jaminan yang cukup dalam menopang keluargaku.
Aku termasuk telat dalam belajar bijak mengelola keuangan keluarga. Saat baru menikah, aku melakukannya sendirian. Penghasilan yang kudapat aku yang pegang. Aku tidak melibatkan istriku. Setiap butuh belanja, ya aku akan ambil uang di ATM, memberikan sejumlah yang ia butuhkan. Aku masih terlalu percaya diri (karena keangkuhanku sebagai anak STAN yang jago keuangan) dalam mengelola keuangan keluarga.
Setelah kami punya anak, sama-sama melanjutkan kuliah (dia S2 Fisika ITB, aku D4 STAN), barulah aku merasa penghasilanku “cukup sekali”. Dalam artian, aku harus benar-benar bijak mengelola keuangan agar semua kebutuhan terpenuhi. Apalagi sebagai mahasiswa tugas belajar, aku tidak mendapatkan penghasilan secara penuh. Pernah nggak kalian bayangkan, pegawai Kementerian Keuangan hitung-hitungan buat makan supaya bisa maksimal 10 ribu sekali makan? Itu aku.
Pada titik itulah, aku baru menyadari bahwa suami istri kelola keuangan bersama akan jauh lebih baik. Bicara keuangan bersama itu tidak mudah lho. Ditto Santoso bijak sekali dengan memberikan analogi air sebagai salah satu unsur Hasta Brata.
Jadi, komunikasi saat suami istri kelola keuangan bersama itu harus cair, karena cairan bisa melarutkan apa saja. Cairan juga bisa dengan mudah berinteraksi dengan elemen-elemen lainnya. Pasangan suami istri harus meneladani sifat air yang mampu melarut dan menjadi media bertemunya semua unsur, termasuk dalam hal keuangan.
Kunci Mengelola Keuangan Bersama bagi Pasutri
Kunci mengelola keuangan bersama pagi pasutri ada di komunikasi. Bagaimana caranya agar komunikasi itu terbentuk dengan baik? Pertama, pasutri perlu belajar saling mendengarkan. Dan kunci dari saling mendengarkan adalah, seperti yang diungkap Stephen Covey, “Pahami dulu sebelum minta dipahami.” Dengan cara itu, kedua belah pihak dapat mencari solusi bersama atas masalah keuangan yang ada.
Tema keuangan itu sensitif. Karena itu, perlu waktu yang tepat untuk bicara soal keuangan keluarga. Nggak bisa sembarangan. Buatku, waktu yang tepat adalah after sex, karena pada saat itu deep talk menjadi begitu efektif. Di situlah, waktu yang tepat untuk saling berdiskusi secara hangat.
Setelah itu, ya sama-sama saling mengidentifikasi kebutuhan keuangan, membicarakan cita-cita keuangan, dan menyusun skala prioritas untuk bisa dicari solusi-solusinya. Sepakat, tinggal komit atas kesepakatan itu.
Langkah Menyusun Angaran Keluarga
Bicara anggaran, ada dua sisi yang harus diperhatikan. Yaitu anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Kalau bicara APBN, pendekatan penyusunannya adalah penganggaran defisit. Jadi yang disusun pertama kali adalah anggaran belanjanya, baru anggaran pendapatan. Setelah itu dibahas belanjanya mana yang prioritas, disesuaikan dengan anggaran pendapatan. Anggaran keluarga juga persis seperti itu.
Langkah pertama, ya kita perlu mulai dengan menetapkan tujuan yang harus dicapai. Setidaknya satu bulan ini, apa saja kebutuhan yang patut diprioritaskan. Lalu buat daftar kebutuhan tersebut. Ditulis betul-betul.
Kedua, identifikasi sumber penghasilan bagi keuangan keluarga. Saat itu penghasilan yang sifatnya tetap adalah gaji dan tunjangan.
Nah, ketiga bandingkan antara rencana belanja/kebutuhan dengan penghasilan. Apakah sudah berimbang atau malah defisit? Kalau negara defisit kan melakukan pembiayaan dengan utang. Keluarga ya bisa juga seperti itu , tapi saat itu kami tidak memilih cara demikian. Setiap ada selisih/defisit, kami membicarakan hal yang lebih dalam. Ya, kami berusaha menutupi kekurangan itu dengan mencari peluang penghasilan tambahan. Saat itu, istri berjualan. Saya menulis dan mengajar.
Setelah rencana terbentuk dan terealisasi, langkah terakhir adalah melakukan review agar bulan berikutnya bisa jauh lebih baik.
Proporsi Kebutuhan dalam Perencanaan Keuangan
Di dalam buku ini, sebenarnya tidak disebutkan proporsi ideal kebutuhan dalam perencanaan keuangan. Ditto Santoso tidak baku menetapkan berapa alokasi yang harus disediakan untuk masing-masing kebutuhan.
Ditto hanya mengajarkan bahwa alokasi itu harus ada untuk tabungan, portofolio investasi, dana darurat/jaring pengaman, dana pendidikan untuk anak, hingga untuk bersedekah.
Saya mengaminkan hal tersebut. Dan memang beberapa perencana keuangan punya proporsi yang bisa berbeda. Saya sendiri ikut rumusan 40-30-20-10. Bagaimana saya harus merencakan keuangan di masa pandemi?
- 40% diperuntukkan untuk kebutuhan operasional rumah tangga, mulai dari kebutuhan sehari-hari, biaya anak sekolah, bensin, hingga pulsa dan listrik.
- 30% diperuntukkan untuk cicilan yang bersifat produktif. Dalam hal ini cicilan tersebut boleh saja berupa cicilan rumah atau tanah karena nilainya yang tidak mungkin berkurang. Bisa juga berupa cicilan untuk modal usaha.
- 20% diperuntukkan untuk investasi, asuransi, atau tabungan terencana.
- 10% sisanya digunakan untuk dana sosial, having fun, dan dana darurat.
Diversifikasi Sumber Pendapatan
Saya bersyukur bisa melakukan diversifikasi sumber pendapatan. Cara utamanya adalah mengelola alokasi untuk investasi, tidak hanya untuk jangka panjang, tetapi juga jangka pendek yang bisa dengan segera menjadi return of investment.
Sekarang sudah banyak sekali pilihan investasi. Salah satunya adalah model P2P Lending. Ini akan selaras dengan bab Meminjam untuk Menabung, bahwa bisa saja diversifikasi itu dengan cara meminjam uang untuk kemudian ditanam di P2P Lending. Misalnya, saya mendapatkan fasilitas pinjaman dengan bunga p.a ~6% setahun. Sedangkan, tingkat imbal balik investasi di P2P Lending bisa berkisar antara 12-24%. Bila kita cerdik, kita bisa untung kan?
Ditto juga menganjurkan bisnis rumahan. Memang butuh keberanian untuk memulai bisnis rumahan. Dan manajemen waktu yang baik. Sebab tantangannya adalah menjaga agar kualitas waktu bersama keluarga tidak terganggu.
Namun, teknologi yang sedemikian pesat berkembang memungkinkan kita untuk berjualan dari rumah, baik pakaian maupun makanan hingga jasa.
Mengenal Credit Union
Saya baru mengenal Credit Union lewat buku ini. Ternyata credit union sudah berkembang di Indonesia sejak akhir 1970.
Ide ini mirip Koperasi Simpan Pinjam sebenarnya. Jadi sejumlah orang berkumpul dan di sana mengumpulkan dana yang bisa dipinjam. Credit union ini punya pilar pendidikan dan solidaritas. Artinya, para anggotanya dibikin melek finansial dan solidaritas diwujudkan dengan memfasilitasi anggotanya yang membutuhkan pinjaman bahkan bila lebih besar dari simpanannya.
Nah, buat teman-teman yang penasaran pengan baca bukunya, kamu bisa pesan buku Pas Butuh Pas Ada ini ke kontak di atas. Harganya hanya Rp70 ribu. Murah untuk ilmu yang mahal.
Akhir kata, saya jadi ingat anekdot ketika ditanya apa tujuan hidup. Tujuan hidup saya adalah hidup pas-pasan. Pas pengen liburan, ada duitnya. Pas pengen beli rumah ada duitnya. Dan buku ini mengajari kita cara hidup demikian 🙂
3 Comments