Ada dua jenis orang yang hidup di Jakarta. Pertama adalah orang sakti, mereka adalah orang yang akan bertahan hidup sebab ‘ilmu’ mereka sudah tinggi. Kedua adalah orang sakit, yang akan mati ditelan kekalahan di kota ini. Elisa datang ke Jakarta membawaku, sebab di atas tubuhku tertulis alamat kakaknya yang selama ini mengiriminya uang melalui aku, si Wesel Pos. Apakah dia akan menjadi orang sakti atau orang sakit? Sungguh tipis perbedaan menjadi sakti dan sakit.
Saya mengenal karya Ratih Kumala sejak Larutan Senja. Kali pertama melihat beliau di sebuah kafe di bilangan Tebet dalam tajuk kopdar Kemudian.com. Windry Ramadhina, yang saat itu jadi pentolan, mengajak beliau. Saya terpana dibuatnya. Kak Ratih Kumala memang cantik dan di situlah saya berkenalan dengan kumpulan cerpen Larutan Senja yang membuka cakrawala baru terhadap saya tentang cerita pendek.
Saat itu, saya belum tahu kalau beliau adalah istrinya Eka Kurniawan, prosais favorit saya juga.
Baca Juga:
- Review Novel Polisi Kenangan karya Yoko Ogawa
- Review Kumcer Gumading Peksi Kundur
- Resensi Buku Eka Kurniawan, Cantik Itu Luka
Pendahuluan ini mungkin tidak berhubungan dengan apa yang akan saya tulis berikutnya di dalam review novel wesel pos karya Ratih Kumala ini. Namun, mungkin juga ada hubungannya. Sebab, apa yang terjadi di dalam novel Wesel Pos, secara sudut pandang penceritaan, mengingatkan saya pada Eka Kurniawan.
Saat membaca Bang Eka, saya selalu penasaran siapa yang menjadi narator di novelnya. Misalnya, dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, saya merasa cicaklah yang menjadi narator. Kenapa cicak, nantilah. Nah, penggunaan narator yang bukan manusia, terjadi di novel ini. Sebab, yang bercerita adalah wesel pos. Bukan tokoh-tokoh manusianya. Bedanya, Eka menyembunyikan apa naratornya, sedangkan Ratih Kumala terang-terangan dari awal.
Wesel pos itu adalah wesel pos yang dikirimkan Ikbal Hanafi, kakak dari Elisa, seorang gadis dari Purwodadi, lulusan SMA, yang baru ditinggal mati ibunya. Di Wesel Pos itu tertera alamat Ikbal Hanafi. Dan Elisa, karena tidak punya siapa-siapa lagi, bertekad menyusul kakaknya ke Jakarta, yang tidak bisa dihubungi (karena ketiadaan informasi lain). Alamat kantor yang tertera di wesel pos itulah satu-satunya petunjuk untuk bertemu dengan kakaknya.
Novel ini terbit tahun 2018. Hal pertama yang saya bayangkan adalah latar waktu novel. Mungkinkah di Purwodadi tidak ada internet. Mengingat Elisa lulusan SMA, dia harusnya punya satu-dua teman yang punya ponsel. Dengan internet di ponsel, dia bisa searching dulu soal alamat yang tertera di ponsel. Mungkin ada di sana nomor telepon kantor, dst.
Namun, kemudian saya tersadar, tokoh pencerita di dalam novel ini adalah Wesel Pos. Wesel Pos itu tahu segala yang Elisa tahu meski berada di dalam kantong. Artinya, cerita ini bukan cerita realis. Purwodadi di dalam novel ini adalah Purwodadi aksen. Jakartanya pun Jakarta aksen. Dunia yang dibangunnya adalah dunia aksen yang berbeda dengan kenyataan dan segala ikatannya dengan ruang dan waktu.
Ratih menempatkan aksioma itu supaya pembaca dapat memaklumi bahwa sikap yang Elisa lakukan memang masuk akal.
Singkat cerita, Elisa pergi ke Jakarta, naik kendaraan umum. Ratih Kumala menunjukkan keluguan Elisa yang bahkan takut ke toilet ketika mobil berhenti di peristirahatan karena khawatir ditinggal jalan. Namun, berketerbalikan dengan itu, Ratih justru menunjukkan keberanian Elisa untuk mempercayai orang lain, seorang ibu tua yang menjual kopi, dengan menitipkan tas dan seluruh isinya (beserta uang dan identitas) ke ibu tersebut.
Ya, bisa ditebak, semuanya hilang.
Saya tidak tahu apakah adegan ini menunjukkan ironi dan memperkuat kesan keluguan Elisa atau malah sebuah blunder pada plot. Jika aksioma yang kita pakai, bersetia pada dunia aksen, ini memang membuka jalan bagi plot.
Di sini saya ingin menyoroti, pendekatan yang dilakukan Ratih Kumala terhadap penceritaan adalah pendekatan plot. Ia membuat babak demi babak yang saling terkait dan rapi. Baru ia masukkan karakter-karakter yang memenuhi plot tersebut.
Hilangnya tas Elisa menuntun Elisa ke kantor polisi. Polisi ini akan menjadi elemen penting pada plot.
Kalau saya teruskan ceritanya, sepertinya akan jadi spoiler deh. Jadi, apa yang terjadi pada Elisa, saya pikir teman-teman harus membacanya.
Saya membaca karya-karya Ratih Kumala. Larutan Senja, Tabula Rasa (yang bagus sekali), hingga Bastian & Jamur Ajaib. Gadis Kretek saya punya juga. Tapi belum selesai saya baca buku itu.
Ciri khas yang saya sukai dari Ratih Kumala adalah ia memperlakukan tokoh-tokohnya sebagai simbol-simbol. Tokoh-tokoh itu bukan tokoh-tokoh yang istimewa (dnegan latar belakang yang istimewa), tapi biasa siapa saja yang kebanyakan tidak dipandang banyak orang. Ratih Kumala mengangkat yang terlupakan ke permukaan.
Ia mengangkangi teori bahwa homofictus tidak boleh biasa-biasa saja. Tokoh dalam fiksinya biasa-biasa saja. Ratih Kumala seakan bilang kepada kita semua bahwa bahkan orang-orang yang kita nilai biasa-biasa saja itu punya kisah dan punya kesah yang tidak biasa.
Elisa, sang gadis desa. Kakaknya, yang merantau ke Jakarta demi mencari nafkah. Fahri, seorang sopir. Memet (tetangga yang kalau malam ngamen jadi waria). Tokoh-tokoh yang bila kita temui di dunia nyata, bikin kita melengos, tidak peduli.
Novel yang tidak tebal ini, hanya sekitar 100 halaman, membuat saya banyak berpikir lagi tentang sensitivitas dan Jakarta itu sendiri. Seorang teman pernah bercerita, ketika saya masih di Sumbawa, jika nanti kamu ke Jakarta (penempatannya), jangan sampai Jakarta membunuh kemanusiaanmu. Di Jakarta kita dididik untuk tidak peduli. Dan dalam novel Ratih Kumala ini, saya menemukan suatu cara untuk peduli.
(2020)
2 Comments