Review Novel Polisi Kenangan karya Yoko Ogawa

Polisi Kenangan karya Yoko Ogawa

Memelihara Asa dan Kenangan

oleh Ratih Dwi Astuti

“Tunggu saja,” tambahnya. “Kau akan melihatnya sendiri. Sesuatu akan segera hilang dari hidupmu.” ― hlm. 7

Apa yang diutarakan kepada sang protagonis oleh ibunya di atas bukanlah sebuah ancaman, melainkan kenyataan yang memang harus diterima apa adanya. Di sebuah pulau tak bernama dalam karya Yoko Ogawa bertajuk Polisi Kenangan, kehilangan sesuatu merupakan hal yang “biasa” terjadi. Karya yang masuk dalam daftar panjang dan pendek International Booker Prize tahun 2020 ini menjabarkan secara panjang dan gamblang bagaimana kehilangan yang sejatinya bersifat lazim kemudian menjadi menakutkan lantaran kenangan mesti terhapus pula bersama dengan sesuatu yang hilang, menyiratkan bahwa mengingat-ingat ialah hal yang terlarang. Dan ini diatur serta ditegaskan oleh beroperasinya pasukan aparatur negara.

Di pulau tak bernama tersebut, sang protagonis hidup bersama ayah dan ibunya, juga seorang pengasuh yang suaminya bekerja sebagai montir kapal. Sang ibu seorang pemahat, dan di studionya yang terletak di ruang bawah tanah ia menyimpan (bisa dibilang menyembunyikan) benda-benda yang telah lama lenyap dari pulau, mulai dari pita, batu zamrud hingga parfum. Sang ibu yakin bahwa, dengan menyimpan benda-benda tersebut, kenangan akan tetap ada dan konsep mengenai benda-benda tersebut akan tetap terjaga. Namun menyimpan benda yang “telah hilang”, pun segala hal yang berkaitan dengannya, merupakan tindakan ilegal, sebab kenangan yang dibawa atau yang ditimbulkan oleh benda itu harus ikut lenyap. Maka, lantaran tak mampu menghindar dari pelacakan, ibu sang protagonis ditangkap oleh Polisi Kenangan dan tidak pernah kembali.

Sejatinya, di pulau ini bukan hanya kehilangan yang bersifat lazim, tetapi juga melupakan apa yang telah hilang. Sepeninggal ayah sang protagonis, yang merupakan ahli ornitologi, burung-burung juga menghilang. Sang protagonis yang sangat mengenal burung dan berbagai jenisnya dari sang ayah lantas tidak ingat lagi apa itu burung, seperti apa bentuknya dan bagaimana rupanya. Konsep burung sudah tidak ada di dalam pikiran dan kenangannya, juga tidak ada di dalam pikiran dan kenangan penduduk pulau lainnya. Demikian pula hal-hal lain yang sudah lebih dulu lenyap seperti topi dan kapal, kemudian bunga mawar dan kalender.

Ketika semua itu menghilang, orang-orang di pulau dengan mudah menerima dan melupakan: tukang topi berganti pekerjaan menjadi pembuat payung, montir kapal beralih profesi menjadi petugas keamanan, pekerja di salon kecantikan menjadi bidan. Semua warga menjalaninya dalam diam dan tidak ada yang (berani) mengeluh, apalagi mengingat-ingat. Tak terkecuali sang protagonis.

Namun masih ada orang-orang yang tidak lupa, yang masih menyimpan kenangan dan benda-benda yang hilang (atau apa pun yang berhubungan dengan benda tersebut) sebagaimana ibu sang protagonis. Karena tahu ini terlarang, orang-orang yang masih ingat akan bersembunyi di rumah aman-rumah aman, menghindar dari pelacakan dan kejaran para Polisi Kenangan yang bertugas bukan hanya menangkapi mereka tetapi juga merazia dan menyita barang-barang yang seharusnya sudah tidak ada. Orang-orang seperti mereka tidak akan pernah bisa lupa, dipaksa bagaimanapun juga, sebab kenangan ada dalam diri mereka dan tertancap kuat. Tidaklah heran jika pihak Polisi Kenangan kemudian sampai melakukan penelitian gen untuk melacak siapa saja yang mempunyai ingatan kuat dan tidak akan lupa setelah sesuatu lenyap. Dan bagi orang-orang yang tidak pernah lupa, ini sangat mengerikan.

“Kenangan jauh lebih kuat daripada yang kauduga.” ― hlm. 118

Demi alasan inilah sang protagonis—yang merupakan seorang penulis—berusaha menyembunyikan R, editor yang menangani novelnya di sebuah penerbit, dengan bantuan si montir kapal. R mempunyai ingatan yang sangat kuat, ia masih ingat bahkan hal-hal yang telah hilang bertahun-tahun silam. Ini, serta fakta bahwa sang protagonis merasa dapat mengingat banyak hal dan tetap bisa menulis selama berada di sisi R, mendorong sang protagonis menyembunyikan R di dalam rumahnya, di sebuah ruangan kecil yang nyaris terlalu sempit untuk bergerak. Ia dan si montir kapal sangat berhati-hati dalam merenovasi ruangan tersebut agar layak dihuni, juga dalam menjaga R di dalamnya, tetapi mereka juga sangat beruntung sehingga ketika Polisi Kenangan datang mengobrak-abrik rumahnya guna merazia benda-benda yang berhubungan dengan burung, mereka tidak tahu R bersembunyi di sana.

Di tengah-tengah menjalani kehilangan dan kelupaan yang semakin terasa biasa serta menyembunyikan R di dalam rumahnya, sang protagonis masih sempat melanjutkan menulis novelnya—tentang seorang perempuan muda yang kehilangan suaranya dan hanya bisa menggunakan mesin ketik serta keahlian mengetik yang diajarkan oleh kekasihnya untuk mengutarakan isi hati dan pikirannya. Tak disangka (atau, mungkin, sebagaimana yang sudah dapat diprediksikan?) mesin ketiknya rusak, sama seperti mesin ketik-mesin ketik lainnya, sehingga ia tidak memiliki alat untuk berekspresi. Namun sang kekasih justru senang, karena dengan begitu perempuan tersebut akan sepenuhnya “menjadi miliknya”, yang menyiratkan makna bahwa seseorang yang tidak mempunyai suara lebih mudah diatur.

“…suara yang hilang sama seperti tubuh yang hancur berkeping-keping.” — hlm. 178

Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh sang protagonis, dan yang perlahan-lahan menjadi kenyataan di seantero pulau. Para penduduk pulau mulai kehilangan sebelah kaki dan tangan mereka, kemudian anggota tubuh yang lainnya. Lama-kelamaan tinggal suara mereka. Sang protagonis mati-matian mempertahankan suaranya dalam tulisan, dalam bentuk novel yang susah payah ia tulis dengan menggunakan tangan kiri dan dengan kosa kata yang semakin kabur di benaknya setelah menghilangnya novel dari pulau, karena:

“Apa yang terjadi jika kata-kata menghilang?” — hlm. 31

Dalam Polisi Kenangan, Yoko Ogawa menjabarkan kehilangan sebagai suatu proses yang wajar, dan bahwa ada orang yang bisa lupa dan ada yang tidak juga merupakan suatu hal yang lumrah. Namun mengapa harus ada Polisi Kenangan? Mengapa orang yang tidak bisa lupa dipaksa untuk lupa? Dipaksa untuk kehilangan kenangan? Apakah karena tidak ada gunanya mempertahankan kenangan, seperti kata mereka?

Ataukah karena dengan demikian Yoko Ogawa hendak memperlihatkan suatu distopia di mana aparatur negara memiliki kekuasaan mutlak yang ditandai dengan berhaknya mereka masuk ke ranah pribadi, yakni alam bawah sadar yang menyimpan kenangan manusia? Suatu keadaan di mana penguasa berhak menentukan apakah seseorang boleh atau tidak boleh lupa, serta menentukan barang apa saja yang boleh atau tidak boleh disimpan. Suatu keadaan di mana dengan atau tanpa tulisan, dengan atau tanpa bunyi, seseorang seakan-akan tidak punya “suara”.

Lantas bagaimana dengan “suara” itu sendiri? Apakah “suara” manusia juga mesti hilang tak berbekas?

“Suara” merupakan asa manusia dalam menjaga agar kenangan mereka tak terhapus, dan asa inilah yang coba dipertahankan oleh tokoh-tokoh utama dalam Polisi Kenangan. “Suara” juga merupakan manifestasi terakhir keberadaan manusia yang lama-lama (atau, lebih tepatnya, pada akhirnya) akan musnah. Apabila “suara” hilang, hilang pulalah segenap “diri” manusia tanpa sisa. “Suara” yang tetap terjaga, terutama dalam bentuk tulisan, tak hanya dapat mempertahankan kenangan tetapi juga dapat mengabadikan manusia, sebab suara yang terekam dalam kata-kata akan terus-menerus dibaca dan tak akan lenyap oleh waktu.

Maka tetap terjaganya “suara” inilah yang juga hendak disampaikan oleh Yoko Ogawa dalam Polisi Kenangan, ketika melalui tokoh R yang bersikeras agar sang protagonis tetap menulis, serta melalui cerita-cerita yang dikisahkan oleh sang protagonis sendiri, Ogawa menyiratkan bahwa hilangnya “suara” manusia sama dengan kehancuran mereka. Polisi Kenangan boleh saja menyita benda-benda yang memang seharusnya sudah tak ada, segala sesuatu boleh saja menghilang, tetapi suara tidak boleh lenyap.


Informasi Buku

Judul : Polisi Kenangan

Penulis : Yoko Ogawa

Penerjemah : Ingliana

Terbit : Cetakan I April 2020 (digital), Juni 2020 (fisik)

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tebal : 295 halaman

ISBN : 9786020639055


Data Diri Peresensi

Ratih Dwi Astuti bekerja sebagai penerjemah lepas buku-buku fiksi dan nonfiksi. Pada waktu senggang membaca buku dan menulis ulasan di blog pribadi. Akun Twitternya @erdeaka

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *