Dua kali saya bertemu Ibe. Kedua-duanya dalam pagelaran Makassar International Writers Festival. 2014 dan 2016. Pertemuan pertama, detailnya sudah banyak lupa, tapi kami duduk bersama-sama di Fort Rotterdam, menyaksikan penampilan demi penampilan di atas panggung. Kalau tak salah, saat itu kami juga bersama Faisal Oddang dan Alfian Dippahatang. Mereka bertiga adalah penulis asal Sulawesi Selatan yang gigih.
Pertemuan kedua, Ibe menjemputku di bandara. Penerbanganku sampai hampir tengah malam (atau sudah tengah malam). Aku waktu itu mewakili penerbit Kaurama yang akan membincangkan buku Khrisna Pabichara, novel berjudul Natisha. Dalam kesempatan itu juga aku tidak berbincang banyak dengan Ibe, karena langsung tepar begitu sampai di Kata Kerja, dan keesokan sorenya harus kembali ke Jakarta lagi.
Sayangnya, dalam pertemuan kami, aku tidak banyak membaca karya-karya Ibe. Selintasan. Dan kala itu, aku masih menjustifikasi karya-karya para teman di sana memiliki keterpengaruhan yang cukup kuat, baik dari Aslan Abidin maupun Aan Mansyur.
Struktur Cinta yang Pudar
Sampai kemudian kulihat di toko buku. Mulai dari Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi, Struktur Cinta yang Pudar, dan Menjala Kunang-kunang.
Karena sudah zamannya 4.0, aku membaca buku sekarang lewat ponsel, melalui aplikasi Gramedia Digital. Berlangganan 89.000 sebulan. Buku Ibe S. Palogai yang berjudul Struktur Cinta yang Pudar itu pun menjadi salah satu pilihan awal bacaanku.
Ada 39 puisi di dalamnya, dari Identitas Kesepian hingga Soli Deo Gloria. Sebagai sebuah buku, Struktur Cinta yang Pudar ini menarik lho. Ada berbagai ilustrasi dari Lala Bohang di dalamnya. Kesan simpel dan cool langsung mengena, dan kubayangkan sosok Ibe. Aku pun mengangguk-angguk, pantaslah Ibe ini digandrungi banyak perempuan.
Buku ini sederhananya menegaskan kembali kekuatan sebuah lirik. Ibe adalah penyair yang maju ke panggung, ia tidak berdiri di sana sambil membacakan puisinya kuat-kuat. Ia seperti duduk, menatap mata penonton, kemudian mengucapkan lirik-liriknya dengan suara berat. Makna yang mendalam, yang tak perlu susah-susah bagi pembaca menjangkaunya, keluar dari bibirnya.
Setiap orang memiliki perang yang tak pernah mereka menangkan. Obsesi pada kesendirian terjungkal seimbang. Hari-hari muda penuh label merkayasa struktur waktu. Masa depan menghapus rahasia dan yang autentik dari diri tak pernah ada.
Begitulah bait pertama dari puisi Identitas Kesepian. Aku tebalkan lirik pada kalimat pertama dan terakhir karena bagiku ini penting. Ibe seakan ingin menegaskan keautentikan yang tak ada.
Soalnya, banyak penyair ingin mengejar keautentikan itu. Namun, akhirnya buatku mereka malah melayang-layang tak tentu, kehilangan pijakannya. Puisi jadi sedemikian ambyar dan menjauh dari realitas. Padahal, bukankah tujuan awal metafora itu adalah untuk merengkuh realitas yang tak mampu dilakukan oleh bahasa?
Tema selalu berulang. Manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan lingkungannya, manusia dengan Tuhan, maupun manusia dengan dirinya sendiri. Hanya itu.
Namun, kuasailah mereka sehingga meski yang autentik dari diri tak pernah ada itu, tidak ada kebaruan di bawah matahari itu—kita sendiri terlahir di bawah matahari yang sama.
Dan kita memiliki perang masing-masing yang tak bisa kita menangkan.
Perang-perang itulah, kegelisahan itulah, yang kemudian jadi bahan bakar utama Ibe dalam menulis puisi di buku ini. Pengaruh Aan masih kental, namun kekuatan Ibe S. Palogai adalah ia menjauhkan dirinya dari drama.
Jika aku belum sanggup mencintaimu kembali, jangan meminta penjelasan pada sajak yang kutulis. Selalu ada tangan yang sanggup menghapus kata-kata sebelum menjadi peluru dalam pikiranmu.
Kau tak perlu merasa bersalah karena aku belum tentu benar dalam segala.
Tak ada tempat dalam tujuan. Seperti habisnya aku dalam kau.
Ia dan lelaki itu kini berhadap-hadapan. Takada yang berbicara tapi keduanya seolah paham, siapa yang harus pergi dari mengapa dan apa yang hilang dari bagaimana.
Ia mencintaimu sebagai subjek kehancuran yang megah, aneh, dan penuh provokasi.
Coba lihat lirik-lirik di atas. Buatku mengagumkan. Ibe benar-benar merepresentasikan dirinya ke dalam liriknya. Kaubisa bayangkan kan orang seperti apa Ibe?
Kalau boleh kuanalogikan, ia seperti seorang tokoh dalam drama Korea yang dingin pada orang yang dicintainya. Namun, di balik kedinginannya, ia sangat mencintai perempuan itu.
Aku sih yakin sebenarnya ada intertekstual dalam puisi-puisi Ibe, seperti misalnya dalam Senjata Kertas dan Dingin Bermain Api. Namun, karena mungkin dunia kami yang berbeda, aku tak bisa menjangkau teks yang dirujuk oleh Ibe.
Hanya saja aku menyayangkan beberapa sajak mulai dari halaman 29-33. Sajak-sajak yang sifatnya eksperimental, namun sudah pernah dilakukan oleh seperti Aan sendiri, dan Hasan Aspahani.
Sajak-sajak awal Ibe di buku inilah yang justru membuatku terpukau dan melihat sosok Ibe sebagai lelaki yang cukup matang. Hehe.
One Comment