Review Buku Si Anak Badai karya Tere Liye

Buku Anak VS Film Anak: Siapa Pemenangnya dan Mengapa

oleh Akhmad Idris

Si Anak Badai

Judul : Si Anak Badai

Penulis : Tere Liye

Penerbit : Republika

Cetakan : I, Agustus 2019

Tebal : 322 halaman

ISBN : 9786025734939

Tanggal 2 April diperingati sebagai hari buku anak sedunia dan telah menjadi rahasia publik bahwa minat baca anak Indonesia tetap begini-begini saja. Hampir semua pemerhati literasi telah mengetahui bahwa peringkat baca anak-anak Indonesia cukup memprihatinkan. Mulai dari fakta ranking 62 dari 70 negara (PISA) hingga fakta ranking 60 dari 61 negara (CCSU), wow fantastis. Pertanyaan klise yang sering diajukan adalah mengapa atau kok bisa seperti itu? Tentu saja bisa, sebab anak-anak lebih menyukai film daripada buku. Di tahun 2015, Kantor Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bahkan mencatat bahwa hanya 10% masyarakat Indonesia dengan usia di bawah 10 tahun yang gemar membaca buku, sementara sisanya lebih geman menonton televisi. Menjadi hal yang faktual jika anak-anak Indonesia lebih menyukai serial film kartun atau animasi seperti Upin-Ipin, Tayo, Shaun the Sheep, Marsha, dan sejenisnya; daripada membaca cerita-cerita anak nusantara.

Mengapa Anak-Anak kok Tidak Suka Cerita Anak?

Ungkapan ‘anak-anak tidak menyukai cerita’ sebenarnya tidak sepenuhnya benar, sebab pada dasarnya anak-anak merasa senang ketika mendengarkan sebuah cerita atau dongeng. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Syahrul (2012) dalam tulisannya yang berjudul Menanamkan Pendidikan Karakter Kepada Siswa Melalui Sastra. Ia menyampaikan bahwa cerita atau dongeng yang sering disampaikan kepada anak akan masuk ke dalam diri anak, sehingga akan berpengaruh pada kondisi kejiwaan anak ketika anak telah tumbuh besar nanti. Hanya saja, rasa suka anak-anak hanya terasa di permulaan, lalu lama-kelamaan anak-anak cenderung merasa bosan (semacam cinta remaja zaman sekarang lah. Manis di permulaan, namun tragis di pelaminan) . Hal ini disebabkan oleh isi cerita anak yang itu-itu saja, seperti anak yang durhaka kepada ibunya lalu dikutuk menjadi batu atau cerita tentang anak-anak yang selalu salah dan orang dewasa yang selalu benar.

Jika diamati lebih jauh, cerita anak yang seperti itu bukanlah cerita anak, tetapi cerita yang sesuai dengan kemauan orang dewasa. Bruno Bettheim, seorang Psikiater dan mantan kepala sekolah menyatakan bahwa cerita anak harus merangsang imajinasi, menjernihkan emosi, mengembangkan kecerdasan, dan merangsang kemampuan pemecahan masalah. Oleh sebab itu anak-anak menginginkan sebuah cerita petualangan tak terlupakan agar imajinasi tidak terbatasi. Anak-anak menginginkan sebuah cerita dari sudut pandang mereka yang tidak ingin dikendalikan oleh keputusan orang dewasa, sebab mereka juga ingin menolong & membantu, berpikir & membuat keputusan, serta bebas & bertanggung jawab. Suka atau tidak, cerita-cerita anak harus mulai berkembang. Ia tidak boleh terjebak dalam sebuah labirin membosankan yang pada akhirnya ditinggalkan dan terlupakan.

Adakah Cerita Anak yang Tidak Itu-Itu Saja?

Peran orang tua menjadi salah satu faktor utama dalam membentuk karakter seorang anak, termasuk hal-hal yang disukainya. Orang tua harus mengetahui buku-buku anak mana yang berkualitas dan menjanjikan rasa suka pada diri sang buah hati. Bagi saya pribadi, satu di antara penulis-penulis hebat tanah air yang berhasil menelurkan cerita-cerita anak tidak itu-itu saja adalah Tere Liye dengan serial anak-anak mamak-nya. Gelar Best Seller menjadi satu di antara bukti bahwa karyanya berkualitas dan disukai pasar, meskipun banyak buku tanpa gelar Best Seller yang juga memiliki kualitas di atas rata-rata. Serial anak-anak mamak Tere Liye telah terbit dalam banyak seri, seperti Si Anak Kuat, Si Anak Pemberani, Si Anak Pintar, Si Anak Spesial, Si Anak Cahaya, Si Anak Badai, dan yang terbaru Si Anak Pelangi (masih tersedia dalam format e-book). Tulisan ini tidak akan membahas semua judul itu, hanya satu judul yang akan diulas (secara singkat, namun tidak mengurangi keutuhannya); yakni Si Anak Badai.

Alasan utama yang membuat Si Anak Badai menjadi cerita anak yang tidak itu-itu saja adalah karena tokoh-tokoh anak di dalam Si Anak Badai diberikan kesempatan oleh si penulis untuk menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang dewasa, melakukan petualangan seru yang berbasis realita, dan sesekali melanggar batas (kenakalan anak-anak) yang disertai tanggung jawab moral. Tak hanya itu, karakter orang dewasa yang maha benar seperti Ibu (Mamak) juga pernah melakukan kekeliruan yang pada dasarnya berhak untuk dimaafkan.

Salah satu contoh masalah yang mampu dipecahkan sendiri oleh anak-anak dalam Si Anak Badai adalah ketika Zaenal dan Fatah diperintah oleh Mamaknya untuk mengukur ukuran baju Wak Sidik (halaman 46). Fatah dan Zaenal mengalami kesulitan untuk menemui Wak Sidik karena Wak Sidik sedang melakukan rapat di kantor kecamatan. Kondisi semakin rumit karena menurut salah satu pegawai di sana (Pak Puguh) rapat bisa selesai hingga larut malam. Masalah ini ternyata berhasil dipecahkan dengan cerdik oleh Zaenal, yakni dengan cara membuat pesan singkat pada secarik kertas yang akan diberikan kepada Wak Sidik oleh Pak Puguh ketika mengantarkan botol minuman kepada peserta rapat. Pesan itu sederhana saja, yaitu Wak Sidik harus segera keluar karena ada pesan penting dari istrinya, Jika tidak, maka istrinya akan marah. Tentu saja Wak Sidik langsung keluar, mana berani Wak Sidik dengan istrinya, kan Suami-Suami Takut Istri (hihihi).

Petualangan-petualangan seru yang diceritakan dalam Si Anak Badai meliputi balap renang di Laut Manowa, berburu koin sembari menyelam di luasnya lautan, berburu ikan cakalang di tengah laut serta pengalaman dihantam badai, dan petualangan-petualangan seru lainnya. Hebatnya, petualangan dalam Si Anak Badai menjadi seru tanpa menggunakan fantasi-fantasi semu. Semua petualangan diceritakan berdasarkan kenyataan, seperti fakta tentang anak-anak pemburu koin di pelabuhan dan ancaman badai bagi para nelayan. Cerita Si Anak Badai tidak hanya tentang keceriaan petualangan, tetapi juga tentang kenakalan-kenakalan khas anak-anak yang sesekali dilakukan sebagai pelengkap kisah masa kanak-kanaknya yang diakhiri dengan kesadaran diri, penyesalan, dan tanggung jawab. Seperti saat Fatah memprotes masakan Mamak yang terasa hambar (rasanya tidak enak) dan menganggap Mamak tidak lagi peduli kepada anak-anaknya (halaman 122). Fatah menyadari kesalahannya tidak lewat omelan, tetapi lewat kesadarannya sendiri. Fatah dan saudara-saudaranya selanjutnya sok-sokan memasak sendiri yang berakhir dengan nasi goreng keasinan.

Hal terakhir yang membuat Si Anak Badai tidak itu-itu saja adalah keberanian penulis menampilkan tokoh Ibu yang juga pernah keliru (halaman 71). Diceritakan bahwa Mamak salah memberikan label nama pada bungkusan baju. Bungkusan baju perempuan dilabeli nama laki-laki, sedangkan bungkusan baju laki-laki dilabeli nama perempuan. Zaenal dan Fatah menjadi korban kekesalan konsumen gegara kekeliruan Mamak. Bagian cerita seperti ini yang paling ditunggu oleh anak-anak yang butuh sebuah dukungan bahwa Mamak-Mamak itu bukan manusia yang maha benar. Namun, bagian yang paling saya sukai adalah cara Tere Liye memberikan pemahaman bahwa Mamak memang tidak 100% sempurna, tapi Mamak selalu mampu menebus semua kesalahannya. Misalnya saja Mamak menebus kesalahan bungkusan yang tertukar secara kontan lewat masakan gulai ikan kakap yang sangat lezat ketika makan malam (halaman 72). Bagaimana? Cerita anak memang tidak hanya itu-itu saja, kan?

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *