Review Buku Puisi Cinta Sang Bunda

Puisi Cinta Sang Bunda

Puisi Cinta Sang Bunda adalah antologi puisi dari Andi Arnida Massusungan, Ilmiyati Badri, dan Evelyn Ridha Avenina Ratih Arief yang diterbitkan Kayla Pustaka pada tahun 2010. Ketiganya merupakan lulusan Institut Pertanian Bogor.

I

Dalam Dead Poets Society, Keating mengatakan, “Baik atau buruk bukanlah tujuan menulis puisi, tetapi kita menulis puisi karena kita bagian dari umat manusia!”

Toh, pada dasarnya tidak ada puisi yang buruk. Pasti ada sesuatu yang hendak disampaikan. Katarsis. Pelepasan. Baik itu hal-hal yang berkaitan dengan perasaan jatuh cinta, patah hati, dinamika hidup sehari-hari, maupun pemikiran-pemikiran tertentu sebagai interpretasi keadaan sosial politik budaya di lingkungan sekitar kita.

Begitu pun dalam antologi puisi ini, yang secara garis besar idenya menuangkan perasaan masing-masing penulis dalam berkehidupan. Setidaknya itu yang diungkapkan Andi Arnida, “Puisi-puisi ini akan menjadi penanda dan kenangan bagi orang-orang di sekitar saya karena saya tidak pernah tahu kapan jatah umur ini akan habis.”

II

            Tidak mudah menjadi Penyair (dengan P besar). Morfologi kata ‘Penyair’ di sini adalah menunjukkan profesi, bukan orang yang sekadar bersyair (menulis syair). Sementara kata profesi, dalam tesaurus Eko Endarmoko, juga merujuk pada ‘jalan hidup’. Artinya, bagaimana sebuah syair tidak hanya berperan sebagai teks, tetapi juga falsafah, atau bahkan meditasi puitis penulisnya sendiri (pun pembacanya). Ia (syair) memfungsikan tubuhnya sebagai aufklaerung (pemberi pencerahan).

            Pun definisi profesi ialah menuntut keahlian, dalam hal ini keahlian berpuisi dimulai dari struktur fisik dan struktur bathin puisi itu.

Baca Juga: Review Buku Matikan Aku Saja, Tuhan!

III

Saya seringkali menganalogikan menulis puisi itu setara halnya dengan memasak. Memasak sesuatu yang instan, seperti mie rebus, akan menghasilkan cita rasa yang instan pula. Tetapi bilamana proses memasak itu dimulai dengan meracik bumbu sesuai presisi sampai menyajikannya pun begitu, tentu kesan dan cita rasa yang dihasilkan pun akan berbeda, akan melekat lama di sepanjang lidah. Memasak pun bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan tiba-tiba atau tergesa. Butuh jam terbang dan kesabaran dalam mengolah setiap makanan demi hasil yang tidak mengecewakan.

            Lalu cita rasa apakah yang dihasilkan oleh antologi puisi ini?

            Latar belakang ketiganya yang ibu rumah tangga menjadikan puisi-puisinya masih bersifat aku-sentris. Pribadi. Membicarakan anak, suami, dan peran dirinya sendiri dalam sebuah keluarga.

            Sudut pandang semacam ini sebenarnya sah-sah saja. Hanya saja, resikonya adalah puisi tersebut tidak akan mampu menarik pembaca agar masuk ke dalam puisi (jika pembaca tidak memiliki pengalaman bathin yang sama).

            Puisi seharusnya pun memiliki fungsi sebagai katalis, jembatan, alat penghubung antara aksi dan reaksi. Ada beberapa frase kuat yang berpotensi memunculkan aksi-reaksi seperti dalam Saat Menunggumu, Andi Arnida

Aku ingin bertemu denganmu ketika
cemara penuh dengan hiasan
rindu
menyapamu lembut dan berkata
‘Apa kabar, duhai penyejuk mata?’

            Dalam puisi tersebut, terasa pembaca diajak bicara oleh penulisnya. Sekat keakusentrisan sajak tidak ada di sini, sehingga siapapun bisa menjadi ‘mu’ puisi ini. Berbeda dengan apa yang ditulisnya kemudian (dalam sajak yang sama)

Tak banyak pintaku, karena semua isi
hatiku di genggammu
hingga kerlingan mata dengan tepat
dipahami
bahkan diamku dengan mudah
dimengerti

Hal yang membedakan dari kedua bait tersebut adalah metafora yang digunakan Andi Arnida. Puisi pun seharusnya memiliki suasana. Sehingga ‘aku-puisi’ tidak sertamerta hadir pada suasana yang tidak ada, tetapi ia (aku-puisi) berada di dalam sebuah ruang dan seperti bergerak di dalamnya. Dalam hal ini, kata konkretnya adalah ‘cemara’ yang membikin imaji pembaca mampu ‘melihat’.

Sementara pada puisi-puisi Ilmiyati Badri cenderung merujuk pada puisi yang meluncur “apa adanya” solah sudah terpatri di lubuk hati lalu lepas begitu saja. Genre seperti ini ada pada Sastra Hizib yang menonjolkan makna dan kejujuran atau ketidakrekayasaan kata dan bahasa. Sesungguhnya, hal seperti ini, dalam sastra Indonesia, bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi hal ini tidak membuat pembaca mengernyitkan dahinya untuk menguak makna yang hendak disampaikan, tetapi di sisi lain ada sebuah ungkapan dari Oscar Wilde mengatakan bahwa “Semua puisi yang buruk, berangkat dari perasaan asli. Menulis sesuatu yang alami adalah menulis apa adanya. Dan yang apa adanya itu tidak artistik.”

Berserahlah Pada Sang Pemilik Cinta

Berharap Dia menuntun kita
Sesuai dengan doa-doa kita
Bahagiaku, bahagiamu
Waktu akan menjawab semuanya
Seperti inginku, seperti inginmu
Cinta adalah cinta

Beralih ke puisi-puisi Evelyn Ridha Avenina Ratih Arief, secara pemenggalan, puisinya menarik dan mengena.

bagaimana ku bisa mendekap bulan
sedang langit tak mampu
menyentuhnya
ombak pun tak kuasa menggulungnya?

(Kan Tetap Kudekap)

Meski diksi yang dipakainya sangat umum, tetap saja bisa dinikmati.  Hanya saja, menurut hemat saya, Evelyn lebih cocok menulis puisi-puisi pendek yang bersifat retorika ketimbang puiis-puisi panjang yang memperlihatkan inkonsistensi energi di dalam puisinya. Bait-baitnya bersifat lepas satu sama lain. Dilepas pun, puisi satu baitnya itu justru memiliki kekuatan yang lebih.

aku
setia pada pagi
yang embunnya
tak pernah ingkar luruh

(Setiaku)

III.

            Kembali pada ibarat memasak, selalu ada bumbu-bumbu rahasia, khusus, yang membuat masakan mempunyai cita rasa yang berbeda.

            Ketiga perempuan ini juga memiliki latar belakang pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Ini membuat dahi saya berkernyit dikarenakan saya tidak menemukan ke-IPB-an mereka bertiga di dalam puisi-puisinya. Akan lebih bijak dan kaya apabila diksi khusus dalam dunia pertanian dijadikan metafora baru yang segar. Sehingga puisi-puisi yang ditulis nantinya memiliki keunikan tersendiri. Hingga menambah satu kabar baik di perpuisian Indonesia.

            Akan tetapi, hadirnya antologi puisi ini sudah merupakan satu kabar baik. Karena ternyata puisi tidaklah menjadi asing dan dimiliki oleh segelintir orang yang melabeli dirinya dengan kata ‘sastrawan’, yang memiliki pendidikan resmi dari bahasa dan sastra Indonesia. Tapi, puisi telah merasuki ketiga perempuan yang sama sekali tak memiliki latar belakang itu. Puisi telah memasyarakat. Puisi tidak mati.

            Tidakkah begitu?

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *